ALIRAN KEBATINAN DAN AJARANNYA
1. Daftar nama aliran kebatinan (khususnya Jawa Tengah)
1) No. 1.007/F.6/F.2/1980 Badan
Kebatinan Indonesia
2) No. 1.144/F.6/F.2/1980 Badan
Keluarga Kebatinan Wisnu
3) No. 1.213/F.3/N.1/1982 Elang
Mangku Negara
4) No. 1.216/F/3/N.1/1982 Hak
(Kawruh Hak)
5) No. 1.021/F.6/F.2/1980 Hidayat
Jati Ranggawarsita
6) No. 1.022/F.6/F.2/1980 Hidup
Betul
7) No. 1.209/F.3/N.1/1982 Himpunan
Kebatinan Rukun Wargo
8) No. 1.193/F.3/N.1/1982 Ilmu
Kasampurnan Jati
9) No. 1.207/F.3/N.1/1982 Jaya
Sampurna (Pamungkas Jati Titi Jaya Sampurna)
10) No. 1.174/F.6/F.2/1980 Kalimasada
Rasa Sejati
11) No. 1.212/F.3/N.1/1980 Ratu Adil
12) No. 1.105/F.6/F.2/1980 Aliran
Kebatinan Perjalanan (DKI Jakarta)
13) No. 1.066/F.6/F.2/1980 Paguyuban
Darma Bakti (Jawa Timur)
2. Ajaran aliran kebaatinan
Ø
Paguyuban Darma bakti
Paguyuban Darma Bakti adalah suatu organisasi kebatinan yang
memang diadakan untuk belajar kebagusan dan kebaktian yang harus dimiliki
manusia. Paguyuban ini fokus dalam ajaran etika atau tingkah laku yang baik dan
pengabdian manusia dalam kehidupan, dan juga mencari sejatinya hidup atau cara
memanfaatkan hidup. Paguyuban ini tidak serta merta langsung menjadi sebuah
paguyuban, ada cerita sejarah yang amat panjang hingga menjadi paguyuban yang
dinamai Paguyuban Darma Bakti.
Untuk belajar kebagusan dan kebaktian paguyuban ini memiliki
ajaran-ajaran yang cukup banyak dan terorganisir, salah satu ajaran yang utama
yaitu ajaran sangkan paraning dumadi. Para penganut
paguyuban ini juga memiliki banyak tatacara beribadah dan ritual yang mereka
amalkan.
Penelitian ini, diambil di Dusun Tambuh, Kota Batu, Jawa
Timur. Diambil dengan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulannya
secara wawancara, observasi dan dokumentasi. Bukan hanya di Dusun Tambuh,
pengumpulan data dilakukan di Surabaya dengan sumber data dari sesepuh dan
penganut paguyuban. Perlu kita ketahui, paguyuban ini berisi dari berbagai
agama, mulai dari Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Bahkan sekitar 80% yang
menjadi warganya adalah orang-orang Islam. Namun satu titik temu mereka
berkumpul yakni Tuhan, apapun nama Tuhan dalam agama mereka namun ketika mereka
menginjakkan ke dalam paguyuban darma bakti maka satu nama yang mereka kenal
yakni Tuhan, bukan Yesus, sang Hyang Widi, Allah ataupun Budha Gautama.
Ajaran
sangkan paraning dumadi dalam paguyuban
ini tidak bermaksud untuk menguraikan tentang proses kejadian manusia,
melainkan uraian yang akan dipergunakan sebagai pangkal untuk menumbuhkan
pengertian sekaligus kepercayaan mereka bahwa kelahiranya di dunia ini ada yang
melahirkan, sejak keberadaan hingga kelahirannya selalu disertai saudara
sekelahiran (
kakang kawah adi ari ari), bahwa ia hidup ada
yang menghidupi dan bahwa semua kehidupan di dunia ini berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa. Mengenai ritual yang dilakukan bersama atau perayaan besar yang
terjadi di bulan suro, adalah gelar sesaji suro, yang dirayakan dalam tiga kali
perayaan dengan waktu berkala yakni pada tanggal 1 suro, 10 suro dan 30 suro.
Ø
Ratu Adil
Ratu Adil bukanlah sosok manusia, tetapi sebuah paham
atas kesalahan tafsir soal takdir belaka.
Tujuan hidup orang Jawa hanya satu, manunggal dengan
Gusti. Paham ini telah melahirkan jalan etika yang multi dimensi. Yang mana
yang lebih dulu, sulit diterangkan. Sebab bagi manusia Jawa dari manapun dan
kemanapun tidak menjadi masalah.
Mau mulai dari awal, tengah, atau bahkan akhir tak
perlu dipersoalkan. “Latihlah terus-menerus kalbumu, agar menjadi kreatif
melahirkan gagasan yang cerdas dan tajam, jangan tidur dan makan melulu,
capailah keperwiraan, paksalah agar badan kasarmu mencegah makan dan tidur.”
Ini bait tembang
yang selalu harus diingat, agar setiap apa yang dikerjakan menuju pada laku hambeg
adil paramaarta, ber budi bawa
leksana, mamasuh malaning
bumi-mangasah mingising budi, berlaku adil dan dermawan, siap melaksanakan kewajiban,
membersihkan kekotoran dunia, agar dunia menjadi selamat sentausa dengan terus
mengasah ketajaman budi.
Untuk bisa melakukan hal di atas itu, ada pemahaman
awal yang perlu dijelajah dari tahapan melik-melek-melok.
Melik maknanya baru sampai tahap pikiran, dipahami, dimengerti, tafakur. Melek artinya sudah sampai dirasakan dalam kalbu, baik-buruknya,
gampang-susahnya, bermakna atau tak bermakna, tadzakkur. Melok berarti sudah menjadi kehendak
yang dilanjutkan dengan tindakan nyata, tadzabbur.
Dalam kasanah Jawa lalu terkenal peribahasa “ojo muluk yen durung melok, yang
diterjemahkan secara harafiah: jangan menyuapkan nasi kalau nasinya belum ada
di piring. Padahal arti sesungguhnya ialah jangan (muluk) terbang tinggi seperti merpati, maksudnya janganlah punya
keinginan mencari ilmu terlalu tinggi kalau belum punya dasar yang kuat. Inilah
yang kemudian nanti menjelma menjadi cipta,
rasa, karsa. Itulah ideologi terpadu yaitu
keterpaduan kepala dan dada, akal dan qalbu, cipta dan rasa.
Nilai-nilai yang mendasari itu semua adalah sebuah
pemahaman atas pandam, pandom, panduming
dumadi. Pandam adalah dilah, dian, cahaya, penuntun ke arah yang terang, yaitu
petunjuk hidup yang termanifestasikan dalam bentuk wahyu agama baik yang
semiotik maupun yang dalam bentuk lokal religi. Pandom adalah kompas, petunjuk yang sepenuhnya berasal dari alam.
Maka orang Jawa harus pandai membaca alam seperti musim dengan perangainya
dalam bentuk kala atau mongso, waktu yang membagi-bagi waktu.
Dan bagi yang sudah mencapai tingkat purba diri, kesempurnaan ilmu, ia akan
mampu membaca tanda-tanda jaman.
Pandum,
artinya takdir setiap manusia yang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Dari sikap “nrima ing pandum” itu muncullah
beberapa kemungkinan, yaitu sikap pasif, sikap aktif secara langsung, serta
aktif secara tidak langsung. Yang aktif langsung menumbuhkan apa yang dikenal
sebagai: paham “Kawula-Gusti”. Sedangkan yang aktif tapi tidak langsung
melahirkan apa yang dikenal sebagai paham atau ajaran: “Ratu-Adil”.
Sikap “nrima” yang pasif berhubungan dengan kedudukan orangnya sebagai
objek penderita atau pelengkap penderita. Sedangkan yang lainnya berhubungan
dengan keadaan atau posisi sebagai pelengkap penyerta atau pelengkap pelaku.
Dalam kasanah Jawa lalu dikenal peringatan yang berupa Candi Sewu
(Rorojonggrang) dan Candi Borobudur. Maknanya janganlah kita membeku seperti
seribu patung Rorojonggrang dan terus-menerus menjadi pelengkap penderita, atau
terbelenggu oleh egoisme seperti 1000 ksatria yang terkurun dalam candi Borobudur.
Bagi
orang Jawa pada strata paling rendah, terbiasa nrima ing pandum, menerima takdir yang memang sudah disandangnya.
Yang bisa mengangkat derajad dan pangkatnya adalah hanya jika telah datang
seorang Ratu Adil yang selalu dinantinya.
Ø
Aliran Kebatinan Perjalanan
Ajaran aliran Perjalanan berdasarkan pada wangsit yang
diterima oleh Mei Kartawinta. Ia menerima wangsit itu berkali-kali sampai ada
sepuluh kali yang disebut Dasa Wasita seperti berikut :
ü
Wangsit pertama : “Janganlah dirimu
dihina dan direndahkan oleh siapa pun, sebab dirimu tidak lahir dan tidak besar
oleh sendirinya, tetapi dirimu dilahirkan dan dibesarkan penuh dengan cinta
kasih ibu dan bapakmu. Bahkan dirimu itu sendirilah yang melaksanakan segala
kehendak dan cita-citamu yang seyogyanya kamu berterima kasih kepadanya.”
ü
Wangsit kedua : “Brang siapa
menghina dan merendahakan dirimu, sama juga artinya dengan menghina dan
merendahkan ibu bapakmu bahkan leluhur bangsamu.”
ü
Wangsit ketiga : “Tiada lagi
kekuatan dan kekuasaan yang melebihi kekuatan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha
Esa, Belas dan Kasih. Sifat belas dan kasih itu pun dapat mengatasi dan
menyelesaikan segala pertentangan atau pertengkaran, bahkan dapat memadukan
paham dan usaha untuk mencapai tujuan yang lebih maju serta menyempurnakan
akhlak dan meluhurkan budi pekerti manusia.”
ü
Wangsit keempat :“Dengan kagum dan
takjub kamu menghitung tetesan air yang mengalir yang menuju kesatuan mutlak,
yaitu lautan sambil memberikan manfaat kepada kehidupan manusia, binatang, dna
pepohonan atau tetumbuhan. Akan tetapi kamu belum pernah mengagumi dan takjub
kepada dirimu sendiri yang telah mempertemukan kamu dengan dunia beserta segala
isinya. Bahkan kamu belum pernah menghitung kedip matamu. Sungguh betapa
nikmatnya apa yang kamu rasakan, padahal semua itu sebagai hikmah dari Tuhan
Yang Maha Esa.”
ü
Wangsit kelima : “Kemanapun kamu
pergi dan di mana pun kamu berada Tuhan Yang Maha Esa akan selalu bersama
denganmu.”
ü
Wangsit keenam : “Perubahan besar
alam kehidupan manusia akan menjadi pembalasan terhadap segala penindasan serta
mencetuskan atau melahirkan kemerdekaan hidup bangsa.”
ü
Wangsit ketujuh : “Apabila
pengetahuan disertai kekuatan raga dan jiwamu digunakan secara salah untuk
memuaskan hawa nafsu, akan menimbulkan dendam kesumat, kebencian, pembalasan,
dan perlawanan. Sebaliknya apabila pengetahuan dan kekuatan raga dan jiwamu
digunakan untuk menolong sesama akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan
persaudaraan yang mendalam.”
ü
Wangsit kedelapan : “Cintailah
sesama hidupmu tanpa memandang jenis dan rupa, sebab apabila telah meninggalkan
jasad, siapa pun akan berada dalam keadaan yang sama. Ia tidak mempunyai daya
dan upaya. Justru selama itu, selama kamu masih hidup, berusahalah agar kamu
dapat memelihara kelangsungan hidup sesama sesuai dengan kodrat-Nya menurut kehendak
Tuhan Yang Maha Esa.”
ü
Wangsit kesembilan : “Batu di tengah
sungai, jikalau olehmu digarap menurut kebutuhan, kamu menjadi kaya karenanya.
Dalam hal itu yang membuat seseorang kaya raya bukanlah pemberian batu itu,
tetapi yang membuat kaya raya adalah hasil kerjamu sendiri.”
ü
Wangsit kesepuluh : “Geraklah untuk
kepentingan sesamamu, bantulah yang sakit untuk mengurangi penderitaannya.
Kemudian hari akan tercapailah masyarakat kemanusiaan yang menggerakkan
kemerdekaan dan kebenaran” (Rozak, 2002:178-185).
Dasa Wasita (kesepuluh wangsit) tersebut di atas, bila
diringkas intinya adalah sebagai berikut :
1.
Antara sesama dilarang saling
menghina.
2.
Menghina kepada seseorang hakikatnya
juga menghina kepada ayah dan ibunya bahkan nenek moyangnya.
3.
Tidak ada yang memiliki kekuatan dan
kekuasaan, kecuali Tuhan Yang Maha Esa, Yang Belas Kasih. Sifat belas dan kasih
itu dapat menyempurnakan akhlak dan meluhurkan budi pekerti.
4.
Air yang senantiasa menghidupi
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia, mengandung hikmah agar manusia sebagai
individu selalu berbuat baik kepada sesama.
5.
Tuhan Yang Maha Esa selalu berada
dekat dengan manusia.
6.
Dinamika hidup dan kehidupan manusia
akan membawa kebebasan dari penindasan.
7.
Pemuasan hawa nafsu akan membawa
kekacauan dan kehancuran.
8.
Antara sesama harus saling
cinta-mencintai agar terpelihara kehidupan bersama.
9.
Kekayaan tidak datang dengan
sendirinya, melainkan harus dengan kerja keras.
10. Antara sesama harus saling tolong-menolong terutama
dalam menegakkan kebenaran.
Bila disimak secara seksama, sepuluh butir Dasa Wasita
tersebut di atas, semuanya berisi ajaran moral sebagai pedoman hidup manusia
dalam hidup bersama, khususnya anggota atau warga aliran Perjalanan.
Setelah wangsit itu diterima, maka didirikan aliran
Perjalanan. Nama perjalanan tampaknya diambil dari gambaran air yang mengalir
mulai dari sumbernya melalui sungai sampai akhirnya ke lautan. Sepanjang
perjalanan, air telah memberikan unsur yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan
tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia. Gambaran perjalanan air ini sebagai
ibarat perjalanan kehidupan manusia sebagai individu agar senantiasa berdarma
bakti dan berbuat baik kepada sesama untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Konsep ini juga dipandang selaras dengan konsep Pancasila yang mengandung makna
sosial religius. Karenanya aliran Perjalanan juga dipandang mempunyai peranan
dalam kehidupan negara yang berdasarkan Pancasila. Berdasarkan konsep ini
pulalah agaknya, aliran ini disebut “Agama Yakin Pancasila” (nama lain dari
aliran kebatinan perjalanan).