HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Sunday, April 27, 2014

Biografi Kyai Asnawi

Sketsa Biografi Kyai Asnawi
Pada kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran lahir seorang jabang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah ini lahir di sebuah rumah milik Mbah Sulangsih. Kelahiran anak pertama bagi sepasang keluarga baru menjadi satu keharuan dan dambaan yang sangat tiada nilainya. Apalagi bayi itu laki-laki yang telah diharap dapat melanjutkan kiprah orang tua. Rasa syukur yang dirasakan tidak sekedar diucapkan. semuanya sebagai bukti terima kasih pada sang pencipta alam atas anugerahnya.
Tempat tinggal mbah Sulangm begitu ia akrab disapa menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran kelahiran anak mbarep. Sudah menjadi tradisi masyarakat  Kudus Kulon, setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan. Tradisi semacam ini sudah dimulai semenjak nenek moyang. Kedatangan tamu untuk menengok bayi biasanya diikuti dengan tentengan (bawaan) berupa gula, teh dan kebutuhan dapur lainnya. setelah mereka pulang, tuan rumah juga membalasnya dengan hadiah berupa makanan, masyarakat menyebut dengan balen.
Tanggal dan bulan yang pasti kelahirannya tidak diketahui, yang jelas hari lahirnya adalah seingat KH. Minan Zuhri adalah Jum'at Pon. H. Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar. Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata penduduk di desa ini mempunyai penggautan (kerja) di bidang konfeksi. Mata pencaharian konfeksi sampai sekarang juga masih banyak ditekuni penduduk Damaran. Potensi ekonomi masyarakatnya mengandalkan kreatifitas memproduksi kain menjadi pakain, kerudung, rukuh, dan lain sebagainya.
Sebagai orang tua, Abdullah Husnin menginginkan kelak anaknya nanti pandai dalam bidang agama dan piawai dalam berdagang. Ikhtiar mewujudkan anak yang sholeh ditempuhnya dengan mengenalkan huruf-huruf Arab kepada Syamsyi. Huruf-huruf Arab ini biasanya diajarkan untuk memulai belajar al Qur'an. Husnin menyempatkan diri mendidik putranya belajar Al-Qur'an mulai kecil hingga menginjak dewasa. Awal pengajaran Al-Qur'an dimulai dengan alip, ba, ta (alif, ba', ta') dan seterusnya hingga mahir mambaca. Sebab di Damaran, syarat orang hidup sempurna dalam masyarakat beragama Islam adalah dilihat dari kemahiran baca Al-Qur'an.
Harapan orang tuanya dilanjutkan dengan mendidik Syamsyi berdagang semenjak usia 15 tahun. Sekitar tahun 1876 orang tuanya memboyong ke Tulung Agung Jawa Timur. Disana Husnin mengajari anaknya berdagang pagi hingga siang. Sedangkan waktu luang yang cukup panjang tidak ingin disia-siakan oleh anaknya yang masih muda belia. Keinginannya mencetak putra sholih mengantarkan Husnin untuk mengikutsertakan Syamsi mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulung Agung. Waktu mengaji adalah sepulang dari berdagang mulai sore hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang ditekuni kala itu.
Cukup asing sekali nama Raden Ahmad Syamsi, bahkan jarang sekali orang Kudus mengenalnya. Syamsi inilah yang kelak menjadi terkenal dengan nama KH. Raden Asnawi. Semasa hidupnya tercatat tiga kali berganti nama. Ahmad Syamsi dipakai mulai lahir hingga umur 25 tahun. Sepulangnya dari haji pertama pada tahun 1886, namanya diganti dengan Raden Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang wajar.
Nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya, tetapi nama itu diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang haji ketiga. Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan Ahlussunnah Waljama'ah di Kudus. Dari sinilah kharismanya muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai. Sehingga nama harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (KH. R. Asnawi).
Dalam memperjuangkan Islam, KH. R. Asnawi memiliki pendirian yang teguh. Prinsip-prinsip hidupnya sangat keras dan watak perjuangnnya terkenal galak. Sebab kala itu bangsa Indonesia sedang dirundung nestapa penjajahan kaum kafir. Keyakinan inilah yang dipeganginya sangat kokoh sekali. Bahkan tidak segan-segan KH. R. Asnawi memproduk hukum agama yang sangat tegas. Segala bentuk tasyabbuh atas kolonial diharamkan, entah itu gaya berjalannya, berdasi atau menghidupkan radio.
Kehidupan beliau dihabiskan untuk menegakkan Islam. Perjuangannya disertai dengan kerelaan dan keteguhan jiwa. Lebih dari itu seperti dituturkan  KH Abdurrahman Wahid, bahwa R. Asnawi adalah ulama' dari desa yang didasari kejujuran dan terbuka dalam memimpin bangsa, selain itu KH. R. Asnawi menurut Gus Dur mengikat dirinya dengan etika (ahlaq al karimah). Dengan itu nama besarnya banyak dikenang oleh masyarakat. Kiprah dalam bidang agama ditempuh dengan dakwah ke berbagai daerah: Kudus, Jepara, Demak, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu dan Blora. Begitu pula KH. R. Asnawi aktif dalam pertemuan-pertemuan ulama' nasional mulai tahun 1926-1956. Setelah pulang dari Makkah, di Haramain saat bermukim, KH. R. Asnawi juga tidak pernah ketinggalan dalam forum-forum diskusi keagamaan. Diskusi bidang agama sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupannya.
Umur yang diberikan Allah tidaklah sama yang diharapkan masyarakat. Masyarakat dan umat Islam pada umumnya mengharap agar para Kyai dipanjangkan umurnya dan diberkahi kesehatannya. Tujuannya tiada lain mendampingi dan menata infrastruktur masyarakat dalam memegang subtansi ajaran agama. Namun Allah telah menghendaki terlebih dahulu memanggil KH. R. Asnawi menghadap keharibaannya.
Wafatnya ulama' besar di Kudus ini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KH. R. Asnawi masih bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta. Bersama dengan para Kyai NU se-Indonesia, KH. R. Asnawi masih nampak segar bugar. Dikisahkan oleh KH. Minan Zuhri, selama berlangsungnya muktamar, Asnawi menginap di rumah H. Zen Muhammad adik kandung K.H. Mustain di Jalan H. Agus Salim Jakarta. Muktamar yang digelar pada tanggal 12-18 Desember 1959 merupakan muktamar terakhir yang dihadirinya. Mustain yang setia mengantar-jemput KH. R. Asnawi selama berjalannya muktamar dari rumah adiknya  sempat tertegun. Pasalnya, saat menjemput beliau untuk menghadiri pembukaan Muktamar yang dihadiri Bung Karno, Mustain mendengarkan kalimat aneh dari KH. R. Asnawi: "Hai Mustain ! inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku." Tercenganglah Mustain mendengar perkataan itu. Spontan Mustain menyambung pembicaraan dengan mengatakan; "Kalau Kyai tidak dapat hadir dalam muktamar, maka sangat kami harapkan do'anya."
Kemungkinan besar Asnawi telah mengetahui akan tanda-tanda panggilan Allah untuk memanggil dirinya. Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya Hamdanah kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan kalimat syahadat adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya. Waktu itu juga 26 Desember 1959 M/25 Jumadil Akhir 1379 H sekitar pukul 03.00 fajar, KH. R. Asnawi pulang ke rahmatullah.
Kudus berkabung ditinggalkan ulama' besar yanga setia mendampingi kejayaan Islam ala Ahlussunah Wal Jama'ah. Pada usia 98 tahun KH. R. Asnawi meninggalkan para keluarga dan santrinya. Kesedihan tidak hanya pada masyarakat Kudus, semua Kyai di Indonesia turut menyatakan duka kepada kyai kritis asal Kudus yang beberapa waktu lalu masih sempat kumpul di Jakarta. Khabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di RRI pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Hasbullah yang di-callling H. M Zainuri Noor.
Ribuan umat Islam memadati rumah duka untuk ta'ziyah sebagai penghormatan akhir kepada almarhum. Keluarga,  murid dan masyarakat tumplek blek di rumah duka. Isap tangis dan dengung bacaaan tahlil mengiringi  kesedihan muazziyyin. Dikisahkan oleh Minan Zuhri, halaman rumah duka mulai jam 04.00 waktu itu sudah penuh dengan tamu. Jenazah diberangkatkan dari rumah jam 16.30. Sebelumnya mulai jam 14.00 hingga jam 16.00 shalat jenazah dilaksanakan secara bergantian.
Keranda (cekatil) yang diusung dari rumah setelah selesai upacara pamitan menjadi rebutan para pelayat. Layaknya keranda yang ditempati mayat hanya digendong empat orang saja. Namun keranda pengangkat jenazah KH. R. Asnawi tidak begitu. Keranda dengan lurup hijau bertuliskan kalimat tahlil dengan dililiti kembang nampak berjalan sendiri. Pengusung keranda juga tidak terhitung dan saling silih berganti. Semua pelayat punya hasrat untuk  menghormati  Kyai dengan turut serta memanggul keranda. Keadaaan seperti itu semakin menjadikan keranda sulit berjalan dengan lancar. Sesekali  bergoyang ke kanan dan ke kiri serta naik turun karena gonta-ganti pemanggul. Begitu seterusnya sampai di Masjid  Al-Aqsha Menara Kudus. Setelah dilaksanakan solat jenazah, keranda yang sebelumnya juga dilewatkan dua pintu kembar tidak mungkin kembali melewati rute seperti biasa .
Umumnya, setelah selesai shalat jenazah, rute yang ditempuh adalah kembali ke arah timur dari pengimaman dan kembali menyusup dua pintu kembar dan baru menuju ke pemakaman. Namun hal ini nampak aneh. Seusai shalat, keranda langsung diturunkan lewat jendela Masjid Menara dan diterima pengusung lainnya di bawah. Hal ini untuk menghindari terjadinya rebutan keranda seperti sebelumnya. Di samping itu pula maqbaroh-nya juga berada tepat berada di sebelah barat mihrab masjid. Tempat pemakaman di belakang pengimaman ini merupakan amanat almarhum sebelum meninggal dunia.
Sampai sekarang makam KH. R. Asnawi masih banyak dikunjungi oleh para peziarah. Di atas sebidang tanah satu komplek dengan makam Sunan Kudus, KH. R. Asnawi menempati persinggahan terakhir. Batu nisan dan bangunan kijing setinggi 50 cm bercat hijau menjadi saksi sejarah. Di sebelah barat kijingan tertempel monel bertuliskan: Makam KH. R. Asnawi lengkap dengan hari dan tanggal wafat, baik hijriyyah maupun  miladiyyah.
Untuk mengenang tahun wafat Kiai Asnawi, KH. Turaihan Adjhuri-tokoh falak terkenal-membuat kalimat  ?? ?? : Hiduplah engkau (Mbah Asnawi) dan lindungilah kami. Hitungan abajadun dari kalimat tetenger itu berjumlah 1379. ‘ain = 70, syin = 300, ghin = 1000 dan tha' = 9. Di sinilah akhir perjuangan praktisnya berakhir. Namun jasa-jasanya sampai sekarang masih dapat terasa. KH. Sya'roni Ahmadi menyebutkan bahwa penisun (baca: tutup usia) KH. R. Asnawi sudah komplit. Tiga aspek yang menjadi tumpuan hitungan manusia yang telah meninggal dunia dan masih mendapatkan pahala dalam kehidupan Asnawi telah terpenuhi. Mulai dari shadaqoh (amal jariah), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh. Amal jariyah terlihat dengan pendirian Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin (nglestreni Pondok pada tanggal 29 Rabiul Awal  1345 H/26 September 1927 M) dan Madrasah Qudsiyyah (berdiri 1919 M). Ilmu yang manfaat dapat disaksikan dengan keberhasilannya mencetak generasi muslim yang tangguh dengan bekal ilmu-ilmu agama. Dan anak shaleh juga tampak dengan tampilnya anak-putu sebagai tokoh masyarakat menggantikan mbah Asnawi.
Banyak sekali pengaruh perjuangan KH. R. Asnawi yang masih terasa hingga sekarang. Kiprahnya di tengah-tengah masyarakat tampil dengan anggun dan memukau, untuk itulah dibutuhkan keterangan yang lebih jauh tentang siapa sejatinya beliau. Lebih jauh dari itu jasanya dalam memperteguh ajaran Islam juga tidak tanggung. Sampai-sampai dalam sebuah pertemuan dengan beberapa Kyai di Jawa Timur terdapat konsensus, Kyai dilarang untuk bekerja. Alasan ini diambil karena kondisi selain diancam kecamuk penjajahan oleh Belanda, Islam juga sudah mulai dirongrong dengan bentuk-bentuk modernitas yang membombardir tradisi. Keadaan semacam ini memaksa kepada Kyai untuk kerja ekstra membendung arus penghapusan nilai Sunniah yang selama ini dipegang teguh akibat datangnya kelompk wahabi yang sangat mengedepankan prinsip akal.
Tentang sejarah panjang kepiawaian KH. R. Asnawi dapat dibaca dalam Riwayat Hidup KH. R. Asnawi karya KH. Minan Zuhri dalam majalah El-Wijah, 1982, The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teaching sebuah disertasi UCLA Amerika Serikat tahun 1997 karya Dr. Abdurrahman Mas'ud, MA dan Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU buku terbitan Mizan Bandung tahun 1998 yang diedit oleh Saifullah Ma'shum.


RIYADHAH AN-NAFS (PENEMPATAN DIRI)

RIYADHAH AN-NAFS (PENEMPATAN DIRI)


Rasulullah SAW. Bersabda, “Kita kembali dari Jihad palig kecil menuju Jihad paling besar.”
Yang dimaksud Jihad paling besar yaitu Jihad melawan hawa nafsu. Dan ketahuilah bahwa jiwa memiliki kotoran yang harus dibersihkan. Dengan cara itu, sampailah pada kebahagiaan abadi dan kedekatan kepada Allah Swt.
Tasawuf adalah pembersih hati, dan sumber tasawuf adalah ‘inda al-akhlaq wa al-adab, dari pekerti dan tata karma. Kemudian yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri.
Ø  Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk
Manusia bisa dilihat dua hal yakni akhlak yang baik (husn al-khuluq) dan rupa yang baik (husn al-khalaq). Yakni, bathin yang baik adalah penguasaan sifat-sifat terpuji terhadap sifat-sifat tercela dan lahir yang baik adalah berkaitan dengan keindahan fisik.
Mengenai keutamaan akhlak yang baik, Rasululullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya akhlak yang baik melelehkan kesalahan sebagaimana matahari melelehkan es.”
Kesempurnaan akhlak yang baik terdapat dalam diri Rasulullah SAW. Beliau menginginkan umatnya mempunyai akhlak yang baik pula dan akhlak itu dapat diubah dengan tindakan serta sering melakukannya sehingga menjadi kebiasaan. Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Baguskanlah akhlak kamu” dan dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Kebaikan adalah kebiasaan”.
Imam Ghozali mengatakan, “Barangsiapa yang pada asal fitrahnya tidak ada, misalnya kedermawaan, maka biasakanlah hal itu walaupun dengan memaksakan diri.” Mengobati penyakit hati adalah dengan cara melakukan kebalikannya hingga tercapai tujuan. Maka kelanggengan dalam beribadah dan mengingkari syahwat akan membaguskan rupa bathin dan diperoleh keridhaan Allah Swt.
Dan tanda-tanda akhlak yang baik adalah
1.      Keimanan/kepercayaan kepada Allah sudah tinggi, seperti tertuang dalam QS. Al-Anfal : 2, Al-Mu’minun : 1-10, dll.
2.      Orang-orang yang berperilaku baik dimuka bumi salah satunya dengan rendah hati, ini terdapat dalam QS. Al-Furqon : 63.
3.      Sudah mencapai maqom Allah bersamaku, Allah melihatku, dan Allah adalah saksiku.
Ø  Mengobati Jiwa dengan mengenal Aib diri
Rasulullah Saw, bersabda, “Apabila Allah menghendaki suatu kebaikan pada hamba, maka Dia menampakkan padanya aib-aib dirinya.”
Telah diketahui mengobati penyakit hati adalah dengan mempertemukan sesuatu dengan lawannya. Akan tetapi, hal itu berbeda untuk setiap individu, karena watak itu berbeda-beda. Oleh karena itu cara mengetahui aib diri dan cara memperbaikinya adalah sbb:
1.       Mencari Guru yang benar-benar guru
Yaitu duduk dihadapan salah seorang guru dan menyibukkan diri dengan apa yang diperintahkannya. Maka ketika itu kadang-kadang tersingkap olehnya aib-aibnya dan kadang-kadang pula gurunya yang menyingkapkannya kepadanya. Hal ini adalah cara yang terbaik dan paling utama.
2.      Mencari sahabat yang saleh dan mengetahui segala rahasia masalah ini
Maka bersahabatlah dengannya dan menjadikannya pengawas terhadap dirinya agar mengamati ihwal dirinya dan mengingatkannya atas aibnya.
3.      Dengarkan perkataan orang hasad
Janganlah menghalangi orang hasad mencari aib-aibmu dan menambahinya. Maka ambillah faedah darinya, dan celalah dirimu pada setiap aib yang dituduhkan kepadamu.
Ø  Sifat cita-cita
Ketahuilah bahwa barang siapa yang menginginkan ladang akhirat, maka tandanya adalah menjauhi ladang dunia. Dan yang menjadi penghalang tercapainya maksud adalah tidak adanya suluk, yang menghalangi suluk adalah tidak adanya kemauan, dan yang menghalangi kemauan adalah tidak adanya keimanan.
Barang siapa yang menyadari dari dirinya sendiri atau orang lain, baginya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu : mengangkat tabir dan penghalang serta meninggalkan/menjauhinya dari hal-hal negatif menuju positif, yaitu ada empat : harta, pangkat, taklid, kemaksiatan.
Jika sudah melakukan empat hal tadi, maka ia menjadi seperti orang yang telah berwudlu, bersih dari hadats kecil maupun besar, dan hendak bersiap-siap untuk sholat. Dan ketika itu, ia harus mempunyai guru suluk yang memberikan jalan akhirat bagi dirinya sehingga ia mendapat petunjuk. Ia harus patuh dan taat dengan semua yang diperintahkan oleh gurunya seperti keadaan mayit dihadapan orang yang sedang memandikannya.
Di dalam hal itu, ini mengingatkan kisah Musa a.s. dengan Khidhir a.s. Ketika itu, ia diperintah dengan empat hal, yaitu menyendiri, diam, lapar, dan tidak tidur di malam hari. Jika sudah melakukan semua itu niscaya akan dekat dengan Allah, dan sampailah dengan inti hati. Hal yang dapat menyebabkan kelembutan hati yang menjadi kunci penyingkapan (mukasyafah).
Metode selanjutnya adalah dengan diiringi oleh Dzikir. Dzikir lisan dan dzikir hati, itu dilakukan dalam seluruh ihwal. Selama ia mengetahui keberadaan dirinya, maka hendaklah ia berdzikir, ini tertuang dalam QS. Al-An’am : 91. Dan jika was-was dan pikiran jelek menguasai, maka jalan yang tepat adalah kembali pada dzikir, ini tertuang dalam QS. Al-A’raf : 200-201.
Lazimkan dzikir sepanjang hidup. Mudah-mudahan Allah menganugerahkan untuk menjad pemuka agama yang tersingkap baginya segala hakikat. Amin.


Referensi : Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumiddin : Ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang Hujjatul Islam, diterjemah oleh Irwan Kurniawan dari “Mukhtasar Ihya’ Ulumiddin”, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2008), cet, 1, hlm.222 - 234

Manfaat Kekentalan Air (Andai Sekental Minyak Zaitun..?)

Manfaat Kekentalan Air
Oleh : Lukman Hakim XII MA Tercinta

Saat mendengar kata “cairan”, orang segera membayangkan zat yang amat mudah mengalir. Padahal, tingkat-tingkat kekentalan cairan amatlah beraneka. Contohnya, kekentalan aspal, gliserin, minyak zaitun, dan asam sulfat, sangatlah berbeda. Perbedaan besar akan tampak ketika semua cairan ini dibandingkan sebagaimana dalam tabel berikut :

Zat cair
Dibandingkan air
Aspal
10 miliar lebih kental
Gliserin
1000 kali lebih kental
Minyak zaitun
100 kali lebih kental
Asam sulfat
25 kali lebih kental

Rendahnya tingkat kekentalan air sangatlah penting bagi seluruh makhluk hidup, tak terkecuali tumbuhan. Pembuluh halus pada daun, sebgaimana tampak pada gambar, mampu  mengalirkan air karena sifat encernya.


Pembandingan sederhana di atas mengisyaratkan satu hal: air memiliki kekentalan sangat rendah. Dengan kata lain, air sangatlah encer atau amat cair sehingga mudah mengalir. Kecuali beberapa zat cair – seperti eter dan hidrogen cair – dan zat-zat berwujud gas, air tampaknya memiliki tingkat kekentalan terendah.
Apakah rendahnya tingkat kekentalan air ada gunanya bagi kita? Apa bedanya jika air sedikit lebih kental atau lebih encer? Profesor Michael Denton menjawab pertanyaan ini :
Jika kekentalan air lebih tinggi, gerakan terkendali makromolekul besar, khususnya bentuk semacam mitokondria dan organel kecil, akan menjadi tidak mungkin; demikian juga peristiwa-peristiwa seperti pembelahan sel. Semua kegiatan utama sel akan terhenti, dan kehidupan sel menyerupai jenis apa pun yang pernah kita kenal mustahil akan terjadi. Perkembangan organisme-rganisme tingkat tinggi, yang sangat bergantung pada kemampuan sel bergerak atau beringsut selama pembentukan embrio, pasti mustahil terjadi jika kekentalan air sedikit saja lebih tinggi dari yang ada sekarang. (Michael Denton, Nature’s Destiny: How The Laws of biogogy Reveal Purpose in the Universe, New York: The free press, 1998, hlm. 33)
Sifat encer air tidak hanya penting bagi pergerakan di tingkat sel, akan tetapi berguna pula bagi sistem peredaran darah. Seluruh makhluk hidup berukuran tubuh lebih dari seperempat milimeter memiliki sistem peredaran terpusat. Tanpanya, zat makanan dan oksigen mustahil dapat diedarkan merata ke seluruh bagian tubuh. Dengan kata lain, zat makanan dan oksigen takkan dapat diserap oleh sel-sel, dan sisa-sisa zat makanan atau zat sampah lainnya tidak dapat dibuang.
Terdapat banyak sel yang menyusun tubuh makhluk hidup. Karenanya, sangat penting bagi zat makanan, oksigen dan energi yang telah masuk ke dalam tubuh untuk diedarkan merata (dipompa) ke seluruh sel-sel melalui semacam “selang” atau “pipa”. Sama halnya, pipa-pipa serupa juga diperlukan untuk membawa & membuang zat-zat sampah. “pipa” ini adalah pembuluh darah vena dan arteri, yang merupakan bagian dari sistem peredaran darah. Jantung adalah pompa yang mendorong bekerjanya sistem ini agar terus-menerus mengalir.
Cairan yang dipompa dan dialirkan dalam darah sebagian besarnya tersusun atas air. Darah tersusun atas cairan bening yang disebut plasma darah. Selain itu, darah juga berisi partikel-partikel kecil seperti sel-sel darah, protein, dan hormon – warna merah darah dihasilkan oleh partikel sel darah merah. Sekitar 95% penyusun plasma darah adalah air.
Inilah sebab mengapa tingkat kekentalan air sangatlah penting bagi bekerjanya sistem peredaran darah dengan baik. Jika air sekental aspal, misalnya, maka jantung takkan mampu memompanya. Jika air sekental minyak zaitun (sekitar satu juta lebih encer daripada aspal), jantung mungkin masih mampu memompanya, meskipun sulit. Tapi, darah sekental minyak zaitun takkan mampu mencapai dan melewati seluruh miliaran pembuluh darah kapiler yang meliputi tubuh kita. Pipa atau pembuluh darah kapiler adalah pembuluh darah yang berukuran sangat kecil.
Begitulah, air “benar-benar pas dan sesuai” untuk kehidupan. Tingkat kecocokan ini tak dapat disandingkan dengan cairan lain mana pun. Bagian terbesar planet bumi ini seluruhnnya cocok untuk kehidupan, dan dilingkupi dengan air berjumlah tepat dan sesuai dengan kehidupan. Jelas, ini semua bukanlah kebetulan belaka atau ada dengan sendirinya. Pastilah terdapat perancangan dan perhitungan sengaja untuk tujuan tertentu.
Dengan kata lain, sifat fisika air di atas memperlihatkan kepada kita bahwa air diciptakan secara istimewa dan khusus untuk kehidupan. Bumi, yang sengaja diciptakan untuk dihuni manusia, dihidupkan dengan air, yang secara khusus dibuat untuk menjadi sandaran utama hidup manusia. Dengan air, Allah telah mengaruniai hidup kepada kita, dan dengannya Allah menumbuhkan dari tanah beragam sumber makanan yang menyehatkan kita. Jika demikian halnya, patutkah kita tidak bersyukur dan menyembah Allah.? (insight)

Gurah Mata


 
GURAH MATA


1.     Sebelum melakukan gurah mata ini terlebih dahulu berdo’a kepada Allah Swt., memohon dan meminta kepada Tuhan dengan Tulus Ikhlas.
2.     Tarik nafas dalam-dalam dari hidung lalu keluarkan dari mulut pelan-pelan.. ulangi sampai tiga kali. Diusahakan dengan posisi tubuh diatur senyaman mungkin dengan bersila dan menghadap kekiblat, sebisa mungkin dilakukan dengan santai, rileks, dan tidak ada tekanan apapun.
3.     Kemudian mulailah pejamkan mata perlahan-lahan.
4.     Yang pertama, tarik nafas lagi dari hidung tahan sekuatnya sambil membaca Dzikir kepada Allah dan bersamaan itu tarik bola mata kebawah dengan semaksimal mungkin dengan sefull-fulnya (ingat..! sambil pejamkan mata). Ini dilakukan sekitar 2-3 menit kemudian keluarkan nafas pelan-pelan melalui mulut.
5.     Yang kedua, caranya seperti diatas cuma bedanya, tarik bola mata keatas dengan semaksimal mungkin dengan sefull-fulnya.
6.     Yang ketiga, caranya seperti diatas cuma bedanya, tarik bola mata kekanan dengan semaksimal mungkin dengan sefull-fulnya.
7.     Yang keempat, caranya seperti diatas cuma bedanya, tarik bola mata kekiri dengan semaksimal mungkin dengan sefull-fulnya.
8.     Lalu yang terakhir adalah kedip-kedipkan mata sampai 20 kali, dan lihatlah benda yang paling jauh disekitarmu bagi yang sedikit rabun dekat.

9.     By : LH_Al-QudsNB : lakukan setelah tidur, dalam tarik nafas, tarik dari hidung dan tahan sambil berdzikir Allah-Allah-Allah biar nafas ini terasa nikmat sehingga aliran nafas ini akan sampai ke penyakit mata, kemudian dikeluarkan dari hidung. 

Friday, April 11, 2014

Perjalanan Sufi Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a.

Suatu ketika saat berkelana beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?” Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja” Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?” Kemudian terdengar suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.
ِِSyadziliyah adalah nama suatu desa di benua Afrika yang merupakan nisbat nama Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau pernah bermukim di Iskandar sekitar tahun 656 H. Beliau wafat dalam perjalanan haji dan dimakamkan di padang Idzaab Mesir. Sebuah padang pasir yang tadinya airnya asin menjadi tawar sebab keramat Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau belajar ilmu thariqah dan hakikat setelah matang dalam ilmu fiqihnya. Bahkan beliau tak pernah terkalahkan setiap berdebat dengan ulama-ulama ahli fiqih pada masa itu. Dalam mempelajari ilmu hakikat, beliau berguru kepada wali quthub yang agung dan masyhur yaitu Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, dan akhirnya beliau yang meneruskan quthbiyahnya dan menjadi Imam Al-Auliya’. Peninggalan ampuh sampai sekarang yang sering diamalkan oleh umat Islam adalah Hizb Nashr dan Hizb Bahr, di samping Thariqah Syadziliyah yang banyak sekali pengikutnya. Hizb Bahr merupakan Hizb yang diterima langsung dari Rasulullah saw. yang dibacakan langsung satu persatu hurufnya oleh beliau saw. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. pernah ber-riadhah selama 80 hari tidak makan, dengan disertai dzikir dan membaca shalawat yang tidak pernah berhenti. Pada saat itu beliau merasa tujuannya untuk wushul (sampai) kepada Allah swt. telah tercapai. Kemudian datanglah seorang perempuan yang keluar dari gua dengan wajah yang sangat menawan dan bercahaya. Dia menghampiri beliau dan berkata, ”Sunguh sangat sial, lapar selama 80 hari saja sudah merasa berhasil, sedangkan aku sudah enam bulan lamanya belum pernah merasakan makanan sedikitpun”. Suatu ketika saat berkelana, beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?”. Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja”. Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?”. Kemudian terdengarlah suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”. Beliau pernah khalwat (menyendiri) dalam sebuah gua agar bisa wushul (sampai) kepada Allah swt. Lalu beliau berkata dalam hatinya, bahwa besok hatinya akan terbuka. Kemudian seorang waliyullah mendatangi beliau dan berkata, “Bagaimana mungkin orang yang berkata besok hatinya akan terbuka bisa menjadi wali. Aduh hai badan, kenapa kamu beribadah bukan karena Allah (hanya ingin menuruti nafsu menjadi wali)”. Setelah itu beliau sadar dan faham dari mana datangnya orang tadi. Segera saja beliau bertaubat dan minta ampun kepada Allah swt. Tidak lama kemudian hati Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. sudah di buka oleh Allah swt. Demikian di antara bidayah (permulaaan) Syekh Abul Hasan As-Syadzili. Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya? Sabdanya, “Guruku adalah Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Ustman bin ‘Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung. Beliau pernah berkata, “Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat”. Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, “Aku setiap malam banyak membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku”. Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, “Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah swty. apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?”. Lalu Nabi saw. Menjawab, “Abul Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawashul kepada Abul Hasan, maka berarti dia sama saja bertawashul kepadaku”. Pada suatu hari dalam sebuah pengajian Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. menerangkan tentang zuhud, dan di dalam majelis terdapat seorang faqir yang berpakaian seadanya, sedang waktu itu Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili berpakaian serba bagus. Lalu dalam hati orang faqir tadi berkata, “Bagaimana mungkin Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. berbicara tentang zuhud sedang beliau sendiri pakaiannya bagus-bagus. Yang bisa dikatakan lebih zuhud adalah aku karena pakaianku jelek-jelek”. Kemudian Syekh Abul Hasan menoleh kepada orang itu dan berkata, “Pakaianmu yang seperti itu adalah pakaian yang mengundang senang dunia karena dengan pakaian itu kamu merasa dipandang orang sebagai orang zuhud. Kalau pakaianku ini mengundang orang menamakanku orang kaya dan orang tidak menganggap aku sebagai orang zuhud, karena zuhud itu adalah makam dan kedudukan yang tinggi”. Orang fakir tadi lalu berdiri dan berkata, “Demi Allah, memang hatiku berkata aku adalah orang yang zuhud. Aku sekarang minta ampun kepada Allah dan bertaubat”.
Di antara Ungkapan Mutiara Syekh Abul Hasan Asy-Syadili:
1. Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini : pertama, senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akherat. Kedua, ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.
2. Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga : pertama, karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat dan beristiqhfar. Kedua, karena kehilangan dunia, maka kembalikanlah kepada Allah swt. sadarlah bahwa itu bukan kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh Allah swt. Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya oleh orang lain maka bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu yang membikin Allah swt. untuk mengujimu.
Kalau Allah swt. belum memberi tahu apa sebabnya sempit atau susah, maka tenanglah mengikuti jalannya taqdir ilahi. Memang masih berada di bawah awan yang sedang melintas berjalan (awan itu berguna dan lama-lama akan hilang dengan sendirinya). Ada satu perkara yang barang siapa bisa menjalankan akan bisa menjadi pemimpin yaitu berpaling dari dunia dan bertahan diri dari perbuatan dhalimnya ahli dunia. Setiap keramat (kemuliaan) yang tidak bersamaan dengan ridha Allah swt. dan tidak bersamaan dengan senang kepada Allah dan senangnya Allah, maka orang tersebut terbujuk syetan dan menjadi orang yang rusak. Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.
Di antara keramatnya para Shidiqin ialah :
1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).
2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.
Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.
Kamu jangan menunda ta’at di satu waktu, pada waktu yang lain, agar kamu tidak tersiksa dengan habisnya waktu untuk berta’at (tidak bisa menjalankan) sebagai balasan yang kamu sia-siakan. Karena setiap waktu itu ada jatah ta’at pengabdian tersendiri. Kamu jangan menyebarkan ilmu yang bertujuan agar manusia membetulkanmu dan menganggap baik kepadamu, akan tetapi sebarkanlah ilmu dengan tujuan agar Allah swt. membenarkanmu. Radiya allahu ‘anhu wa ‘aada ‘alaina min barakatihi wa anwarihi wa asrorihi wa ‘uluumihi wa ahlakihi, Allahumma Amiin. (Al-Mihrab).

Umar bin Abdul Aziz

UMAR BIN ABDUL AZIZ

Khalifah yang Memanfaatkan Kekuasaannya untuk Meraih Surga



K
ehidupan khalifah Umar bin Abdul Aziz penuh dengan keteladanan yang sangat pantas untuk dicontoh.
Seorang penyair yang masyhur, Dukain bin Sa’id Ad-Darimi bercerita, “Ketika  menjadi gubernur di Madinah, beliau pernah memberiku hadiah 15 ekor unta pilihan, aku terkagum-kagum melihat-nya, sampai ada rasa khawatir mem-bawanya pulang ke desaku tetapi untuk menjualnya pun aku merasa sayang.
Pada saat itu, ada sekelompok orang yang mau kembali ke kampungku di Najad, maka aku pun ikut rombongan mereka. Mereka berkata, “Kami berang-kat malam ini, maka bersiaplah.”
Aku segera menjumpai Umar bin Abdul Aziz untuk berpamitan yang saat itu sedang ada dua orang tamu yang tidak aku kenal. Ketika hendak pulang, guber-nur Madinah itu berkata kepadaku, “Wahai Dukain, aku punya cita-cita yang besar. Jika engkau mendengar aku lebih jaya daripada keadaanku sekarang, datanglah, aku akan memberikanmu hadiah.” Aku langsung berkata, “Datangkanlah saksi atas perkataan Anda itu.” Beliau berkata, “Allah sebagai saksi-nya dan Dia sebaik-baik saksi.” Aku ber-kata lagi, “Saya ingin saksi dari makhluk-Nya.” Beliau berkata, “Baiklah, kedua orang ini saksinya.”
Aku menghampiri kedua orang itu dan bertanya kepada salah satunya, “Siapa-kah Anda?” Orang itu menjawab, “Saya, Salim bin Abdullah bin Umar bin Khath-thab.” Lantas aku menoleh kepada Umar bin Abdul Aziz dan berkata, “Saya setuju dan mempercayai orang ini sebagai saksi.”
Kemudian aku bertanya kepada orang yang satunya lagi, “Siapakah Anda?” Dia menjawab, “Abu Yahya, pembantu amir.” Aku berkata, “Saksi ini dari keluarga Anda, saya setuju.” Kemudian aku pamit sambil membawa unta-unta itu ke kampung halamanku. Allah member-kahinya sehingga berkembang banyak sampai aku bisa membeli unta-unta dan budak yang lebih banyak.
Suatu hari, ketika aku sedang berada di gurun Falaj Yamamah, tiba-tiba datang khabar tentang wafatnya Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik. Aku bertanya kepada pembawa berita tersebut, “Siapakah pengganti khalifah?” Dia menjawab, “Umar bin Abdul Aziz.”
Setelah mendengar berita tersebut, aku segera berangkat ke Syam. Di Damaskus aku bertemu dengan Jarir yang baru kembali dari tempat khalifah. Aku ucap-kan salam kepadanya, lalu bertanya, “Dari manakah engkau, wahai Abu Hazrah?”
Dia menjawab, “Dari tempat khalifah yang pemurah kepada fakir miskin dan menolak para penyair. Sebaiknya Anda pulang saja karena itu lebih baik bagi Anda” (karena aku seorang penyair). Aku katakan, “Saya punya kepentingan pribadi yang berbeda dengan kepen-tingan Anda semua.” Dia menjawab, “Jika demikian, terserah Anda.”
Aku terus menuju ke tempat khalifah. Ternyata beliau sedang berada di seram-bi rumahnya sedang dikerumuni anak-anak yatim, para janda dan orang-orang yang terdzalimi. Ketika aku merasa tidak bisa menerobos kerumunan itu, akupun mengangkat suara:
“Wahai Umar yang bijak dan dermawan Aku orang Qathn dari suku Darim, menagih hutang Anda yang dermawan.”
Ketika itu Abu Yahya memperhati-kanku, kemudian ia menoleh kepada Amirul Mukminin seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya adalah saksi dari orang dusun ini.” Beliau berkata, “Aku tahu itu.” Beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Mendekatlah kemari, wahai Dukain.” Setelah aku berada di hadapannya, beliau berkata lagi, “Ingatkah engkau kata-kataku sewaktu di Madinah? Bahwa aku punya ambisi besar dan menginginkan hal yang lebih besar dari apa yang sudah aku miliki.” Aku berkata, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”
“Sekarang aku telah mendapatkan yang tertinggi di dunia, yaitu kerajaan. Maka hatiku menginginkan sesuatu yang tertinggi di akhirat, yaitu jannah dan ridha Allah swt. Bila para raja meng-gunakan kerajaannya sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan dunia, maka aku menjadikannya sebagai jalan untuk men-capai kejayaan di akhirat. Wahai Dukain, aku tidak pernah menggelapkan harta muslimin walaupun satu dinar atau satu dirham sejak berkuasa di sini. Yang aku miliki tidak lebih dari 1.000 dirham saja. Engkau boleh mengambil separuhnya.”
Maka aku mengambilnya. Demi Allah, belum pernah aku memiliki uang yang lebih berkah dari pemberian itu.
Kisah kedua, diceritakan oleh seorang Qadhi Maushil Yahya Al-Ghassani, sebagai berikut:
Suatu hari Umar bin Abdul Aziz ber-keliling di pasar Homsh untuk meninjau situasi perdagangan dan mengamati harga-harga. Mendadak seorang ber-pakaian merah menghadang di depannya seraya berkata, “Wahai Amirul Muk-minin, saya mendengar berita bahwa barangsiapa mempunyai keluhan, dia boleh mengadukannya kepada Amirul Mukminin secara langsung.” Beliau menjawab, “Benar.” Orang itu berkata, “Di hadapan Anda telah ada seorang yang teraniaya dan jauh dari rumah-nya.” Khalifah bertanya, “Di manakah keluargamu?” Dia menjawab, “Di Aden.” Khalifah berkata, “Demi Allah, rumah-mu benar-benar jauh dari rumah Umar.” Khalifah segera turun dari kudanya dan berdiri di hadapannya, lalu bertanya, “Apa keluhanmu?” Dia berkata, “Barang milik ku diambil oleh orang yang mengaku sebagai pegawai Anda.”
Umar bin Abdul Aziz segera menulis surat kepada gubernurnya di Aden, Urwah bin Muhammad, yang berisi, “Jika suratku telah sampai kepadamu, maka dengarkanlah keterangan dari pembawa surat ini. Bila terbukti dia memiliki hak, segera kembalikanlah haknya.” Surat tersebut beliau stempel kemudian diserahkan kepada orang itu.
Ketika orang itu hendak pergi, Umar berkata, “Tunggu sebentar, engkau datang dari tempat yang sangat jauh, pasti telah mengeluarkan biaya banyak untuk perjalanan ini. Mungkin baju barumu menjadi usang atau kendaraan-mu mati di jalan,” kemudian beliau menghitung seluruhnya hingga men-capai sekitar sebelas dinar, lalu beliau berikan sebagai ganti rugi kepada orang itu sambil berpesan, “Beritahukan kepada orang-orang supaya tidak segan-segan melapor dan mengadu kepadaku meski-pun rumah mereka jauh.”
Adapun kisah yang ketiga, bersumber dari seorang abid yang zahid, bernama Ziyad bin Maisarah Al Makhzumi. Dia bertutur:
“Suatu ketika aku diutus oleh Tuanku, Abdullah bin Ayyasy, dari Madinah ke Damaskus untuk menemui Amirul Muk-minin, Umar bin Abdul Aziz karena suatu urusan. Antara aku dan Umar bin Abdul Aziz pernah berhubungan lama, yaitu ketika beliau masih menjadi guber-nur di Madinah.
Ketika aku masuk, beliau sedang bersama sekretarisnya. Di muka pintu aku mem-beri salam, “Assalamu’alaikum.” Beliau menjawab, “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah, wahai Ziyad.” Tiba-tiba aku merasa bersalah karena memberi salam tanpa penghormatan untuknya sebagai Amirul Mukminin. Maka aku mengulangi salamku, “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh, wahai Amirul Mukminin.” Beliau berkata, “Wahai Ziyad, kami telah menjawab salammu yang pertama, lalu kenapa perlunya engkau mengulanginya?”
Saat itu sekretarisnya sedang membaca-kan untuknya surat-surat pengaduan yang dikirim dari Basrah. Beliau berkata, “Wahai Ziyad, duduklah sampai kesibukanku ini selesai.”
Akupun menurutinya duduk di dekat pintu sedangkan sekretarisnya menerus-kan membaca laporan, sementara nafas khalifah naik turun karena gelisah mendengar pengaduan-pengaduan itu. Ketika sekretarisnya selesai dan pergi, Umar berdiri menghampiriku dan duduk di sisiku, menaruh tangannya di atas lututku sambil berkata, “Beruntung-lah engkau wahai Ziyad. Engkau bisa mengenakan baju taqwamu dan ter-hindar dari kesibukan-kesibukan seperti yang kami tangani saat ini.”
Kemudian beliau menanyakan banyak hal kepadaku. Tentang orang-orang shalih yang ada di Madinah, tentang bangunan yang dibuatnya ketika masih menjabat gubernur di Madinah, dan lain-lain semua itu aku jawab dengan baik.
Setelah itu, aku melihat beliau meng-hela nafas panjang sambil berkata, “Wahai Ziyad, tidakkah engkau perhatikan keadaanku sekarang?” Aku berkata, “Saya mengharapkan pahala dan kebaikan untuk Anda.” Beliau menjawab, “Alangkah jauh…” Kemu-dian beliau menangis sampai aku merasa iba melihatnya. Kemudian aku katakan, “Wahai Amirul Mukminin, tenangkan-lah hati Anda, saya mengharapkan kebaikan untuk Anda.”
Beliau menjawab, “Alangkah jauhnya diriku dari apa yang engkau harapkan. Aku punya kekuasaan untuk memaki orang tetapi tidak ada orang yang boleh memakiku, aku punya kekuasaan untuk memukuli orang tetapi tidak ada orang yang boleh memukuliku, aku boleh me-nyakiti orang tetapi tidak ada satupun orang yang berani menyakitiku.” Beliau menangis lagi sampai aku merasa ter-haru.
Aku mengurus semua amanah dari tuanku di tempat khalifah selama tiga hari. Ketika aku hendak pamit pulang, khalifah menitipkan surat untuk tuanku, isinya agar ia mau menjualku kepadanya. Kemudian Amirul Mukminin memberi-kan 20 dinar kepadaku, sambil berkata, “Gunakanlah untuk meringankan beban hidupmu. Seandainya engkau punya hak atas sebagian fai’ (harta yang diambil dari musuh tanpa perang), pasti akan aku berikan untukmu.”
Pertama aku menolaknya, tetapi beliau mendesaknya, “Terimalah, ini bukan harta kaum muslimin atau dari kas negara, ini adalah uang pribadiku.” Aku menolaknya lagi, tetapi beliau terus mendesaknya hingga akhirnya aku menerimanya. Dan aku pun pulang.
Sesampai di Madinah, kuserahkan surat dari Amirul Mukminin ke tuanku. Setelah membaca isinya, tuanku berkata, “Dia ingin agar aku menjualmu untuk dimerdekakan. Maka, kenapa tidak aku saja yang berbuat seperti dia.” Maka aku pun dimerdekakan oleh tuanku.