HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Tuesday, May 13, 2014

Hadits Taubat


TAUBAT  (توبة)
MAKALAH        
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadits – hadits Sufistik
Dosen Pengampu : Bahroon Anshari, M.Ag.








Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM                (124411026)

FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I.          PENDAHULUAN
Sesungguhnya setiap saat, manusia berbuat dosa, baik kecil maupun besar, baik disadari atau tidak. Dosa – dosa itu ibarat debu yang menempel pada mata hati. Apabila dibiarkan akan menjadi kerap dan hati sama sekali tertutup. Sehingga, hati tertutup dari kebenaran. Kalau sudah demikian, maka hati menjadi gelap. Pikiran – pikiran kotor dan jahat memenuhinya setiap saat.
Langkah pertama sekali yang harus ditempuh sebagai riyadhoh (latihan ruhani) adalah taubat. Dalam pandangan sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dia berbuat dosa. Dosa mengotori hati, sehingga hati berkerak. Tidak bisa melihat keajaiban – keajaiban yang datangnya dari Allah. Para Nabi menerima wahyu karena hati mereka bersih dari dosa. Sedangkan manusia, jika bersih dari dosa, tidak ada hijab (pembatas) antara dirinya dengan sang kholiq. Ia mudah menerima ilham.[1]
Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan oleh para sufi ialah maqam taubah. Yakni upaya pengosongan diri dari segala tindakan yang tidak baik dan mengisi dengan yang baik.[2]
Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim : 8
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqç/qè? n<Î) «!$# Zpt/öqs? %·nqÝÁ¯R ....الأية
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya.
Untuk lebih jelasnya mengenai taubat, silahkan simak dimakalah ini.

II.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian taubat?
2.      Apa saja syarat – syarat taubat?
3.      Bagaimana hadits – hadits tentang taubat?
4.      Bagaimana tingkatan – tingkatan taubat?



III.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian taubat
Secara bahasa taubat berasal dari bahasa Arab, taaba – yatuubu – taubatan yang berarti kembali. Maksudnya, kembali dari segala yang tercela menurut agama Islam, menuju semua hal yang terpuji.
Sedangkan secara Istilah, menurut ulama sufi taubat ialah penyesalan diri terhadap segala perilkau jahat yang telah dilakukannya. Menurut Ibnu Qoyyim, taubat adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah, menjauhkan diri dari jalan yang dibenci dan sesat, dan tidak berhasil kecuali atas hidayah Allah menuju jalan lurus. Sedangkan menurut Al – Kalabadzi, taubat itu mempunyai tiga kategori, pertama, meninggalkan segala kemaksiatan dan berbuat baik secara terus menerus. Kedua, keluar dari kejahatan dan memasukkan kebaikan karena takut murka Allah. Ketiga, secara kontinu bertaubat walaupun tidak berbuat dosa.[3]
Sedangkan Imam Al – Ghazali mengartikan taubat adalah suatu pengertian yang tersusun dari tiga hal, yaitu : ilmu, keadaan, dan perbuatan. Pertama ilmu, yaitu mengetahui bahaya – bahaya dosa dan keberadaannya sebagai tabir di antara hamba dan setiap hal yang diberi tabil. Jika engkau mendapatkan pengetahuan ini, maka muncullah darinya suatu keadaan di dalam hati, yaitu merasa pedih karena takut kehilangan yang diberi tabir. Itu adalah penyesalan. Dengan memilikinya akan menimbulkan keinginan bertaubat dan memperbaiki kesalahan yang telah berlalu. Maka taubat adalah meninggalkan dosa kini dan berketetapan hati untuk tidak mengulanginya, serta menyesali kesalahan yang telah lalu. Rasulullah bersabda, “Penyesalah itu adalah taubat”[4]

2.      Syarat – syarat taubat
Menurut pendapat para ulama, taubat hukumnya wajib. Syarat – syarat bertaubat ada tiga, jika perbuatan dosanya tidak bersangkutan dengan manusia, yaitu :
a.       Harus meninggalkan maksiat yang telah dilakukan
b.      Menyesali perbuatannya
c.       Bertekat tidak melakukannya kembali perbuatan itu selama – lamanya.
Apabila salah satu dari tiga syarat itu tidak dipenuhi, maka taubatnya tidak sah. Kalau maksiat itu berhubungan dengan sesama manusia, maka syarat taubatnya ada empat, yaitu tiga syarat yang telah disebutkan, ditambah dengan membersihkan atau membebaskan diri dari hak tersebut, dengan cara :
ü  Apabila berupa harta benda, maka harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya.
ü  Apabila berupa had qadzaf (menuduh zina) dan semisalnya, maka kewajibannya menyerahkan diri kepada orang yang punya hak, atau meminta maafnya. [5]
Sedangkan menurut Syaikh Abdul Qadir Al – Jailani, bahwa taubat mempunyai empat ukuran, yang dengannya memungkinkan kita mengetahui taubat yang benar, keempat ukuran itu adalah :
a.       Menahan lisannya dari berkata yang tidak bermanfaat, ghibah, mencela, dan berdusta
b.      Tidak ada di dalam hatinya rasa dengki atau permusuhan di dalam hatinya kepada siapa pun
c.       Meninggalkan teman-temannya yang tidak baik.
d.      Selalu merasa tidak siap mati, menyesal, dan memohon ampunan atau dosa – dosa di masa lalu serta berusaha untuk menaati TuhanNya.[6]
Rasulullah Saw. Bersabda, “Andai kamu melakukan kesalahan-kesalahan hingga mencapai langit, kemudian kamu menyesalinya, maka Allah mengampunimu.”
Menurut Imam Al – Ghazali, bahwa syarat penyesalan yang sempurna adalah mengembalikkan pikiran kepada masa lampau yaitu ketika hari pertama ia baligh (dewasa) dengan umur atau dengan mimpi. Hendaknya seseorang memeriksa dan meneliti apa yan telah ia lakukannya semenjak awal baligh dari tahun ke tahun, dari bulan ke bulan, dari hari ke hari, dari tarikan nafas ke tarikan nafas. Kemudian menengok, apakah perjalanannya selama ini telah diisi oleh ibadah wajib, ataukah ibadah wajibnya kepada Allah ditinggalkan.  Berapa banyak pula dosa kejahatan yang dilakukannya.
Jika telah semua teringat, maka kemudian hati harus nadam (menyesal) dengan sedalam-dalamnya. Dari penyesalan itulah akan muncul taubat. Setiap keburukan yang pernah dilakukannya harus diganti dengan kebaikan. Rasulullah Saw. Bersabda, “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja berada dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, pasti kebaikan itu menghapusnya.[7]
3.      Hadits – hadits  tentang taubat
Adapun hadist – hadist tentang taubat yaitu:
·         Hadiat riwayat Imam Bukhari tentang Taubatnya Rasulullah

عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم  يقول : والله إنّى لأستغفر  الله وأتوب إليه فى اليوم أكثر من سبعين  مرة (رواه البخارى)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Demi Allah, sesungguhnya saya membaca istighfar dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari” (HR. Bukhari)
Jika memahami hadist di atas dapat diambil pelajaran, bahwasanya baginda Nabi Muhammad saw. Mohon ampun dan bertaubat setiap hari minimal tujuh puluh kali, sedangkan beliau maksum atau telah diampuni atau dijaga dari segala dosa, maka kita sebagai umat beliau yang tidak tahu apakah jika bertaubat dosa kita akan diampuni, maka dari itu, kita harus sering-sering beristighfar dan meminta ampun kepada Allah dikala kita melakukan dosa maupun tidak[8].
     Taubat adalah menyesali atas perbuatan  dosa dalam hati, mohon ampun dengan lisan, dan bermaksud untuk tidak mengulangi lagi selamanya.

Abdullah bin Mas’ud ra. Berkata:

   من قا ل أستغفر الله العظيم الذى لااله إلاّ هو الحيّ القيّوم وأتوب إليه ثلاثا غفرت له ذنوبه ولو كانت مثل زبر البحر.
  Artinya: “Barang siapa yang mengucapkan istighfar tersebut di atas sebanyak tiga kali, maka diampunilah dosa-dosanya meskipun dosa-dosanya itu seperti buih di lautan”.

·         Hadits riwayat Imam Muslim
وعن الاغر بن يسار المزنّى رضى الله عنه قال : قال رسول الله ص.م. ياايها الناس توبوا الى الله و استغفروه فإنّى اتوب فى اليوم مائة مرّة . (رواه مسلم)
Dari Al-Aghar bin Yasar Al-Muzanniy ra., ia berkata : Rasulullah saw. Bersabda : “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya saya bertobat seratus kali setiap hari.”
Hadist di atas menginformasikan bahwasanya, rasulullah saw. Menyuruh kepada semua manusia untuk bertaubat kepada Allah  sebagaimana yang telah Rasulullah contohkan, yaitu beliau selalu beristighfar dan memohon ampun kepada Allah setiap hari seratus kali. Sehingga hal ini dijadikan tauladan oleh para sufi samapi sekarang ini yang terkenal dengan ajaran thariqah.
 
·         Hadist riwayat  Imam Tirmidzi tentang waktu diterimanya taubat

وعن أبى عبد الرحمن عبد الله بن  عمر بن الخطاّب رضي الله عنهما عن النّبي صلى الله عليه وسلّم قال : إنَ الله عزّ وجلَ يقبل توبة العبد  مالم يغرغر

Yang artinya:” Dari Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khatthab ra. Dari Nabi saw. Bersabda : Sesungguhnya Allah yang maha agung akan menerima taubat seseorang sebelum nyawa sampai di tenggorokan (sebelum sekarat)”. (HR. Tirmidzi)[9].
Sungguh betapa amat sangat besar sekali rahmat Allah swt yang diberikan kepada hamba-Nya, bahwasanya Dia selalu setia menunggu taubat hamba-Nya bahkan sampai ia sekarat. Bertolak pada hadist tersebut, hendaknya seorang makhluk itu malu dengan Allah, karena setiap hari manusia selalu membuat kerusakan, dosa dan maksiat baik yang ia sadari ataupun tidak, sedangkan Allah menyaksikannnya dengan lautan rahmat dan ampunan-Nya.

4.      Tingkatan – tingkatan taubat
Ada tiga tahap dalam usaha orang untuk melakukan taubat ini, yaitu Sbb:
a.       Taubat dikalangan awam
Taubat ini adalah tingkatan dasar, dia menyesali dengan sungguh – sungguh atas perbuatan salah yang pernah dilakukan (al-nadam), kemudian berjuang sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan – kesalahan tersebut, dan menjauhkan diri dari segala tindakan maksiat dan melenyapkan semua dorongan nafsu ammarah yang dapat mengarahkan seseorang pada kemaksiatan (al-azm). Bila ia bersalah dengan orang, ia harus meminta maaf, dan bila membawa harta yang bukan haknya ia harus mengembalikannya (al-sa’yu)
b.      Taubat orang yang telah melakukan ajaran tasawuf
Taubat kedua ini bisa disebut inabah yaitu kembali dari jalan yang baik menuju ke jalan yang lebih baik. Atau meningkatkan kadar ketaatannya pada tuhan dengan lebih baik lagi. Bila ketaatan itu kurang. Ia akan meningkatkannya dengan baik; bila sudah baik ketaatannya pada tuhan, ia akan meningkatkan lagi dengan ketaatan yang terbaik untuk mencapai kesempurnaan. Orang pada tahapan ini mempunyai keyakinan bahwa ibadahnya jauh dari semprna dan ia memiliki semangat yang berapi-api untuk meniti hari esok yang lebih baik dari hari ini.
c.       Taubatnya orang arif
Taubat ketiga ini bisa disebut aubah, yang bermakna kembali yang terbaik menuju Allah. Dan biasanya ini lazimnya dilakukan oleh para nabi (taubatur Rasul). Pada tahapan ini orang merasa hubungan kedekatan bathinnya dengan tuhan kurang penuh, maka ia akan memperbaiki hubungan itu dengan lebih sempurna lagi, dengan motivasi agar terus memperoleh bimbingan dan pengawasan dari Tuhan. Seseorang yang sudah dalam tingkatan arif ini, adalah orang yang sudah mencapai derajat wara’.[10]
Menurut Syaikh Abdul Qadir Al – Jailani, membagi taubat menjadi 3 golongan. Pertama, Taubat orang awam yaitu taubatnya dari dosa. Kedua, taubat orang khusus (Khawash) yaitu taubatnya dari ghaflah (lalai kepada Allah). Dan yang ketiga, taubat orang khususnya khusus (Khawashu al-khawash) yaitu taubatnya dari berpalingnya hati kepada selain Allah.[11]

IV.    SIMPULAN
Setiap sesuatu yang di lakukan manusia pasti terdapat kesalahan, baik itu di sengaja maupun tidak, karena bagaimanapun juga, manusia adalah tempatnya lupa, salah dan dosa, maka  dari itu Baginda Nabi Muhammad saw.. selalu mengajarkan kepada para umatnya untuk selalu beristighfar memohon ampun kepada Allah atas segala dosa-dosa yang telah ia lakukan melalui beberapa informasi yang terdapat dalam hadist yang telah sampai pada kita, yaitu dengan cara menyesali atas perbuatan dosa tesebut dalam hati, mohon ampun dengan lisan dan dengan berjanji tidak akan mengulanginya lagi dan dengan berbagai syarat tertentu, agar taubat menjadi sempurna.
Dalam berbagai tingkatan pendekatan seorang hamba kepada Allah swt. Itu berbeda-beda, maka cara mereka bertaubat kepada Allah pun berbeda-beda, ada yang masih awam, khash, khawasul khawash dan lain sebagainya. Namun pada intinya adalah, selama masih ada kesempatan untuk bertaubat, mari kita bertaubat sebelum terlambat, karena kita tidak akan pernah tahu kapan ajal kita tiba, kapan saatnya kita kembali pada sang pencipta. Karena waktu, tidak akan pernah terulang lagi.

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari kami. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.








DAFTAR PUSTAKA

Al Ghozali, Mempertajam Mata Bathin dan Indra Keenam, Yogyakarta : Mitrapress, 2007, cet. 2
________, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan Yang Ditulis Sediri Oleh Sang Hujjatul Islam, penerjemah Irwan Kurniawan dari Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, Jakarta : Penerbit Mizan, 2008
Al-Qahthani, Sa’id bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir AL – jailani, penerjemah Minurul Abidin dari Asy-Syaikh Abdul qadir Al-jailani wa Arauhu Al-I’tiqodiyah wa Ash-Shufiyah, Jakarta : PT. Darul falah, 2003
Muhammad, Hasyim, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar offset, 2002
Nashr, Al-Faqih, Terjemah Tanbihul Ghafilin (Peringatan Bagi Orang-Orang Yang Lupa), Alih bahasa: Muslich Shabir dari Kitab Tanbihul Ghafilin, Semarang: CV Toha Putera: 1993
Nawawi, Imam, Terjemah Riyadhus Shalihin, penerjemah Achmad Sunarto dari Riyadhus Shalihin, Jakarta : Pustaka Amani, 1999
Tohir, Moenir Nahrowi, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012


[1] Imam Al Ghozali, Mempertajam Mata Bathin dan Indra Keenam, (Yogyakarta : Mitrapress, 2007), cet. 2, hlm. 11 – 12
[2] Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar offset, 2002), hlm. 29
[3] Ibid., hlm. 14 - 15
[4] Al – Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan Yang Ditulis Sediri Oleh Sang Hujjatul Islam, penerjemah Irwan Kurniawan dari Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, (Jakarta : Penerbit Mizan, 2008), hlm. 321
[5] Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, penerjemah Achmad Sunarto dari Riyadhus Shalihin, (Jakarta : Pustaka Amani, 1999), hlm. 15
[6] Sa’id bin Musfir Al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir AL – jailani, penerjemah Minurul Abidin dari Asy-Syaikh Abdul qadir Al-jailani wa Arauhu Al-I’tiqodiyah wa Ash-Shufiyah, (Jakarta : PT. Darul falah, 2003), hlm. 487
[7] Op.Cit., Imam Al – Ghozali, Mempertajam Mata Bathin dan Indra keenam, hlm. 16 – 17
[8] Al-Faqih Nashr bin Muhammad bin Ibrahim As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin (Peringatan Bagi Orang-Orang Yang Lupa), Alih bahasa: Muslich Shabir, (Semarang: CV Toha Putera: 1993), hlm. 172
[9] Op.Cit, Imam Nawawi, hlm. 19
[10] Moenir Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012), hlm. 96. Lihat juga Ibid., Imam Al – Ghozali, Mempertajam Mata Bathin dan Indra keenam, hlm. 18 – 20. Dan  Op.Cit, Hasyim Muhammad, hlm. 30-31.
[11] Op.Cit., Sa’id bin Musfir Al-Qahthani, hlm. 485

No comments:

Post a Comment