HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Saturday, August 16, 2014

Memahami Ketentuan Allah


MEMAHAMI KETENTUAN ALLAH (QADAR/QADLA)

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf Sosial
Dosen Pengampu : Hj. Arikhah, M.Ag









Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM               (124411026)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.         PENDAHULUAN
Berbicara tentang Qadar dan Qadla yang terlintas dipikiran seorang muslim adalah rukun iman yang ke enam. Dimana yang namanya rukun kalau tidak terpenuhi salah satu maka tidak sah perbuatan tersebut, begitu juga dengan rukun Iman kepada qadla dan qadar, manusia harus mempercayai/mengimaninya tidak boleh tidak. Dan sayarat agar Iman itu sah adalah dengan mengetahui hakekat sebenarnya. Untuk mencapai tingkat keimanan yang tinggi dan kuat diperlukan ilmu yang benar, agar tidak tersesat dijalan yang salah.
Beberapa golongan yang mengartikan Qadar dan qadla tidak sesuai dengan semestinya, diantaranya :
Pertama, golongan Jabariah. Golongan ini berpendapat  yang intinya mengatakan bahwa segala yang terjadi adalah dari tuhan, manusia tidak memiliki daya apa-apa, tidak ada usaha dan menghilangkan ikhtiyar.
Kedua, golongan Muktazilah menentang adanya takdir meraka berpendapat bahwa manusia itu sendirilah yang menentukan nasibnya, manusia mempunyai kehendak, kekuasaan, dan kebebesan berbuat terlepas dari kehendak tuhan.
Itulah dua golongan yang kebanyak ulama mengatakan sesat, maka muncullah golongan ketiga yaitu golongan Ahlus Sunnah meraka bependapat tengah-tengah antara kedua pendapat di atas. Manusia mempunyai kehendak, kekuasaan, tetapi sampai batas tertentu yangditentukan Allah semata.
Sedangkan dalam perspektif tasawuf, takdir bukan dimaknai sebagai kepasrahan total kepada Allah yaitu kepaasrahan yang salah dengan meniadakan usaha / ikhtiyar dalam menjalani kehidupan dan rasa putus asa dari rahmat Allah. Para sufi adalah seorang hamba yang benar-benar tahu sifat kehambaannya yaitu dengan melakukan semua yang dicintai Allah. Allah menyukai orang-orang yang pantang menyerah, yang tidak kenal putus asa, selalu berusaha sekuat tenaga, berdo’a dan bertawkkal.
Untuk lebih jelasnya mengenai Qadar dan Qadla sedikit pemakalah akan membahas di bab pembahasan.

II.      RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Qadar?
2.      Apa pengertian Qadla?
3.      Bagaimana pemikiran sufi tentang qadar dan qadla?
4.      Bagaimana Aktulisasi konsep sufi tentang qadar dan qadla dalam kehidupan sosial kemasyarakatan?
5.      Bagaimana korelasi takdir Allah dengan perbuatan/usaha manusia?
6.      Apa Manfaat mengimani Qadar dan qadla?

III.   PEMBAHASAN
1.      Pengertian Qadar
Qadar menurut bahasa yaitu masdar (asal kata) dari qadara, yaqdiru, qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukun (qadran). Yang artinya ukuran atau ketentuan.  Dalam hal ini (qadar) adalah ukuran atau ketentuan Allah SWT terhadap segala sesuatu.
Sedangkan menurut istilah ialah sesuatu yang belum ditetapkan benar-benar secara final (rencana pokok/master plan yang belum diambil keputusan menjalankan), jadi masih dapat diharapkan akan diubah oleh Allah atas kehendak-Nya. Dan apabila sudah ditetapkan (diqada’kan) maka tak dapat diubah lagi (makhluk tak dapat mengelak / menolaknya). Qadar sering juga disebut dengan takdir.
Menurut al-Ragib, “Qadar” ialah batas/ukuran yang ditetapkan untuk semua ciptaannya. Dan “Qadla” ialah keputusan Allah terhadap sesuatu peristiwa. [1]
Iman kepada Qadar/takdir Allah artinya percya bahwa yang menjadikan segala makhluknya dengan kodrat (kekuasaan), iradat (kehendak), dan hikmah-Nya (kebiijaksanaan) sebagaimana firman Allah QS. Al-Furqan ayat 2 : [2]
Ï%©!$# ¼çms9 à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur óOs9ur õÏ­Gtƒ #Ys9ur öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! Ô7ƒÎŽŸ° Îû Å7ù=ßJø9$# t,n=yzur ¨@à2 &äóÓx« ¼çnu£s)sù #\ƒÏø)s? ÇËÈ  
Artinya : “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya
Singkatnya Qadar adalah ketentuan dan Qadla adalah perwujudan. Contoh dari qadar adalah : Allah telah menciptakan tiap sesuatu yang ada di dalam ala mini, seperti bintang-bintang, planet-planet, satelit-satelit, manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati lainnya dengan ukuran, kekuatan, tabiat dan manfaat tertentu yang berbeda-beda pula. Sedangkan qadha adalah perwujudan terbitnya matahari di timur dan terbenamnya di barat. [3]
Begitu pula dengan kebahagian, kekayaan, kemiskinan, pandai tau bodoh dan sebagainya itu berjalan dengan takdir Allah SWT. sebagai bukti konkret, seseorang dilahirkan tidak dapat memilih siapa ibu bapaknya, di mana dilahirkan. Jelas, manusia tidak bisa menetukan sendiri, karena semua ada dalam kekuasaan-Nya.  Allah berfirman : [4]
ß,Ï9$sù Çy$t6ô¹M}$# Ÿ@yèy_ur Ÿ@øŠ©9$# $YZs3y }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur $ZR$t7ó¡ãm 4 y7Ï9ºsŒ ㍃Ïø)s? ̓Íyèø9$# ÉOŠÎ=yèø9$# ÇÒÏÈ  
Artinya : Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Al-An’am : 96)
* $tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# žwÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètƒur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyŠöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ  
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).(QS. Hud : 6)

Dalam hadits dinyatakan bahwa kejadian manusia dalam rahim ibunya berjalan menurut prosesnya. 40 hari pertama dinamakan nuthfah (mani) yang berkumpul, 40 hari yang kedua dinamakan ‘Alaqah (segumpal darah), dan 40 hari yang ketiga disebut mudlghah (segumpal daging). Maka, setelah 120 hari ditiupkan nyawa (ruh) oleh Malaikat diperintahkan menulis 4 perkara : Ilmunya (selain ilmu pengetahuan, juga perbuatan-perbuatan apa yang bakal dikerjakan); Berapa banyak rezekinya; Berapa lama hidupnya; dan Nasibnya, apakah ia bakal masuk surge atau neraka.
Empat macam perkara itu ditetapkan (ditakdirkan), dan inilah yang dimaksudkan takdir Ilahi atau nasib seseorang.[5]

2.      Pengertian Qadla
Secara bahasa Qadla memiliki beberapa arti yaitu hukum, ketetapan, perintah, pemberitahuan, dan penciptaan,., Iman kepada qadha menurut pengertian Ilmu Tauhid ialah : percaya bahwa hukum-hukum yang diterima alam, hukum-hukum yang dijalankan alam, adalah diqadhakan (ditetapkan /diputuskan) oleh Allah sendiri. Misalnya beredar difalaknya, bulan mengitari bumi, dan bumi berputar mengelilingi matahari; dan semuanya berjalan menurut orbitnya masing-masing yang telah ditentukan Allah.[6] Atau bisa dibilang bahwa qadla adalah perwujudan.
Qadla menunjukkan sebuah akhir dan penyelesaian. Secara logika, qadla muncul belakangan, karena ia adalah tahap penyelesaian. Dan ini tidak ada lagi tempat bagi pengharapan atau tidak bisa berubah.[7]
Sejak zaman azali, ketetapan itu ditulis di dalam Lauh Mahfuzh (papan tulis yang terpelihara). Jadi, semua yang akan terjadi (sedang atau sudah terjadi) di dunia ini semuanya sudah diketahui oleh Allah SWT., jauh sebelum hal itu sendiri terjadi. Hal ini sebagaimana firman Allah QS. Al-Hadid : 22 yang berbunyi :
!$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ŠÅÁB Îû ÇÚöF{$# Ÿwur þÎû öNä3Å¡àÿRr& žwÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uŽö9¯R 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇËËÈ  
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Mengenai ayat tersebut, Ibnu Abbas r.a berkata : “Sudah dituliskan sebelum terjadinya musibah itu.”[8]
Dan seperti juga dengan kasus Maryam yang melahirkan Nabi Isa tanpa disentuh oleh seorang manusia pun, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an surat Maryam ayat 20-21 :
ôMs9$s% 4¯Tr& ãbqä3tƒ Í< ÖN»n=äî öNs9ur ÓÍ_ó¡|¡ôJtƒ ׎|³o0 öNs9ur à8r& $|Éót/ ÇËÉÈ   tA$s% Å7Ï9ºxx. tA$s% Å7š/u uqèd ¥n?tã ×ûÎiüyd ( ÿ¼ã&s#yèôfuZÏ9ur Zptƒ#uä Ĩ$¨Z=Ïj9 ZpuH÷quur $¨YÏiB 4 šc%x.ur #\øBr& $|ÅÒø)¨B ÇËÊÈ  
20.Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"
21. “Jibril berkata: "Demikianlah". Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan".”

3.      Pemikiran sufi tentang qadar dan qadla
Imam Nawawi memberikan definisi takdir sebagaimana yang dikutip oleh Sayid Sabiq menyatakan bahwa: “sesungguhnya segala sesuatu yang maujud ini oleh Allah digariskan (ditentukan) sejak jaman dahulu. Dia mengetahui apa saja yang akan terjadi atas segala sesuatu tadi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan garis yang ditetapkan oleh-Nya. Jadi terjadinya itu nanti pasti akan cocok menurut sifat-sifat dan keadaannya yang khusus, tepat seperti yang digariskan oleh Allah”.[9]
Imam al-Khaththabi yang menyatakan bahwa: “banyak orang yang mengira bahwa arti qadla dan qadar adalah pemaksaan yang dilaksanakan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk mengikuti apa saja yang yang telah digariskan menurut ketentuan dan keputusan-Nya. Padahal sebenarnya tidaklah demikian dan salah sekali apa yang mereka sangkakan itu. Yang benar ialah bahwa arti takdir itu adalah suatu pemberitahuan mengenai telah diketahuinya oleh Allah perihal apa yang ada dalam perbuatan setiap orang yang berupa apapun. Jadi timbulnya itupun menurut takdir yang ditentukan oleh Allah sesuai dengan asli penciptaannya yakni tentang buruk atau baiknya. Ringkasnya bahwa takdir itu adalah sebagai nama untuk sesuatu yang timbul yang ditentukan dari perbuatan Dzat Yang Maha Menentukan.
Sedangkan takdir menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar, beliau menegaskan “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”
Pengarang kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya kebanyakan dari rahasia itu diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia takdir. Seperti Iblis, ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia berkelit pada hakikat takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak menghormati Adam. Ia menjawab, “Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia kufur dan diusir dari surga. Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan kesalahan pada dirinya, maka mereka bahagia dan diberi rahmat (tidak mempermasalahkan takdir Allah SWT).
Hal yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir tentang hakikat takdir, agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik. Justru yang wajib bagi seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di muka bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya, adalah perwujudan dari ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini terdapat rahasia luar biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau menghendaki dan Engkau telah menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba datanglah suara gaib, “Hai hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat ketuhanan, lalu mana syarat kehambaanmu?” Maka sang ahli makrifat itu menarik kembali ucapannya, “Aku salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim pada diriku.” Maka datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku telah memaafkan dan Aku telah merahmati.”
Maka yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa amal yang baik adalah atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari dirinya, sehingga ia termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam Al-Qur’an,
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 135)
Jika seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal dari dirinya, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang menganggap bahwa dosa adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang Allah SWT penciptanya.”[10] --Kitab Sirrul-Asrar wa Mazh-harul-Anwar; Rasaning Rasa karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, terjemah KH Zezen ZA Bazul Ashab, Salima dan Pustaka Zainiyyah, Juni 2013.

4.      Aktulisasi konsep sufi tentang qadar dan qadla dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
Konsep-konsep kesufian megenai qadar dan qadlanya Allah, diantaranya :
a.       Ridlo
Ridla terhadap takdir hukumnya wajib, karena ia merupakan kesempurnaan akan ridla terhadap Rububiyah Allah, maka wajib bagi setiap muslim ridla terhadap takdir Allah.
Akan tetapi (Al maqdhiy) sesuatu yang ditakdirkan Allah ada penjelasan lebih lanjut; Al maqdhiy berbeda dengan takdir, karena takdir adalah perbuatan Allah, sedangkan Al maqdhiy adalah objek dari perbuatan Allah, maka takdir kita harus rela, dan selamanya kita tidak boleh murka dalam keadaan apapun juga.
Adapun Al maqdhiy ada beberapa bagian : Bagian pertama: wajib kita meridlainya. Bagian kedua: haram kita meridlainya. Bagian ketiga : disunnahkan meridlainya.
Bagian pertama, umpamanya perbuatan dosa termasuk dari sesuatu yang ditakdirkan Allah, dan haram meridlainya sekalipun terjadi dengan takdir Allah, maka siapa yang melihat maksiat dari sisi perbuatan dan takdir Allah dan wajib meridlainya seraya mengatakan," sesungguhnya Allah Maha bijaksana (Al Hakim), kalaulah bukan karena hikmah Allah menuntut ini terjadi, tentu tidak akan terjadi," adapun dari sisi Al maqdhiy yaitu: berbuat durhaka kepada Allah maka wajib kita untuk tidak meridlainya, dan maksiat itu wajib dihilangkan, baik berasal dari diri anda ataupun dari diri orang lain.
Bagian kedua, Al maqdhiy ada yang kita wajib meridlainya, seperti: kewajiban melakukan perintah Syara', karena perintah Allah ada yang bersifat kauniy (pasti terjadi) dan ada yang bersifat syar'I (yang wajib dilakukan dan terkadang tidak terjadi), maka yang wajib bersifat syar'I haruslah kita meridlainya dari sisi takdir dan Al maqdhiy.
Bagian ketiga, disunnahkan meridhainya serta wajib bersabar menerimanya, seperti; musibah yang menimpa, maka setiap musibah yang terjadi disunnahkan untuk meridlainya menurut mayoritas para ulama dan tidak wajib, yang wajib adalah bersabar menerimanya. Dan perbedaan antara sabar dan ridla adalah sabar yaitu orang yang ditimpa musibah tersebut membenci kenyataan yang terjadi, akan tetapi tidak menyebabkannya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syara' (agama) yang menafikan kesabaran. Sedangkan ridla; orangnya tidak membenci kenyataan yang terjadi, sama saja baginya terjadi maupun tidak terjadi. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar, oleh karena itu mayoritas para ulama mengatakan,sabar wajib sedangkan ridla hanya disunnahkan.[11]
b.      Faqr
Kata Faqr, mempunyai bentuk kata kerja faqura, secara etimologis dapat berarti jelek (radiáh), butuh, atau kesusahan (al-hamm), dan menjadi lawan kata dari istaghna (tidak membutuhkan). Sedangkan orangnya disebut faqir (orang yang sangat membutuhkan dan tidak mempunyai sesuatu yang mencukupi kebutuhannya),& mempunyai bentuk fuqara’.[12]
Sedangkan kata butuh terhadap Allah itu mempunyai 2 arti, yaitu : butuh secara mutlak (ihtiyaj muthlaq) dan butuh yang terbatas (ihtiya muqayyad).
Butuh secara muthlak (ihtiyaj muthlaq) adalah sebagaimana butuhnya seorang hamba kepada Dzat yang mewujudkannya setelah ditetapkannya, baik berupa petunjuk ataupun kekekalan setelah wujud dan lain-lain. Jenis butuh ini adalah butuh kepada Allah Swt. yang wajib hukumnya, sebagaimana tercantum dalam QS. Muhammad [47] : 38. Makna inilah yang disebut faqr muthlaq.
Sedangkan butuh terhadap harta benda, sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama fiqh dalam bab pendistribusian zakat, disebut faqr muqayyad (faqr yang terbatas).[13]
Orang-orang sufi tidaklah bersikap berdiam diri saja tanpa melakukan suatu usaha apapun, mereka merasa masih membutuhkan Allah untuk merubah keadaanya, semula jahat/buruk berkeinginan untuk menjadi baik, semula baik akan meningkatkan kebaikannya, dan seterusnya. Mereka tidak terlalu memikirkan takdirnya, yang ada difikirannya adalah selalu melakukan apa yang disenangi oleh Allah SWT.
Seseorang yang sudah mengetahui takdir dikaitkan dengan faqr dalam pengaplikasian social adalah manusia tidak bisa hidup sendiri karena manusia adalah makhluk social masih membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadi manusia itu sendiri, ini kaitannya hablum minannas.
c.       Zuhud
Zuhud dalam pemaknaan yang sesungguhnya adalah meninggalkan yang bersifat ‘keduniaan’ yang bisa melalaikan akhirat. Zuhud bukanlah orang yang tidak suka dunia, bukan juga suka hidup miskin, dan tidak menjalankan sunnatullah yaitu tidak berusaha dan ikhtiyar. Zuhud sebenarnya adalah memposisikan  dunia sebagai pijakan untuk akhirat yaitu memperoleh nilai ibadah yang lebih dan semangat dalam mencari nafkah. Dan keunggulan harta yang lebih, menjadikan seseorang bisa memberi zakat kepada orang yang membutuhkan, memberi shadaqah dan infaq, serta mampu melaksanakan rukun islam yang kelima yaitu pergi haji ke Baitullah di Makkah.

5.      Hubungan Takdir Allah dengan Perbuatan/usaha manusia
Perubahan dalam takdir yang tergantung dan bersyarat disebut dengan istilah bada’ (pembaruan Allah SWT). misalnya, menyambung tali persaudaraan, menghormati orang tuanya, meemberikan sedekah, dll, dapat mengubah takdir, sebaliknya, memutuskan tali persaudaraan dan mendatangkan kemurkaan orang tuanya, mengubah takdir yang baik menjadi jelek.
Seseorang jika percaya bahwa takdir bersifat final dan tidak dapat diubah, dan tidak memiliki kesempatan untuk memilih, kita tidak akan memohon kepada Allah SWT. dan tidak melakukan aktivitas atau usaha, dan berkata, biarkan terjadi apa yang seharusnya terjadi, dan kita tidak meminta Allah SWT. untuk mencabut bencana kita, karena keyakinan pada kemakbulan doa muncul ketika kita percaya bahwa takdir adalah tergantung dan bersyarat, dan bahwa do’a dapat membuat rintangan yang menghalangi jalannya sejumlah takdir, ketika itulah kita memiliki motif untuk berdo’a kepada Allah.[14]
Atau sebagian orang berkata, “Jika semua perbuatan manusia, baik yang buruk maupun yang baik telah ditetapkan Allah sejak zaman azali, berarti manusia tidak bisa disalahkan jika melakukan perbuatan jahat dan buruk dan tidak berhak mendapat siksaan lantaran perbuatannya itu. Bahkan ia tidak berhak mendapatkan pahala lantaran berbuat kebaikan.”
Pendapat-pendapat diatas adalah sangatlah keliru. Sebab, bagaimana pun manusia mempunyai/memiliki hasrat dan kehendak yang keluar dari hatinya, apalagi niat itu ditujukan kebaikan, yang tentunya akan mendatangkan kiebaikan dan amal sholeh. Dan jika kehendak itu ditujukan untuk kejahatan otomatis akan mengakibatkan keburukan.
Selama manusia didunia, ia wajib berikhtiyar dan berusaha sekuat tenaga meskipun kita telah beriman dan mempercayai benar-benar bahwa semua ketentuan datangnya dari Allah SWT. agar lepas dari ketentuan jelek dan buruk, serta berjuang hanya mendapatkan ketentuan yang baik saja.
Dengan demikian , setiap Mukmin wajib bekerja keras agar tidak jatuh miskin, giat belajar agar berilmu dan bermanfaat bagi masyarakat, senantiasa memelihara kesehatan, dsb. Sebab kita tidak mengetahui takdir Allah yang mana yang diperlukan bagi kita atau tidak mengetahui apa takdir akhir kita. Sehingga, setiap Mukmin tidak dibenarkan berdiam diri dan pasrah kepada takdir Allah, tetapi harus berjuang mencari kemaslahatan-kemaslahatan dunia dan akhirat, serta berusaha menghindari perbuatan mungkar dan maksiat.[15]
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ  
Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl : 97)

Ø  Perubahan Takdir
Takdir bisa dibedakan menjadi dua :
1.      Takdir dalam ilmu Allah yang azali :
Allah SWT. telah mengetahui apa-apa yang bakal terjadi didunia dan di akhirat, tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, sekalipun hal itu belum terjadi. Misalnya si Fullan batas umurnya sekian, si falun sekian, si fulun begini, si falin bakal menjadi koruptor, si Felen bakal menjadi pengusaha, dan Falan begitu, dsb semuanya sudah diketahui oleh Allah SWT. sejak zaman azali. Tak lain dan tidak bukan karena Allah-lah yang menentukan semua itu. Inilah yang dimaksudkan takdir dalam ilmu Allah SWT. sesuai dengan firman-Nya :[16]
uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
Artinya : “Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah : 29)
$tB ãA£t7ムãAöqs)ø9$# £t$s! !$tBur O$tRr& 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇËÒÈ  
Artinya : “Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan aku sekali-kali tidak Menganiaya hamba-hamba-Ku”(QS. Qaff : 29)
2.      Takdir yang tertulis di Lauh Mahfudh
Seperti yang diterangkan oleh Ibnu Abbas r.a, Allah SWT. menciptakan qalam (pena). Kemudian Allah berfirman padanya (pena), “Tulislah!” Maka, pena itu menuliskan apa-apa yang akan terjadi sampai hari kiamat di lauhul Mahfudh (papan tulis yang terpelihara).
Takdir yang tertulis di Lauh Mahfudh masih mungkin berubah. Karena takdir yang tertulis di situ ada yang sudah keputusan final dan ada yang belum. Yang belum merupakan keputusan final dinamakan mu’allaq.
Sehubungan hal itu Allah berfirman :[17]
(#qßsôJtƒ ª!$# $tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãƒur ( ÿ¼çnyYÏãur Pé& É=»tGÅ6ø9$# ÇÌÒÈ    
Artinya : “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’ad : 39)
Adapun takdir yang tertulis di Lauh Mahfudh hanya bisa berubah lantaran tiga sebab, yaitu :
a.       Do’a
Nabi Muhammad Saw. Bersabda :
لاَيَرُدُّ الْقَضَاءَ اِلاَّ الدُّعَاءُ وَلاَ يَزِيْدُ فِى الْعُمْرِ اِلاَّ الْبِرُّ (رواه الترمذى)
Artinya : “Tidak ada yang bisa menolak takdir selain do’a, dan tidak ada yang bisa memperpanjang umur kecuali berbuat kebaikan”. (HR. Tirmidzi).
Sehingga, dengan berdo’a kepada Allah, Insya Allah takdir bisa berubah. Misalnya, jika kita berbuat kebaikan umur akan diperpanjang.
b.      Berbuat kebaikan
Salah satu bentuk perbuatan baik ialah silaturrochim. Dengan itu pun bisa merubah takdir. Rasulullah Saw. Bersabda :[18]
مَنْ اَحَبَّ اَنْ يُبْسُطُ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى اَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (رواه البخارى و مسلم )
Artinya : “Barangsiapa yang menyenangi banyak rezeki dan berumur panjang hendaknya memperbanyak hubungan silaturrochim.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Menurut Ibnu hajar, hadits ini tidak bertentangan dengan QS. An-Nahl : 61. Karena yang dimaksud hadits ini ialah yang tertulis di Lauh Mahfudh, yang diketahui Malaikat dan masih mungkin berubah. Bukan ajal yang ditakdirkan dalam ilmu Allah.
c.       Jangan berputus asa dalam berikhtiyar
Dalam berusaha hendaknya tidak mudah putus asa. Sebab, untuk mendapatkan kebahagiaan, kemuliaan, dan kejayaan hidup di dunia dan mencari bekal akhirat sangat diperlukan ketabahan, ketekunan, dan pengorbanan. Seandainya hari ini gagal, siapa tahu besok atau lusa kita berhasil. Selain itu, orang yang berputus asa berarti putus pula dari rahmat Allah, seperti Firman Allah berikut ini : [19]
Ÿwur (#qÝ¡t«÷ƒ($s? `ÏB Çy÷r§ «!$# ( ¼çm¯RÎ) Ÿw ߧt«÷ƒ($tƒ `ÏB Çy÷r§ «!$# žwÎ) ãPöqs)ø9$# tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÑÐÈ  
Artinya : “Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf : 87)
Seseorang yang bertauhid akan selalu berfikir tentang tugasnya. Seorang Imam mengatakan : “Kita melakukan tugas kita, tetapi apa yang akan terjadi bukan urusan kita. Tugas kita adalah berjuang, tetapi apakah kita akan berhasil atau tidak bukanlah urusan kita. Apa pun yang diinginkan oleh Allah SWT., akan terjadi. Orang yang demikian tidak akan pernah merasa bingung, tidak juga menyesalkan pekerjaannya.” Jadi, keyakinan ini adalah faktor keberhasilan, bukan faktor kegagalan.[20]

6.      Manfaat/hikmah mengimani qadha  dan qadar
Iman kepada Qadar dan Qadha’ Allah mempunyai dampak yang sangat positif bagi diri sendiri seseorang. Dan tentu saja hikmat yang terkandung didalamnya cukup banyak. Tetapi di sini cukup kita kemukakan beberapa saja diantaranya, dan terpenting ialah :
1.      Dapat mendorong seseorang untuk bersikap berani dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, dan dalam meninggikan “Kalimat Allah”. Ia tidak takut dan gentar menghadapi risiko dan bahaya yang mengancamnya. Misalnya jatuh miskin atau mati sekalipun, karena ia yakin bahwa kematian, rizki, nasib dan sebagainya semuanya ditangan Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. At-taubah : 51 :[21]
@è% `©9 !$uZu;ÅÁムžwÎ) $tB |=tFŸ2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@ž2uqtGuŠù=sù šcqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ  
Artinya : “Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."
Mengenai kematian, rezeki, dan nasib yang menimpa pada seseorang, perhatikan al-Qur’an surat Yunus : 49; Hud : 6; dan al-Hadid : 22
2.      Dapat menimbulkan ketenangan jiwa dan fikiran pada diri seseorang. Dan ia tidak akan berputus asa pada waktu ia menghadapi bencana atau kegagalan dalam usahanya. Ia tetap sabar dan tawakal.[22]
3.      Mendorong untuk berusaha lebih terencana dan lebih sungguh-sungguh dari masa kemasa.
4.      Membebaskan manusia dari bermacam-macam penyakit rohani, seperti, iri, ria, sombong, takabur, nifaq, menipu, sembrono, malas, dan sebagainya. Sebab semua itu berlawanan dengan kepercayaannya kepada takdir.
5.      Menyuburkan dalam jiwa manusia, segala macam sifat-sifat yang baik, seperti ikhlas, kasih-sayang, rajin, suka menolong, terbuka, gembira, tawakal, mencukupkan apa yang ada dan sebagainya. Karena hal ini ditentukan oleh percaya kepada takdir.[23]

IV.   SIMPULAN
Untuk memudahkan pemahaman, qadar adalah ketetapan dari Allah sedangkan qadha’ adalah perwujudan dari ketetapan Allah. Sebagai contoh : qadarnya Allah menciptakan matahari dengan ditakdirkan terbit dari timur dan tenggelam dari barat. Dan qadha’nya adalah matahari terbit dari arah timur dan tenggelam dari barat.
Qadar masih bisa berubah karena ini belum keputusan final, sedangkan qadha’ tidak bisa berubah karena sudah menjadi keputusan final yaitu perwujudan.
Takdir menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar, beliau menegaskan “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”
Sedangkan pengaplikasian takdir dalam konsep-konsep kesufian maupun dikehidupan social, diantaranya adalah ridla, faqr, zuhud, dan tawadlu.
Takdir sendiri terbagi menjadi 2 yaitu : takdir dalam ilmunya Allah, takdir ini yang mengetahui hanyalah Allah dan tidak bisa berubah. Sedangkan yang kedua, takdir yang tertuliskan di Lauh Fahfudh ini bisa diusahakan dan bisa berubah atas izin Allah. Dan merubahnya dengan do’a, berbuat baik, silatur rochim, dan selalu berikhtiyar.

V.      PENUTUP
Janganlah salah menilai ketentuan Allah (qadar/qadla) walaupun nasib/perbuatan manusia sudah ditakdirkan Allah sejak zaman dahulu (zaman azali) kita tidak boleh berdiam diri dan pasrah tidak ada usaha. Sejatinya manusia diwajibkan untuk selalu berikhtiyar dan berusaha tanpa putus asa, karena takdir Allah bisa berubah.
Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah kepadaNya. Makna ibadah adalah menjalani semua hal yang disenangi oleh Allah dan menjauhi semua hal yang dibenci oleh Allah. Allah SWT menyukai hambanya yang selalu berikhtiyar, berusaha, selalu berharap rahmatNya dan berdo’a. janganlah salah memahami takdir, Allah sangat membeci orang-orang yang berdiam diri tanpa usaha sedikitpun dan berputus asa.







DAFTAR PUSTAKA

Al Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fatwa Ridha Terhadap Takdir, Madinah : Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007
Masjfuk, Zuhdi, Studi Islam Jilid I : Akidah, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993, cet. 2
Muhammad, Taqi Mishbah yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, Bandung : Penerbit Arasy, 2003
Sabiq, Sayid, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), Diponegoro : Bandung, 1989
Syahminan, Zaini, Kuliah Aqidah Islam, Surabaya : Al Ikhlas Surabaya, 1983
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/517928398257099, diunduh pada tanggal 29-06-2014 pukul 06.50 WIB



[1] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid I : Akidah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993), cet. 2, hlm. 100
[2] Ibid., hlm. 99
[3] Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, (Surabaya : Al Ikhlas Surabaya, 1983), hlm. 363
[4] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992), hlm. 133
[5] Ibid., hlm. 134
[6] Op.Cit., Masjfuk Zuhdi, hlm. 100
[7] Muhammad Taqi Mishbah yazdi, Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, (Bandung : Penerbit Arasy, 2003), hlm. 291
[8] Op.Cit., Zainuddin, hlm. 132
[9] Sayid Sabiq, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), (Diponegoro : Bandung, 1989) hlm. 150
[10] https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/517928398257099, diunduh pada tanggal 29-06-2014 pukul 06.50 WIB
[11] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Fatwa Ridha Terhadap Takdir, (Madinah : Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007), hlm. 60-61
[12] In’amuzzahidin Masyhudi, Menjadi Fakir? Siapa Takut!, (Semarang : Pustaka NUUN : 2004) hlm. 5
[13] Op.cit, In’amuzzahidin Masyhudi, hlm. 21-25
[14] Op.Cit., Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, hlm. 289
[15] Op.Cit., Zainuddin, hlm. 135-136
[16] Ibid., hlm. 138
[17] Ibid., hlm. 139
[18] Ibid., hlm. 140
[19] Ibid., hlm. 141
[20] Op.Cit., Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, hlm. 290
[21] Op.Cit., Masjfuk Zuhdi, hlm. 105
[22] Ibid., hlm. 106
[23] Op.Cit., Syahminan Zaini, hlm. 378-379