TAUBAT
(توبة)
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :
Hadits – hadits Sufistik
Dosen Pengampu
: Bahroon Anshari, M.Ag.
Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM (124411026)
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Sesungguhnya setiap saat, manusia berbuat dosa, baik kecil maupun
besar, baik disadari atau tidak. Dosa – dosa itu ibarat debu yang menempel pada
mata hati. Apabila dibiarkan akan menjadi kerap dan hati sama sekali tertutup.
Sehingga, hati tertutup dari kebenaran. Kalau sudah demikian, maka hati menjadi
gelap. Pikiran – pikiran kotor dan jahat memenuhinya setiap saat.
Langkah pertama sekali yang harus ditempuh sebagai riyadhoh
(latihan ruhani) adalah taubat. Dalam pandangan sufi, yang menyebabkan manusia
jauh dari Allah adalah karena dia berbuat dosa. Dosa mengotori hati, sehingga
hati berkerak. Tidak bisa melihat keajaiban – keajaiban yang datangnya dari
Allah. Para Nabi menerima wahyu karena hati mereka bersih dari dosa. Sedangkan
manusia, jika bersih dari dosa, tidak ada hijab (pembatas) antara dirinya
dengan sang kholiq. Ia mudah menerima ilham.[1]
Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan oleh para sufi
ialah maqam taubah. Yakni upaya pengosongan diri dari segala tindakan yang
tidak baik dan mengisi dengan yang baik.[2]
Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim : 8
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqç/qè?
n<Î)
«!$#
Zpt/öqs?
%·nqÝÁ¯R
....الأية
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya.
Untuk lebih jelasnya mengenai taubat, silahkan simak dimakalah ini.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian taubat?
2.
Apa saja syarat – syarat taubat?
3.
Bagaimana hadits – hadits tentang taubat?
4.
Bagaimana tingkatan – tingkatan taubat?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian taubat
Secara bahasa taubat berasal dari bahasa Arab, taaba – yatuubu –
taubatan yang berarti kembali. Maksudnya, kembali dari segala yang tercela
menurut agama Islam, menuju semua hal yang terpuji.
Sedangkan secara Istilah, menurut ulama sufi taubat ialah
penyesalan diri terhadap segala perilkau jahat yang telah dilakukannya. Menurut
Ibnu Qoyyim, taubat adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah, menjauhkan
diri dari jalan yang dibenci dan sesat, dan tidak berhasil kecuali atas hidayah
Allah menuju jalan lurus. Sedangkan menurut Al – Kalabadzi, taubat itu
mempunyai tiga kategori, pertama, meninggalkan segala kemaksiatan dan berbuat
baik secara terus menerus. Kedua, keluar dari kejahatan dan memasukkan kebaikan
karena takut murka Allah. Ketiga, secara kontinu bertaubat walaupun tidak
berbuat dosa.[3]
Sedangkan Imam Al – Ghazali mengartikan taubat adalah suatu
pengertian yang tersusun dari tiga hal, yaitu : ilmu, keadaan, dan perbuatan.
Pertama ilmu, yaitu mengetahui bahaya – bahaya dosa dan keberadaannya sebagai
tabir di antara hamba dan setiap hal yang diberi tabil. Jika engkau mendapatkan
pengetahuan ini, maka muncullah darinya suatu keadaan di dalam hati, yaitu
merasa pedih karena takut kehilangan yang diberi tabir. Itu adalah penyesalan.
Dengan memilikinya akan menimbulkan keinginan bertaubat dan memperbaiki
kesalahan yang telah berlalu. Maka taubat adalah meninggalkan dosa kini dan
berketetapan hati untuk tidak mengulanginya, serta menyesali kesalahan yang
telah lalu. Rasulullah bersabda, “Penyesalah itu adalah taubat”[4]
2.
Syarat – syarat taubat
Menurut pendapat para ulama, taubat hukumnya wajib. Syarat – syarat
bertaubat ada tiga, jika perbuatan dosanya tidak bersangkutan dengan manusia,
yaitu :
a.
Harus meninggalkan maksiat yang telah dilakukan
b.
Menyesali perbuatannya
c.
Bertekat tidak melakukannya kembali perbuatan itu selama – lamanya.
Apabila salah
satu dari tiga syarat itu tidak dipenuhi, maka taubatnya tidak sah. Kalau
maksiat itu berhubungan dengan sesama manusia, maka syarat taubatnya ada empat,
yaitu tiga syarat yang telah disebutkan, ditambah dengan membersihkan atau
membebaskan diri dari hak tersebut, dengan cara :
ü Apabila berupa
harta benda, maka harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya.
ü Apabila berupa
had qadzaf (menuduh zina) dan semisalnya, maka kewajibannya menyerahkan diri
kepada orang yang punya hak, atau meminta maafnya. [5]
Sedangkan
menurut Syaikh Abdul Qadir Al – Jailani, bahwa taubat mempunyai empat ukuran,
yang dengannya memungkinkan kita mengetahui taubat yang benar, keempat ukuran
itu adalah :
a.
Menahan lisannya dari berkata yang tidak bermanfaat, ghibah,
mencela, dan berdusta
b.
Tidak ada di dalam hatinya rasa dengki atau permusuhan di dalam
hatinya kepada siapa pun
c.
Meninggalkan teman-temannya yang tidak baik.
d.
Selalu merasa tidak siap mati, menyesal, dan memohon ampunan atau
dosa – dosa di masa lalu serta berusaha untuk menaati TuhanNya.[6]
Rasulullah Saw.
Bersabda, “Andai kamu melakukan kesalahan-kesalahan hingga mencapai langit,
kemudian kamu menyesalinya, maka Allah mengampunimu.”
Menurut Imam Al
– Ghazali, bahwa syarat penyesalan yang sempurna adalah mengembalikkan pikiran
kepada masa lampau yaitu ketika hari pertama ia baligh (dewasa) dengan umur
atau dengan mimpi. Hendaknya seseorang memeriksa dan meneliti apa yan telah ia
lakukannya semenjak awal baligh dari tahun ke tahun, dari bulan ke bulan, dari
hari ke hari, dari tarikan nafas ke tarikan nafas. Kemudian menengok, apakah
perjalanannya selama ini telah diisi oleh ibadah wajib, ataukah ibadah wajibnya
kepada Allah ditinggalkan. Berapa banyak
pula dosa kejahatan yang dilakukannya.
Jika telah
semua teringat, maka kemudian hati harus nadam (menyesal) dengan
sedalam-dalamnya. Dari penyesalan itulah akan muncul taubat. Setiap keburukan
yang pernah dilakukannya harus diganti dengan kebaikan. Rasulullah Saw.
Bersabda, “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja berada dan ikutilah
kejelekan dengan kebaikan, pasti kebaikan itu menghapusnya.[7]
3.
Hadits – hadits tentang
taubat
Adapun hadist – hadist tentang taubat yaitu:
·
Hadiat riwayat Imam Bukhari tentang Taubatnya Rasulullah
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلّم يقول : والله إنّى لأستغفر الله وأتوب إليه فى اليوم أكثر من سبعين مرة (رواه البخارى)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: saya mendengar
Rasulullah saw bersabda: Demi Allah, sesungguhnya saya membaca istighfar dan
bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari” (HR.
Bukhari)
Jika memahami hadist di atas dapat diambil pelajaran, bahwasanya
baginda Nabi Muhammad saw. Mohon ampun dan bertaubat setiap hari minimal tujuh
puluh kali, sedangkan beliau maksum atau telah diampuni atau dijaga dari
segala dosa, maka kita sebagai umat beliau yang tidak tahu apakah jika bertaubat
dosa kita akan diampuni, maka dari itu, kita harus sering-sering beristighfar
dan meminta ampun kepada Allah dikala kita melakukan dosa maupun tidak[8].
Taubat adalah menyesali atas perbuatan dosa dalam hati, mohon ampun dengan lisan,
dan bermaksud untuk tidak mengulangi lagi selamanya.
Abdullah
bin Mas’ud ra. Berkata:
من قا
ل أستغفر الله العظيم الذى لااله إلاّ هو الحيّ القيّوم وأتوب إليه ثلاثا غفرت له
ذنوبه ولو كانت مثل زبر البحر.
Artinya:
“Barang siapa yang mengucapkan istighfar tersebut di atas sebanyak tiga
kali, maka diampunilah dosa-dosanya meskipun dosa-dosanya itu seperti buih di
lautan”.
·
Hadits riwayat Imam Muslim
وعن
الاغر بن يسار المزنّى رضى الله عنه قال : قال رسول الله ص.م. ياايها الناس توبوا
الى الله و استغفروه فإنّى اتوب فى اليوم مائة مرّة . (رواه مسلم)
Dari Al-Aghar bin Yasar Al-Muzanniy ra., ia berkata : Rasulullah
saw. Bersabda : “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah
ampun kepada-Nya, sesungguhnya saya bertobat seratus kali setiap hari.”
Hadist di atas menginformasikan bahwasanya, rasulullah saw.
Menyuruh kepada semua manusia untuk bertaubat kepada Allah sebagaimana yang telah Rasulullah contohkan,
yaitu beliau selalu beristighfar dan memohon ampun kepada Allah setiap hari
seratus kali. Sehingga hal ini dijadikan tauladan oleh para sufi samapi
sekarang ini yang terkenal dengan ajaran thariqah.
·
Hadist riwayat Imam Tirmidzi
tentang waktu diterimanya taubat
وعن أبى عبد الرحمن عبد الله بن
عمر بن الخطاّب رضي الله عنهما عن النّبي صلى الله عليه وسلّم قال : إنَ
الله عزّ وجلَ يقبل توبة العبد مالم يغرغر
Yang artinya:” Dari Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khatthab
ra. Dari Nabi saw. Bersabda : Sesungguhnya Allah yang maha agung akan menerima
taubat seseorang sebelum nyawa sampai di tenggorokan (sebelum sekarat)”. (HR.
Tirmidzi)[9].
Sungguh betapa amat sangat besar sekali rahmat Allah swt yang
diberikan kepada hamba-Nya, bahwasanya Dia selalu setia menunggu taubat
hamba-Nya bahkan sampai ia sekarat. Bertolak pada hadist tersebut, hendaknya
seorang makhluk itu malu dengan Allah, karena setiap hari manusia selalu
membuat kerusakan, dosa dan maksiat baik yang ia sadari ataupun tidak,
sedangkan Allah menyaksikannnya dengan lautan rahmat dan ampunan-Nya.
4.
Tingkatan – tingkatan taubat
Ada
tiga tahap dalam usaha orang untuk melakukan taubat ini, yaitu Sbb:
a.
Taubat dikalangan awam
Taubat ini adalah tingkatan dasar, dia menyesali dengan sungguh –
sungguh atas perbuatan salah yang pernah dilakukan (al-nadam), kemudian
berjuang sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan – kesalahan tersebut, dan
menjauhkan diri dari segala tindakan maksiat dan melenyapkan semua dorongan
nafsu ammarah yang dapat mengarahkan seseorang pada kemaksiatan (al-azm).
Bila ia bersalah dengan orang, ia harus meminta maaf, dan bila membawa harta
yang bukan haknya ia harus mengembalikannya (al-sa’yu)
b.
Taubat orang yang telah melakukan ajaran tasawuf
Taubat kedua ini bisa disebut inabah yaitu kembali dari
jalan yang baik menuju ke jalan yang lebih baik. Atau meningkatkan kadar
ketaatannya pada tuhan dengan lebih baik lagi. Bila ketaatan itu kurang. Ia
akan meningkatkannya dengan baik; bila sudah baik ketaatannya pada tuhan, ia
akan meningkatkan lagi dengan ketaatan yang terbaik untuk mencapai kesempurnaan.
Orang pada tahapan ini mempunyai keyakinan bahwa ibadahnya jauh dari semprna
dan ia memiliki semangat yang berapi-api untuk meniti hari esok yang lebih baik
dari hari ini.
c.
Taubatnya orang arif
Taubat ketiga ini bisa disebut aubah, yang bermakna kembali
yang terbaik menuju Allah. Dan biasanya ini lazimnya dilakukan oleh para nabi (taubatur
Rasul). Pada tahapan ini orang merasa hubungan kedekatan bathinnya dengan
tuhan kurang penuh, maka ia akan memperbaiki hubungan itu dengan lebih sempurna
lagi, dengan motivasi agar terus memperoleh bimbingan dan pengawasan dari
Tuhan. Seseorang yang sudah dalam tingkatan arif ini, adalah orang yang sudah
mencapai derajat wara’.[10]
Menurut Syaikh
Abdul Qadir Al – Jailani, membagi taubat menjadi 3 golongan. Pertama, Taubat
orang awam yaitu taubatnya dari dosa. Kedua, taubat orang khusus (Khawash)
yaitu taubatnya dari ghaflah (lalai kepada Allah). Dan yang ketiga, taubat
orang khususnya khusus (Khawashu al-khawash) yaitu taubatnya dari berpalingnya
hati kepada selain Allah.[11]
IV.
SIMPULAN
Setiap sesuatu yang di lakukan manusia pasti terdapat kesalahan,
baik itu di sengaja maupun tidak, karena bagaimanapun juga, manusia adalah
tempatnya lupa, salah dan dosa, maka
dari itu Baginda Nabi Muhammad saw.. selalu mengajarkan kepada para
umatnya untuk selalu beristighfar memohon ampun kepada Allah atas segala dosa-dosa
yang telah ia lakukan melalui beberapa informasi yang terdapat dalam hadist
yang telah sampai pada kita, yaitu dengan cara menyesali atas perbuatan dosa
tesebut dalam hati, mohon ampun dengan lisan dan dengan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi dan dengan berbagai syarat tertentu, agar taubat menjadi
sempurna.
Dalam berbagai tingkatan pendekatan seorang hamba kepada Allah swt.
Itu berbeda-beda, maka cara mereka bertaubat kepada Allah pun berbeda-beda, ada
yang masih awam, khash, khawasul khawash dan lain sebagainya. Namun pada
intinya adalah, selama masih ada kesempatan untuk bertaubat, mari kita
bertaubat sebelum terlambat, karena kita tidak akan pernah tahu kapan ajal kita
tiba, kapan saatnya kita kembali pada sang pencipta. Karena waktu, tidak akan
pernah terulang lagi.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena
sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari
kami. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk
memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah
referensi pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Ghozali, Mempertajam Mata Bathin dan Indra Keenam, Yogyakarta :
Mitrapress, 2007, cet. 2
________,
Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan Yang Ditulis Sediri Oleh Sang Hujjatul
Islam, penerjemah Irwan Kurniawan dari Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, Jakarta
: Penerbit Mizan, 2008
Al-Qahthani,
Sa’id bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir AL – jailani, penerjemah
Minurul Abidin dari Asy-Syaikh Abdul qadir Al-jailani wa Arauhu Al-I’tiqodiyah
wa Ash-Shufiyah, Jakarta : PT. Darul falah, 2003
Muhammad,
Hasyim, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar offset, 2002
Nashr,
Al-Faqih, Terjemah Tanbihul Ghafilin (Peringatan Bagi Orang-Orang
Yang Lupa), Alih bahasa: Muslich Shabir dari Kitab Tanbihul Ghafilin,
Semarang: CV Toha Putera: 1993
Nawawi,
Imam, Terjemah Riyadhus Shalihin, penerjemah Achmad Sunarto dari
Riyadhus Shalihin, Jakarta : Pustaka Amani, 1999
Tohir,
Moenir Nahrowi, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Jakarta : PT. As-Salam
Sejahtera, 2012
[1] Imam Al
Ghozali, Mempertajam Mata Bathin dan Indra Keenam, (Yogyakarta :
Mitrapress, 2007), cet. 2, hlm. 11 – 12
[2] Hasyim
Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar offset, 2002), hlm. 29
[3] Ibid.,
hlm. 14 - 15
[4] Al – Ghazali, Mutiara
Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan Yang Ditulis Sediri Oleh Sang Hujjatul Islam,
penerjemah Irwan Kurniawan dari Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, (Jakarta : Penerbit
Mizan, 2008), hlm. 321
[5] Imam Nawawi, Terjemah
Riyadhus Shalihin, penerjemah Achmad Sunarto dari Riyadhus Shalihin, (Jakarta
: Pustaka Amani, 1999), hlm. 15
[6] Sa’id bin
Musfir Al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir AL – jailani,
penerjemah Minurul Abidin dari Asy-Syaikh Abdul qadir Al-jailani wa Arauhu
Al-I’tiqodiyah wa Ash-Shufiyah, (Jakarta : PT. Darul falah, 2003), hlm. 487
[7] Op.Cit., Imam
Al – Ghozali, Mempertajam Mata Bathin dan Indra keenam, hlm. 16 – 17
[8] Al-Faqih Nashr
bin Muhammad bin Ibrahim As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin (Peringatan Bagi
Orang-Orang Yang Lupa), Alih bahasa: Muslich Shabir, (Semarang: CV Toha Putera:
1993), hlm. 172
[10] Moenir Nahrowi
Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, (Jakarta : PT. As-Salam
Sejahtera, 2012), hlm. 96. Lihat juga Ibid., Imam Al – Ghozali,
Mempertajam Mata Bathin dan Indra keenam, hlm. 18 – 20. Dan Op.Cit, Hasyim Muhammad, hlm. 30-31.
[11] Op.Cit.,
Sa’id bin Musfir Al-Qahthani, hlm. 485
No comments:
Post a Comment