MEMAHAMI KETENTUAN ALLAH (QADAR/QADLA)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf Sosial
Dosen Pengampu : Hj. Arikhah, M.Ag
Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM (124411026)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Qadar dan Qadla yang terlintas dipikiran seorang muslim adalah rukun iman
yang ke enam. Dimana yang namanya rukun kalau tidak terpenuhi salah satu maka tidak sah perbuatan
tersebut,
begitu juga dengan rukun Iman kepada qadla dan qadar, manusia harus
mempercayai/mengimaninya tidak boleh tidak. Dan sayarat agar Iman itu sah
adalah dengan mengetahui hakekat sebenarnya. Untuk mencapai tingkat keimanan
yang tinggi dan kuat diperlukan ilmu yang benar, agar tidak tersesat dijalan
yang salah.
Beberapa golongan yang mengartikan Qadar dan qadla tidak sesuai dengan semestinya, diantaranya :
Pertama, golongan Jabariah. Golongan ini
berpendapat yang intinya mengatakan bahwa segala yang terjadi adalah
dari tuhan, manusia tidak memiliki daya apa-apa, tidak ada usaha dan menghilangkan ikhtiyar.
Kedua, golongan Muktazilah menentang adanya
takdir meraka berpendapat bahwa manusia itu sendirilah yang menentukan
nasibnya, manusia mempunyai kehendak, kekuasaan, dan kebebesan berbuat terlepas
dari kehendak tuhan.
Itulah dua golongan yang kebanyak ulama
mengatakan sesat, maka muncullah golongan ketiga yaitu golongan Ahlus Sunnah
meraka bependapat tengah-tengah antara kedua pendapat di atas. Manusia
mempunyai kehendak, kekuasaan, tetapi sampai batas tertentu yangditentukan
Allah semata.
Sedangkan dalam perspektif tasawuf, takdir
bukan dimaknai sebagai kepasrahan total kepada Allah yaitu kepaasrahan yang
salah dengan meniadakan usaha / ikhtiyar dalam menjalani kehidupan dan rasa
putus asa dari rahmat Allah. Para sufi adalah seorang hamba yang benar-benar
tahu sifat kehambaannya yaitu dengan melakukan semua yang dicintai Allah. Allah
menyukai orang-orang yang pantang menyerah, yang tidak kenal putus asa, selalu
berusaha sekuat tenaga, berdo’a dan bertawkkal.
Untuk lebih jelasnya mengenai Qadar dan Qadla sedikit pemakalah akan membahas di bab pembahasan.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Qadar?
2. Apa pengertian Qadla?
3.
Bagaimana pemikiran sufi tentang qadar dan qadla?
4.
Bagaimana Aktulisasi konsep sufi tentang qadar dan qadla dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan?
5. Bagaimana korelasi takdir
Allah dengan perbuatan/usaha manusia?
6. Apa Manfaat mengimani Qadar dan qadla?
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Qadar
Qadar menurut bahasa yaitu masdar (asal
kata) dari qadara, yaqdiru, qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya
disukun (qadran). Yang artinya ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini (qadar) adalah ukuran atau
ketentuan Allah SWT terhadap segala sesuatu.
Sedangkan menurut istilah ialah sesuatu
yang belum ditetapkan benar-benar secara final (rencana pokok/master plan yang
belum diambil keputusan menjalankan), jadi masih dapat diharapkan akan diubah
oleh Allah atas kehendak-Nya. Dan apabila sudah ditetapkan (diqada’kan) maka
tak dapat diubah lagi (makhluk tak dapat mengelak / menolaknya). Qadar sering
juga disebut dengan takdir.
Menurut al-Ragib, “Qadar” ialah
batas/ukuran yang ditetapkan untuk semua ciptaannya. Dan “Qadla’” ialah keputusan Allah terhadap sesuatu peristiwa. [1]
Iman kepada Qadar/takdir Allah artinya
percya bahwa yang menjadikan segala makhluknya dengan kodrat (kekuasaan),
iradat (kehendak), dan hikmah-Nya (kebiijaksanaan) sebagaimana firman Allah QS.
Al-Furqan ayat 2 : [2]
Ï%©!$# ¼çms9 à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur óOs9ur õÏGt #Ys9ur öNs9ur `ä3t ¼ã&©! Ô7ΰ Îû Å7ù=ßJø9$# t,n=yzur ¨@à2 &äóÓx« ¼çnu£s)sù #\Ïø)s? ÇËÈ
Artinya : “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan
langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya
dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia
menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”
Singkatnya Qadar
adalah ketentuan dan Qadla adalah perwujudan. Contoh dari qadar adalah : Allah
telah menciptakan tiap sesuatu yang ada di dalam ala mini, seperti
bintang-bintang, planet-planet, satelit-satelit, manusia, hewan, tumbuhan, dan
benda-benda mati lainnya dengan ukuran, kekuatan, tabiat dan manfaat tertentu
yang berbeda-beda pula. Sedangkan qadha adalah perwujudan terbitnya matahari di
timur dan terbenamnya di barat. [3]
Begitu pula
dengan kebahagian, kekayaan, kemiskinan, pandai tau bodoh dan sebagainya itu
berjalan dengan takdir Allah SWT. sebagai bukti konkret, seseorang dilahirkan
tidak dapat memilih siapa ibu bapaknya, di mana dilahirkan. Jelas, manusia
tidak bisa menetukan sendiri, karena semua ada dalam kekuasaan-Nya. Allah berfirman : [4]
ß,Ï9$sù Çy$t6ô¹M}$# @yèy_ur @ø©9$# $YZs3y }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur $ZR$t7ó¡ãm 4 y7Ï9ºs ãÏø)s? ÍÍyèø9$# ÉOÎ=yèø9$# ÇÒÏÈ
Artinya : “Dia menyingsingkan pagi dan
menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk
perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-An’am : 96)
* $tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud : 6)
Dalam hadits
dinyatakan bahwa kejadian manusia dalam rahim ibunya berjalan menurut
prosesnya. 40 hari pertama dinamakan nuthfah (mani) yang berkumpul, 40
hari yang kedua dinamakan ‘Alaqah (segumpal darah), dan 40 hari yang
ketiga disebut mudlghah (segumpal daging). Maka, setelah 120 hari
ditiupkan nyawa (ruh) oleh Malaikat diperintahkan menulis 4 perkara : Ilmunya
(selain ilmu pengetahuan, juga perbuatan-perbuatan apa yang bakal dikerjakan);
Berapa banyak rezekinya; Berapa lama hidupnya; dan Nasibnya, apakah ia bakal
masuk surge atau neraka.
Empat macam
perkara itu ditetapkan (ditakdirkan), dan inilah yang dimaksudkan takdir Ilahi
atau nasib seseorang.[5]
2. Pengertian Qadla
Secara bahasa Qadla memiliki beberapa arti
yaitu hukum, ketetapan, perintah, pemberitahuan, dan penciptaan,., Iman kepada
qadha menurut pengertian Ilmu Tauhid ialah : percaya bahwa hukum-hukum yang
diterima alam, hukum-hukum yang dijalankan alam, adalah diqadhakan (ditetapkan /diputuskan) oleh Allah sendiri. Misalnya beredar difalaknya, bulan
mengitari bumi, dan bumi berputar mengelilingi matahari; dan semuanya berjalan
menurut orbitnya masing-masing yang telah ditentukan Allah.[6] Atau
bisa dibilang bahwa qadla adalah perwujudan.
Qadla menunjukkan sebuah akhir dan penyelesaian.
Secara logika, qadla muncul belakangan, karena ia adalah tahap penyelesaian.
Dan ini tidak ada lagi tempat bagi pengharapan atau tidak bisa berubah.[7]
Sejak zaman azali, ketetapan itu ditulis di
dalam Lauh Mahfuzh (papan tulis yang terpelihara). Jadi, semua yang akan
terjadi (sedang atau sudah terjadi) di dunia ini semuanya sudah diketahui oleh
Allah SWT., jauh sebelum hal itu sendiri terjadi. Hal ini sebagaimana firman
Allah QS. Al-Hadid : 22 yang berbunyi :
!$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ÅÁB Îû ÇÚöF{$# wur þÎû öNä3Å¡àÿRr& wÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uö9¯R 4 ¨bÎ) Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇËËÈ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Mengenai ayat tersebut, Ibnu Abbas
r.a berkata : “Sudah dituliskan sebelum terjadinya musibah itu.”[8]
Dan seperti juga
dengan kasus Maryam yang melahirkan Nabi Isa tanpa disentuh oleh seorang
manusia pun, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an surat Maryam ayat 20-21 :
ôMs9$s% 4¯Tr& ãbqä3t Í< ÖN»n=äî öNs9ur ÓÍ_ó¡|¡ôJt ×|³o0 öNs9ur à8r& $|Éót/ ÇËÉÈ tA$s% Å7Ï9ºxx. tA$s% Å7/u uqèd ¥n?tã ×ûÎiüyd ( ÿ¼ã&s#yèôfuZÏ9ur Zpt#uä Ĩ$¨Z=Ïj9 ZpuH÷quur $¨YÏiB 4 c%x.ur #\øBr& $|ÅÒø)¨B ÇËÊÈ
20. “Maryam
berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak
pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang
pezina!"
21. “Jibril berkata:
"Demikianlah". Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiku;
dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat
dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan".”
3. Pemikiran sufi tentang qadar dan qadla
Imam
Nawawi memberikan definisi takdir sebagaimana yang dikutip oleh Sayid Sabiq menyatakan
bahwa: “sesungguhnya segala sesuatu
yang maujud ini oleh Allah digariskan (ditentukan) sejak jaman dahulu. Dia mengetahui apa saja
yang akan terjadi atas segala sesuatu tadi dalam waktu-waktu yang telah
ditentukan, sesuai dengan garis yang ditetapkan oleh-Nya. Jadi terjadinya itu
nanti pasti akan cocok menurut sifat-sifat
dan keadaannya yang khusus, tepat seperti yang digariskan oleh Allah”.[9]
Imam
al-Khaththabi yang menyatakan
bahwa: “banyak orang yang mengira bahwa arti qadla dan qadar adalah pemaksaan yang
dilaksanakan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk mengikuti apa saja yang yang
telah digariskan menurut ketentuan
dan keputusan-Nya. Padahal sebenarnya tidaklah demikian dan salah sekali apa yang mereka
sangkakan itu. Yang benar ialah bahwa arti takdir itu adalah suatu
pemberitahuan mengenai telah diketahuinya oleh Allah perihal apa yang ada dalam
perbuatan setiap orang yang berupa apapun. Jadi timbulnya itupun menurut takdir
yang ditentukan oleh Allah sesuai dengan
asli penciptaannya yakni tentang
buruk
atau baiknya. Ringkasnya bahwa takdir itu adalah sebagai nama untuk sesuatu
yang timbul yang ditentukan dari perbuatan Dzat Yang Maha Menentukan.
Sedangkan
takdir menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab
Sirrul-Asrar, beliau menegaskan “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung
pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun
aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita maka tidaklah ada manfaatnya
beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah
membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”
Pengarang
kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya kebanyakan dari rahasia itu
diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia takdir. Seperti Iblis,
ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia berkelit pada hakikat
takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak menghormati Adam. Ia menjawab,
“Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia kufur dan diusir dari surga.
Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan kesalahan pada dirinya, maka mereka
bahagia dan diberi rahmat (tidak mempermasalahkan takdir Allah SWT).
Hal
yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir tentang hakikat takdir,
agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik. Justru yang wajib bagi
seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Bijaksana.
Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di muka bumi ini, seperti
kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya, adalah perwujudan dari
ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini terdapat rahasia luar
biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah
hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat bermunajat kepada Allah SWT,
“Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau menghendaki dan Engkau telah
menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba datanglah suara gaib, “Hai
hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat ketuhanan, lalu mana syarat
kehambaanmu?” Maka sang ahli makrifat itu menarik kembali ucapannya, “Aku
salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim pada diriku.” Maka
datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku telah memaafkan
dan Aku telah merahmati.”
Maka
yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa amal yang baik adalah
atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari dirinya, sehingga ia termasuk
ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam Al-Qur’an,
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 135)
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 135)
Jika
seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal dari dirinya, maka ia
termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang menganggap bahwa dosa
adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang Allah SWT penciptanya.”[10] --Kitab Sirrul-Asrar wa
Mazh-harul-Anwar; Rasaning Rasa karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, terjemah KH
Zezen ZA Bazul Ashab, Salima dan Pustaka Zainiyyah, Juni 2013.
4. Aktulisasi konsep sufi tentang qadar dan qadla dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan
Konsep-konsep
kesufian megenai qadar dan qadlanya Allah, diantaranya :
a. Ridlo
Ridla terhadap takdir hukumnya wajib, karena ia merupakan kesempurnaan
akan ridla terhadap Rububiyah Allah, maka wajib bagi setiap muslim ridla
terhadap takdir Allah.
Akan tetapi (Al maqdhiy) sesuatu yang ditakdirkan Allah ada
penjelasan lebih lanjut; Al maqdhiy berbeda dengan takdir, karena takdir adalah
perbuatan Allah, sedangkan Al maqdhiy adalah objek dari perbuatan Allah, maka
takdir kita harus rela, dan selamanya kita tidak boleh murka dalam keadaan
apapun juga.
Adapun Al maqdhiy ada beberapa bagian : Bagian
pertama: wajib kita meridlainya. Bagian
kedua: haram kita meridlainya. Bagian
ketiga : disunnahkan meridlainya.
Bagian pertama, umpamanya perbuatan dosa termasuk dari sesuatu yang ditakdirkan
Allah, dan haram meridlainya sekalipun
terjadi dengan takdir Allah, maka siapa yang melihat maksiat dari sisi
perbuatan dan takdir Allah dan wajib meridlainya
seraya mengatakan," sesungguhnya Allah Maha bijaksana (Al Hakim), kalaulah
bukan karena hikmah Allah menuntut ini terjadi, tentu tidak akan terjadi,"
adapun dari sisi Al maqdhiy yaitu: berbuat durhaka kepada Allah maka wajib kita
untuk tidak meridlainya, dan maksiat itu wajib dihilangkan, baik berasal dari diri
anda ataupun dari diri orang lain.
Bagian kedua, Al
maqdhiy ada yang kita wajib meridlainya, seperti:
kewajiban melakukan perintah Syara', karena perintah Allah ada yang bersifat
kauniy (pasti terjadi) dan ada yang bersifat syar'I (yang wajib dilakukan dan
terkadang tidak terjadi), maka yang wajib bersifat syar'I haruslah kita meridlainya
dari sisi takdir dan Al maqdhiy.
Bagian ketiga, disunnahkan meridhainya serta wajib bersabar menerimanya,
seperti; musibah yang menimpa, maka setiap musibah yang terjadi
disunnahkan untuk meridlainya menurut
mayoritas para ulama dan tidak wajib, yang wajib adalah bersabar menerimanya. Dan perbedaan
antara sabar dan ridla adalah sabar yaitu orang yang ditimpa musibah tersebut
membenci kenyataan yang terjadi, akan tetapi tidak menyebabkannya melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan syara' (agama) yang menafikan kesabaran.
Sedangkan ridla; orangnya tidak membenci kenyataan yang terjadi, sama saja
baginya terjadi maupun tidak terjadi. Inilah perbedaan antara
ridha dan sabar, oleh karena itu mayoritas para ulama mengatakan, “sabar
wajib sedangkan ridla hanya disunnahkan”.[11]
b.
Faqr
Kata
Faqr, mempunyai bentuk kata kerja faqura, secara etimologis dapat
berarti jelek (radiáh), butuh, atau kesusahan (al-hamm),
dan menjadi lawan kata dari istaghna (tidak membutuhkan). Sedangkan
orangnya disebut faqir (orang yang sangat membutuhkan dan tidak
mempunyai sesuatu yang mencukupi kebutuhannya),& mempunyai bentuk fuqara’.[12]
Sedangkan
kata butuh terhadap Allah itu mempunyai 2 arti, yaitu : butuh secara mutlak (ihtiyaj
muthlaq) dan butuh yang terbatas (ihtiya muqayyad).
Butuh
secara muthlak (ihtiyaj muthlaq) adalah sebagaimana butuhnya seorang
hamba kepada Dzat yang mewujudkannya setelah ditetapkannya, baik berupa
petunjuk ataupun kekekalan setelah wujud dan lain-lain. Jenis butuh ini adalah
butuh kepada Allah Swt. yang wajib hukumnya, sebagaimana tercantum dalam QS.
Muhammad [47] : 38. Makna inilah yang disebut faqr muthlaq.
Sedangkan
butuh terhadap harta benda, sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama fiqh dalam
bab pendistribusian zakat, disebut faqr muqayyad (faqr yang
terbatas).[13]
Orang-orang
sufi tidaklah bersikap berdiam diri saja tanpa melakukan suatu usaha apapun,
mereka merasa masih membutuhkan Allah untuk merubah keadaanya, semula
jahat/buruk berkeinginan untuk menjadi baik, semula baik akan meningkatkan
kebaikannya, dan seterusnya. Mereka
tidak terlalu memikirkan takdirnya, yang ada difikirannya adalah selalu
melakukan apa yang disenangi oleh Allah SWT.
Seseorang yang sudah mengetahui takdir dikaitkan
dengan faqr dalam pengaplikasian social adalah manusia tidak bisa hidup sendiri
karena manusia adalah makhluk social masih membutuhkan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan pribadi manusia itu sendiri, ini kaitannya hablum minannas.
c. Zuhud
Zuhud dalam pemaknaan yang sesungguhnya adalah
meninggalkan yang bersifat ‘keduniaan’ yang bisa melalaikan akhirat. Zuhud
bukanlah orang yang tidak suka dunia, bukan juga suka hidup miskin, dan tidak
menjalankan sunnatullah yaitu tidak berusaha dan ikhtiyar. Zuhud sebenarnya
adalah memposisikan dunia sebagai
pijakan untuk akhirat yaitu memperoleh nilai ibadah yang lebih dan semangat
dalam mencari nafkah. Dan keunggulan harta yang lebih, menjadikan seseorang
bisa memberi zakat kepada orang yang membutuhkan, memberi shadaqah dan infaq,
serta mampu melaksanakan rukun islam yang kelima yaitu pergi haji ke Baitullah
di Makkah.
5. Hubungan Takdir Allah dengan Perbuatan/usaha manusia
Perubahan dalam takdir yang tergantung dan
bersyarat disebut dengan istilah bada’ (pembaruan Allah SWT). misalnya,
menyambung tali persaudaraan, menghormati orang tuanya, meemberikan sedekah,
dll, dapat mengubah takdir, sebaliknya, memutuskan tali persaudaraan dan
mendatangkan kemurkaan orang tuanya, mengubah takdir yang baik menjadi jelek.
Seseorang jika percaya bahwa takdir
bersifat final dan tidak dapat diubah, dan tidak memiliki kesempatan untuk
memilih, kita tidak akan memohon kepada Allah SWT. dan tidak melakukan
aktivitas atau usaha, dan berkata, biarkan terjadi apa yang seharusnya terjadi,
dan kita tidak meminta Allah SWT. untuk mencabut bencana kita, karena keyakinan
pada kemakbulan doa muncul ketika kita percaya bahwa takdir adalah tergantung
dan bersyarat, dan bahwa do’a dapat membuat rintangan yang menghalangi jalannya
sejumlah takdir, ketika itulah kita memiliki motif untuk berdo’a kepada Allah.[14]
Atau sebagian orang berkata, “Jika semua
perbuatan manusia, baik yang buruk maupun yang baik telah ditetapkan Allah
sejak zaman azali, berarti manusia tidak bisa disalahkan jika melakukan
perbuatan jahat dan buruk dan tidak berhak mendapat siksaan lantaran
perbuatannya itu. Bahkan ia tidak berhak mendapatkan pahala lantaran berbuat
kebaikan.”
Pendapat-pendapat diatas adalah sangatlah
keliru. Sebab, bagaimana pun manusia mempunyai/memiliki hasrat dan kehendak
yang keluar dari hatinya, apalagi niat itu ditujukan kebaikan, yang tentunya
akan mendatangkan kiebaikan dan amal sholeh. Dan jika kehendak itu ditujukan
untuk kejahatan otomatis akan mengakibatkan keburukan.
Selama manusia didunia, ia wajib
berikhtiyar dan berusaha sekuat tenaga meskipun kita telah beriman dan
mempercayai benar-benar bahwa semua ketentuan datangnya dari Allah SWT. agar
lepas dari ketentuan jelek dan buruk, serta berjuang hanya mendapatkan
ketentuan yang baik saja.
Dengan demikian , setiap Mukmin wajib
bekerja keras agar tidak jatuh miskin, giat belajar agar berilmu dan bermanfaat
bagi masyarakat, senantiasa memelihara kesehatan, dsb. Sebab kita tidak
mengetahui takdir Allah yang mana yang diperlukan bagi kita atau tidak
mengetahui apa takdir akhir kita. Sehingga, setiap Mukmin tidak dibenarkan
berdiam diri dan pasrah kepada takdir Allah, tetapi harus berjuang mencari
kemaslahatan-kemaslahatan dunia dan akhirat, serta berusaha menghindari
perbuatan mungkar dan maksiat.[15]
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri
Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. An-Nahl : 97)
Ø Perubahan Takdir
Takdir bisa dibedakan menjadi dua :
1.
Takdir dalam
ilmu Allah yang azali :
Allah SWT.
telah mengetahui apa-apa yang bakal terjadi didunia dan di akhirat, tiada
sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, sekalipun hal itu belum terjadi.
Misalnya si Fullan batas umurnya sekian, si falun sekian, si fulun begini, si
falin bakal menjadi koruptor, si Felen bakal menjadi pengusaha, dan Falan
begitu, dsb semuanya sudah diketahui oleh Allah SWT. sejak zaman azali. Tak
lain dan tidak bukan karena Allah-lah yang menentukan semua itu. Inilah yang
dimaksudkan takdir dalam ilmu Allah SWT. sesuai dengan firman-Nya :[16]
uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya : “Dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 29)
$tB ãA£t7ã ãAöqs)ø9$# £t$s! !$tBur O$tRr& 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇËÒÈ
Artinya : “Keputusan di sisi-Ku tidak dapat
diubah dan aku sekali-kali tidak Menganiaya hamba-hamba-Ku”(QS. Qaff : 29)
2.
Takdir yang
tertulis di Lauh Mahfudh
Seperti yang
diterangkan oleh Ibnu Abbas r.a, Allah SWT. menciptakan qalam (pena). Kemudian
Allah berfirman padanya (pena), “Tulislah!” Maka, pena itu menuliskan apa-apa
yang akan terjadi sampai hari kiamat di lauhul Mahfudh (papan tulis yang
terpelihara).
Takdir yang
tertulis di Lauh Mahfudh masih mungkin berubah. Karena takdir yang tertulis di
situ ada yang sudah keputusan final dan ada yang belum. Yang belum merupakan
keputusan final dinamakan mu’allaq.
Sehubungan hal itu Allah berfirman :[17]
(#qßsôJt ª!$# $tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãur ( ÿ¼çnyYÏãur Pé& É=»tGÅ6ø9$# ÇÌÒÈ
Artinya : “Allah menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS.
Ar-Ra’ad : 39)
Adapun
takdir yang tertulis di Lauh Mahfudh hanya bisa berubah lantaran tiga sebab,
yaitu :
a.
Do’a
Nabi Muhammad Saw. Bersabda :
لاَيَرُدُّ
الْقَضَاءَ اِلاَّ الدُّعَاءُ وَلاَ يَزِيْدُ فِى الْعُمْرِ اِلاَّ الْبِرُّ (رواه
الترمذى)
Artinya : “Tidak ada yang bisa
menolak takdir selain do’a, dan tidak ada yang bisa memperpanjang umur kecuali
berbuat kebaikan”. (HR. Tirmidzi).
Sehingga,
dengan berdo’a kepada Allah, Insya Allah takdir bisa berubah. Misalnya, jika
kita berbuat kebaikan umur akan diperpanjang.
b.
Berbuat kebaikan
Salah satu bentuk perbuatan baik
ialah silaturrochim. Dengan itu pun bisa merubah takdir. Rasulullah Saw.
Bersabda :[18]
مَنْ اَحَبَّ اَنْ
يُبْسُطُ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى اَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
(رواه البخارى و مسلم )
Artinya : “Barangsiapa yang menyenangi banyak
rezeki dan berumur panjang hendaknya memperbanyak hubungan silaturrochim.” (HR.
Bukhori dan Muslim)
Menurut Ibnu hajar, hadits ini tidak bertentangan
dengan QS. An-Nahl : 61. Karena yang dimaksud hadits ini ialah yang tertulis di
Lauh Mahfudh, yang diketahui Malaikat dan masih mungkin berubah. Bukan ajal
yang ditakdirkan dalam ilmu Allah.
c.
Jangan
berputus asa dalam berikhtiyar
Dalam berusaha hendaknya tidak mudah
putus asa. Sebab, untuk mendapatkan kebahagiaan, kemuliaan, dan kejayaan hidup
di dunia dan mencari bekal akhirat sangat diperlukan ketabahan, ketekunan, dan
pengorbanan. Seandainya hari ini gagal, siapa tahu besok atau lusa kita
berhasil. Selain itu, orang yang berputus asa berarti putus pula dari rahmat
Allah, seperti Firman Allah berikut ini : [19]
wur (#qÝ¡t«÷($s? `ÏB Çy÷r§ «!$# ( ¼çm¯RÎ) w ߧt«÷($t `ÏB Çy÷r§ «!$# wÎ) ãPöqs)ø9$# tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÑÐÈ
Artinya : “Jangan kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf : 87)
Seseorang yang bertauhid akan selalu
berfikir tentang tugasnya. Seorang Imam mengatakan : “Kita melakukan tugas kita,
tetapi apa yang akan terjadi bukan urusan kita. Tugas kita adalah berjuang,
tetapi apakah kita akan berhasil atau tidak bukanlah urusan kita. Apa pun yang
diinginkan oleh Allah SWT., akan terjadi. Orang yang demikian tidak akan pernah
merasa bingung, tidak juga menyesalkan pekerjaannya.” Jadi, keyakinan ini
adalah faktor keberhasilan, bukan faktor kegagalan.[20]
6.
Manfaat/hikmah
mengimani qadha dan qadar
Iman kepada Qadar dan Qadha’ Allah mempunyai dampak yang sangat
positif bagi diri sendiri seseorang. Dan tentu saja hikmat yang terkandung
didalamnya cukup banyak. Tetapi di sini cukup kita kemukakan beberapa saja
diantaranya, dan terpenting ialah :
1.
Dapat
mendorong seseorang untuk bersikap berani dalam menegakkan keadilan dan
kebenaran, dan dalam meninggikan “Kalimat Allah”. Ia tidak takut dan gentar
menghadapi risiko dan bahaya yang mengancamnya. Misalnya jatuh miskin atau mati
sekalipun, karena ia yakin bahwa kematian, rizki, nasib dan sebagainya semuanya
ditangan Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. At-taubah : 51 :[21]
@è% `©9 !$uZu;ÅÁã wÎ) $tB |=tF2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@2uqtGuù=sù cqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ
Artinya : “Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami
melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami,
dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."
Mengenai kematian, rezeki, dan nasib yang menimpa pada seseorang,
perhatikan al-Qur’an surat Yunus : 49; Hud : 6; dan al-Hadid : 22
2.
Dapat
menimbulkan ketenangan jiwa dan fikiran pada diri seseorang. Dan ia tidak akan
berputus asa pada waktu ia menghadapi bencana atau kegagalan dalam usahanya. Ia
tetap sabar dan tawakal.[22]
3.
Mendorong
untuk berusaha lebih terencana dan lebih sungguh-sungguh dari masa kemasa.
4.
Membebaskan
manusia dari bermacam-macam penyakit rohani, seperti, iri, ria, sombong,
takabur, nifaq, menipu, sembrono, malas, dan sebagainya. Sebab semua itu
berlawanan dengan kepercayaannya kepada takdir.
5.
Menyuburkan
dalam jiwa manusia, segala macam sifat-sifat yang baik, seperti ikhlas,
kasih-sayang, rajin, suka menolong, terbuka, gembira, tawakal, mencukupkan apa
yang ada dan sebagainya. Karena hal ini ditentukan oleh percaya kepada takdir.[23]
IV. SIMPULAN
Untuk memudahkan pemahaman, qadar adalah ketetapan dari Allah
sedangkan qadha’ adalah perwujudan dari ketetapan Allah. Sebagai contoh :
qadarnya Allah menciptakan matahari dengan ditakdirkan terbit dari timur dan
tenggelam dari barat. Dan qadha’nya adalah matahari terbit dari arah timur dan
tenggelam dari barat.
Qadar masih bisa berubah karena ini belum keputusan final,
sedangkan qadha’ tidak bisa berubah karena sudah menjadi keputusan final yaitu
perwujudan.
Takdir menurut
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar, beliau menegaskan
“Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir untuk
meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali sudah
ditakdirkan menderita maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku
memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan
amal buruk.”
Sedangkan pengaplikasian takdir dalam konsep-konsep
kesufian maupun dikehidupan social, diantaranya adalah ridla, faqr, zuhud, dan
tawadlu.
Takdir sendiri terbagi menjadi 2 yaitu : takdir dalam ilmunya
Allah, takdir ini yang mengetahui hanyalah Allah dan tidak bisa berubah.
Sedangkan yang kedua, takdir yang tertuliskan di Lauh Fahfudh ini bisa
diusahakan dan bisa berubah atas izin Allah. Dan merubahnya dengan do’a,
berbuat baik, silatur rochim, dan selalu berikhtiyar.
V. PENUTUP
Janganlah salah menilai ketentuan Allah
(qadar/qadla) walaupun
nasib/perbuatan manusia sudah ditakdirkan Allah sejak
zaman dahulu (zaman azali) kita tidak boleh berdiam diri dan pasrah tidak ada
usaha. Sejatinya manusia diwajibkan untuk selalu berikhtiyar dan berusaha tanpa
putus asa, karena takdir Allah bisa berubah.
Allah menciptakan manusia dan jin tidak
lain untuk beribadah kepadaNya. Makna ibadah adalah menjalani semua hal yang
disenangi oleh Allah dan menjauhi semua hal yang dibenci oleh Allah. Allah SWT
menyukai hambanya yang selalu berikhtiyar, berusaha, selalu berharap rahmatNya
dan berdo’a. janganlah salah memahami takdir, Allah sangat membeci orang-orang
yang berdiam diri tanpa usaha sedikitpun dan berputus asa.
DAFTAR PUSTAKA
Al Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fatwa
Ridha Terhadap Takdir, Madinah : Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat
Rabwah, 2007
Masjfuk, Zuhdi, Studi Islam Jilid I : Akidah, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993, cet. 2
Muhammad,
Taqi Mishbah yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, Bandung : Penerbit Arasy, 2003
Sabiq, Sayid, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), Diponegoro :
Bandung, 1989
Syahminan, Zaini, Kuliah Aqidah Islam,
Surabaya : Al Ikhlas Surabaya, 1983
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap,
Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/517928398257099, diunduh pada tanggal 29-06-2014 pukul
06.50 WIB
[1] Masjfuk
Zuhdi, Studi Islam Jilid I : Akidah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1993), cet. 2, hlm. 100
[5] Ibid., hlm. 134
[6] Op.Cit., Masjfuk Zuhdi, hlm. 100
[7] Muhammad Taqi Mishbah yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal
Tuhan Melalui Nalar dan
Firman, (Bandung
: Penerbit Arasy, 2003), hlm. 291
[10]
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/517928398257099, diunduh pada tanggal 29-06-2014
pukul 06.50 WIB
[11] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Fatwa Ridha Terhadap Takdir, (Madinah
: Maktab Dakwah Dan Bimbingan
Jaliyat Rabwah, 2007),
hlm. 60-61
[12]
In’amuzzahidin Masyhudi, Menjadi Fakir? Siapa Takut!, (Semarang :
Pustaka NUUN : 2004) hlm. 5
[13] Op.cit, In’amuzzahidin
Masyhudi, hlm. 21-25
[16] Ibid., hlm. 138
[17] Ibid., hlm. 139
[18] Ibid., hlm. 140
[19] Ibid., hlm. 141
[21] Op.Cit., Masjfuk Zuhdi, hlm. 105
[22] Ibid., hlm. 106
[23] Op.Cit., Syahminan Zaini, hlm. 378-379