Sketsa Biografi Kyai Asnawi
Pada kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran
lahir seorang jabang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra
dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah ini lahir di sebuah rumah
milik Mbah Sulangsih. Kelahiran anak pertama bagi sepasang keluarga baru
menjadi satu keharuan dan dambaan yang sangat tiada nilainya. Apalagi bayi itu
laki-laki yang telah diharap dapat melanjutkan kiprah orang tua. Rasa syukur
yang dirasakan tidak sekedar diucapkan. semuanya sebagai bukti terima kasih
pada sang pencipta alam atas anugerahnya.
Tempat tinggal mbah Sulangm begitu ia akrab disapa
menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran
kelahiran anak mbarep. Sudah menjadi tradisi masyarakat Kudus Kulon,
setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia
dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan. Tradisi semacam ini sudah
dimulai semenjak nenek moyang. Kedatangan tamu untuk menengok bayi biasanya
diikuti dengan tentengan (bawaan) berupa gula, teh dan kebutuhan dapur
lainnya. setelah mereka pulang, tuan rumah juga membalasnya dengan hadiah
berupa makanan, masyarakat menyebut dengan balen.
Tanggal dan bulan yang pasti kelahirannya tidak
diketahui, yang jelas hari lahirnya adalah seingat KH. Minan Zuhri adalah
Jum'at Pon. H. Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konfeksi yang
tergolong besar. Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata
penduduk di desa ini mempunyai penggautan (kerja) di bidang konfeksi.
Mata pencaharian konfeksi sampai sekarang juga masih banyak ditekuni penduduk
Damaran. Potensi ekonomi masyarakatnya mengandalkan kreatifitas memproduksi
kain menjadi pakain, kerudung, rukuh, dan lain sebagainya.
Sebagai orang tua, Abdullah Husnin menginginkan kelak
anaknya nanti pandai dalam bidang agama dan piawai dalam berdagang. Ikhtiar
mewujudkan anak yang sholeh ditempuhnya dengan mengenalkan huruf-huruf Arab
kepada Syamsyi. Huruf-huruf Arab ini biasanya diajarkan untuk memulai
belajar al Qur'an. Husnin menyempatkan diri mendidik putranya belajar Al-Qur'an
mulai kecil hingga menginjak dewasa. Awal pengajaran Al-Qur'an dimulai dengan alip,
ba, ta (alif, ba', ta') dan seterusnya hingga mahir mambaca. Sebab di
Damaran, syarat orang hidup sempurna dalam masyarakat beragama Islam adalah
dilihat dari kemahiran baca Al-Qur'an.
Harapan orang tuanya dilanjutkan dengan mendidik
Syamsyi berdagang semenjak usia 15 tahun. Sekitar tahun 1876 orang tuanya
memboyong ke Tulung Agung Jawa Timur. Disana Husnin mengajari anaknya berdagang
pagi hingga siang. Sedangkan waktu luang yang cukup panjang tidak ingin
disia-siakan oleh anaknya yang masih muda belia. Keinginannya mencetak putra
sholih mengantarkan Husnin untuk mengikutsertakan Syamsi mengaji di Pondok
Pesantren Mangunsari Tulung Agung. Waktu mengaji adalah sepulang dari berdagang
mulai sore hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang ditekuni kala itu.
Cukup asing sekali nama Raden Ahmad Syamsi, bahkan
jarang sekali orang Kudus mengenalnya. Syamsi inilah yang kelak menjadi
terkenal dengan nama KH. Raden Asnawi. Semasa hidupnya tercatat tiga kali
berganti nama. Ahmad Syamsi dipakai mulai lahir hingga umur 25 tahun.
Sepulangnya dari haji pertama pada tahun 1886, namanya diganti dengan Raden
Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang
wajar.
Nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya,
tetapi nama itu diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang
haji ketiga. Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam
pengembanagan Ahlussunnah Waljama'ah di Kudus. Dari sinilah kharismanya
muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai. Sehingga nama
harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (KH.
R. Asnawi).
Dalam memperjuangkan Islam, KH. R. Asnawi memiliki
pendirian yang teguh. Prinsip-prinsip hidupnya sangat keras dan watak
perjuangnnya terkenal galak. Sebab kala itu bangsa Indonesia sedang
dirundung nestapa penjajahan kaum kafir. Keyakinan inilah yang dipeganginya
sangat kokoh sekali. Bahkan tidak segan-segan KH. R. Asnawi memproduk hukum
agama yang sangat tegas. Segala bentuk tasyabbuh atas kolonial
diharamkan, entah itu gaya berjalannya, berdasi atau menghidupkan radio.
Kehidupan beliau dihabiskan untuk menegakkan Islam.
Perjuangannya disertai dengan kerelaan dan keteguhan jiwa. Lebih dari itu
seperti dituturkan KH Abdurrahman Wahid, bahwa R. Asnawi adalah ulama'
dari desa yang didasari kejujuran dan terbuka dalam memimpin bangsa, selain itu
KH. R. Asnawi menurut Gus Dur mengikat dirinya dengan etika (ahlaq al
karimah). Dengan itu nama besarnya banyak dikenang oleh masyarakat. Kiprah
dalam bidang agama ditempuh dengan dakwah ke berbagai daerah: Kudus, Jepara,
Demak, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu dan Blora. Begitu pula KH. R.
Asnawi aktif dalam pertemuan-pertemuan ulama' nasional mulai tahun 1926-1956.
Setelah pulang dari Makkah, di Haramain saat bermukim, KH. R. Asnawi juga tidak
pernah ketinggalan dalam forum-forum diskusi keagamaan. Diskusi bidang agama
sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupannya.
Umur yang diberikan Allah tidaklah sama yang
diharapkan masyarakat. Masyarakat dan umat Islam pada umumnya mengharap agar
para Kyai dipanjangkan umurnya dan diberkahi kesehatannya. Tujuannya tiada lain
mendampingi dan menata infrastruktur masyarakat dalam memegang subtansi ajaran
agama. Namun Allah telah menghendaki terlebih dahulu memanggil KH. R. Asnawi
menghadap keharibaannya.
Wafatnya ulama' besar di Kudus ini tidak terduga.
Sebab satu minggu sebelum wafatnya KH. R. Asnawi masih bermusyawarah dalam
muktamar NU XII di Jakarta. Bersama dengan para Kyai NU se-Indonesia, KH. R.
Asnawi masih nampak segar bugar. Dikisahkan oleh KH. Minan Zuhri, selama
berlangsungnya muktamar, Asnawi menginap di rumah H. Zen Muhammad adik kandung
K.H. Mustain di Jalan H. Agus Salim Jakarta. Muktamar yang digelar pada tanggal
12-18 Desember 1959 merupakan muktamar terakhir yang dihadirinya. Mustain yang
setia mengantar-jemput KH. R. Asnawi selama berjalannya muktamar dari rumah
adiknya sempat tertegun. Pasalnya, saat menjemput beliau untuk menghadiri
pembukaan Muktamar yang dihadiri Bung Karno, Mustain mendengarkan kalimat aneh
dari KH. R. Asnawi: "Hai Mustain ! inilah yang merupakan terakhir kehadiranku
dalam muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku."
Tercenganglah Mustain mendengar perkataan itu. Spontan Mustain menyambung
pembicaraan dengan mengatakan; "Kalau Kyai tidak dapat hadir dalam
muktamar, maka sangat kami harapkan do'anya."
Kemungkinan besar Asnawi telah mengetahui akan
tanda-tanda panggilan Allah untuk memanggil dirinya. Pukul 02.30 WIB Sabtu itu
Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh
dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan
didampingi istrinya Hamdanah kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya
semakin tidak berdaya. Dan kalimat syahadat adalah kalimat terakhir yang
mengantarkan arwahnya. Waktu itu juga 26 Desember 1959 M/25 Jumadil Akhir 1379
H sekitar pukul 03.00 fajar, KH. R. Asnawi pulang ke rahmatullah.
Kudus berkabung ditinggalkan ulama' besar yanga setia
mendampingi kejayaan Islam ala Ahlussunah Wal Jama'ah. Pada usia 98 tahun KH.
R. Asnawi meninggalkan para keluarga dan santrinya. Kesedihan tidak hanya pada
masyarakat Kudus, semua Kyai di Indonesia turut menyatakan duka kepada kyai
kritis asal Kudus yang beberapa waktu lalu masih sempat kumpul di Jakarta.
Khabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di RRI pusat Jakarta lewat berita pagi pukul
06.00. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Hasbullah yang
di-callling H. M Zainuri Noor.
Ribuan umat Islam memadati rumah duka untuk ta'ziyah
sebagai penghormatan akhir kepada almarhum. Keluarga, murid dan
masyarakat tumplek blek di rumah duka. Isap tangis dan dengung bacaaan
tahlil mengiringi kesedihan muazziyyin. Dikisahkan oleh Minan
Zuhri, halaman rumah duka mulai jam 04.00 waktu itu sudah penuh dengan tamu.
Jenazah diberangkatkan dari rumah jam 16.30. Sebelumnya mulai jam 14.00 hingga
jam 16.00 shalat jenazah dilaksanakan secara bergantian.
Keranda (cekatil) yang diusung dari rumah
setelah selesai upacara pamitan menjadi rebutan para pelayat. Layaknya
keranda yang ditempati mayat hanya digendong empat orang saja. Namun keranda pengangkat
jenazah KH. R. Asnawi tidak begitu. Keranda dengan lurup hijau bertuliskan
kalimat tahlil dengan dililiti kembang nampak berjalan sendiri. Pengusung
keranda juga tidak terhitung dan saling silih berganti. Semua pelayat punya
hasrat untuk menghormati Kyai dengan turut serta memanggul keranda.
Keadaaan seperti itu semakin menjadikan keranda sulit berjalan dengan lancar.
Sesekali bergoyang ke kanan dan ke kiri serta naik turun karena gonta-ganti
pemanggul. Begitu seterusnya sampai di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus.
Setelah dilaksanakan solat jenazah, keranda yang sebelumnya juga dilewatkan dua
pintu kembar tidak mungkin kembali melewati rute seperti biasa .
Umumnya, setelah selesai shalat jenazah, rute yang
ditempuh adalah kembali ke arah timur dari pengimaman dan kembali menyusup dua
pintu kembar dan baru menuju ke pemakaman. Namun hal ini nampak aneh. Seusai
shalat, keranda langsung diturunkan lewat jendela Masjid Menara dan diterima
pengusung lainnya di bawah. Hal ini untuk menghindari terjadinya rebutan keranda
seperti sebelumnya. Di samping itu pula maqbaroh-nya juga berada tepat
berada di sebelah barat mihrab masjid. Tempat pemakaman di belakang
pengimaman ini merupakan amanat almarhum sebelum meninggal dunia.
Sampai sekarang makam KH. R. Asnawi masih banyak
dikunjungi oleh para peziarah. Di atas sebidang tanah satu komplek dengan makam
Sunan Kudus, KH. R. Asnawi menempati persinggahan terakhir. Batu nisan dan
bangunan kijing setinggi 50 cm bercat hijau menjadi saksi sejarah. Di sebelah
barat kijingan tertempel monel bertuliskan: Makam KH. R. Asnawi lengkap dengan
hari dan tanggal wafat, baik hijriyyah maupun miladiyyah.
Untuk mengenang tahun wafat Kiai Asnawi, KH. Turaihan
Adjhuri-tokoh falak terkenal-membuat kalimat ?? ?? : Hiduplah engkau
(Mbah Asnawi) dan lindungilah kami. Hitungan abajadun dari kalimat tetenger
itu berjumlah 1379. ‘ain = 70, syin = 300, ghin = 1000 dan tha' = 9. Di sinilah
akhir perjuangan praktisnya berakhir. Namun jasa-jasanya sampai sekarang masih
dapat terasa. KH. Sya'roni Ahmadi menyebutkan bahwa penisun (baca: tutup usia)
KH. R. Asnawi sudah komplit. Tiga aspek yang menjadi tumpuan hitungan
manusia yang telah meninggal dunia dan masih mendapatkan pahala dalam kehidupan
Asnawi telah terpenuhi. Mulai dari shadaqoh (amal jariah), ilmu yang
bermanfaat dan anak shaleh. Amal jariyah terlihat dengan pendirian Pondok
Pesantren Roudlotut Tholibin (nglestreni Pondok pada tanggal 29 Rabiul
Awal 1345 H/26 September 1927 M) dan Madrasah Qudsiyyah (berdiri 1919 M).
Ilmu yang manfaat dapat disaksikan dengan keberhasilannya mencetak generasi
muslim yang tangguh dengan bekal ilmu-ilmu agama. Dan anak shaleh juga tampak
dengan tampilnya anak-putu sebagai tokoh masyarakat menggantikan mbah
Asnawi.
Banyak sekali pengaruh perjuangan KH. R. Asnawi yang
masih terasa hingga sekarang. Kiprahnya di tengah-tengah masyarakat tampil
dengan anggun dan memukau, untuk itulah dibutuhkan keterangan yang lebih jauh
tentang siapa sejatinya beliau. Lebih jauh dari itu jasanya dalam memperteguh
ajaran Islam juga tidak tanggung. Sampai-sampai dalam sebuah pertemuan dengan
beberapa Kyai di Jawa Timur terdapat konsensus, Kyai dilarang untuk bekerja.
Alasan ini diambil karena kondisi selain diancam kecamuk penjajahan oleh
Belanda, Islam juga sudah mulai dirongrong dengan bentuk-bentuk modernitas yang
membombardir tradisi. Keadaan semacam ini memaksa kepada Kyai untuk kerja
ekstra membendung arus penghapusan nilai Sunniah yang selama ini dipegang teguh
akibat datangnya kelompk wahabi yang sangat mengedepankan prinsip akal.
Tentang sejarah panjang kepiawaian KH. R. Asnawi dapat
dibaca dalam Riwayat Hidup KH. R. Asnawi karya KH. Minan Zuhri dalam
majalah El-Wijah, 1982, The Pesantren Architects and Their
Socio-Religious Teaching sebuah disertasi UCLA Amerika Serikat tahun 1997
karya Dr. Abdurrahman Mas'ud, MA dan Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26
Tokoh NU buku terbitan Mizan Bandung tahun 1998 yang diedit oleh Saifullah
Ma'shum.