DEFINISI AL-‘AQL, NAFS, RUH, DAN AL-QALB
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf II
Dosen Pengampu : H. Dr. Abdul Muhaya, M.A
Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM (124411026)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Manusia diciptakan dibumi ini melainkan disuruh hanya untuk
beribadah. Manusia juga diciptakan dalam bentuk paling bagus dan sempurna serta
mempunyai dua sifat yaitu akal dan nafsu. Jika akal yang menang maka manusia
itu akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, akan tetapi jika nafsu itu menang
dan akal kalah maka yang terjadi adalah kekacauan, kerancauan yang kesemuannya
itu bersifat negative serta cuma akan mendapatkan kebahagian yang semu atau
kebohongan kebahagiaan.
Manusia dilahirkan juga memiliki potensi-potensi bawaan yaitu akal,
nafs, qalb, ruh. Akal berfungsi untuk mengetahui hakekat segala sesuatu.
Kemudian nafs adalah dorongan atau hasrat untuk melakukan sesuatu baik itu buruk
atau baik. Sedangkan qalb berperan sebagai mukhathab (pihak yang diajak
bicara), yang bisa merasakan kesusahan, bisa merasakan akibat dan bisa
dituntut. Dan ruh adalah lathifah ruhaniyah yang merupakan hakikat hati.
Untuk lebih lanjutnya tentang akal, nafs, qalb, dan ruh, silahkan
simak sedikit pemaparan saya dimakalah ini.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa definisi tentang Al-‘Aql?
2.
Apa definisi tentang Nafs?
3.
Apa definisi tentang Ruh ?
4.
Apa definisi tentang Al-Qalb?
III.
PEMBAHASAN
1.
Definisi Al-‘Aql
Secara leksikal (bahasa), kata al-‘aql didalam Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia merupakan sinonim bagi kata hija yang berarti
pikiran, otak, dan alasan. Sedangkan di dalam Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
kata al-‘aql juga berarti quwwah al-idrak (daya yang dapat
menangkap, mempersepsi, memahami, dan mencerapi), qalb (hati), al-dzakirah
(ingatan), al-quwwah al-‘aqilah (daya atau kekuatan yang dapat
berfikir), al-fahm (pengertian), al-diyyat (diyat), al-hishn
(benteng) dan al-malja (tempat berlindung). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata akal diartikan dengan : (1) daya pikir, pikiran, ingatan; (2)
jalan atau cara melakukan sesuatu; daya upaya, ikhtiyar; (3) tipu daya,
muslihat, kecerdikan, dan kelicikan.
Menurut Imam al-Ghazali, kata al-‘aql memiliki empat
hakikat, yaitu :
·
Pertama, sesuatu yang siap menerima pengetahuan teoretis dan
mengatur kepandaian berpikir yang tersembunyi.
·
Kedua, pengetahuan yang ada pada diri manusia sejak usia anak dapat
menentukan yang mungkin bagi yang perkara yang mungkin dan mustahil bagi yang
perkara yang mustahil. Pengertian ini, hematnya, sama dengan hati, yaitu
perasaan halus (lathifah).
·
Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman /empirik.
·
Keempat, kekuatan gharizah (insting) untuk mengetahui
konsekuensi berbagai masalah dan menahan keinginan untuk mendapatkan kelezatan
sesaat. [1]
Al-‘aql
juga bisa dipahami dalam dua makna yaitu pertama, otak yang berada di
dalam kepala bagian belakang dan yang kedua adalah potensi lathifah
robbaniyyah yang mempunyai potensi akademik, mengetahui hakekat segala
sesuatu.
Sedangkan manfaat/fungsi al-‘aql adalah potensi penyerapan
pengetahuan, membedakan baik dan buruk, dan jalan memperoleh iman sejati.
2.
Definisi Nafs
Secara leksikal (bahasa) antara lain diartikan dengan jiwa, ruh,
semangat, hasrat, kehendak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, jiwa diartikan
dengan : (1) ruh manusia [yang ada di dalam tubuh dan menghidupkan] atau nyawa;
(2) seluruh kehidupan batin manusia [yang terjadi dari perasaan, pikiran,
angan-angan, dan sebagainya].
Menurut al-Ghazali, kata nafs mengandung dua makna ganda,
yaitu :
Ø Pertama,
dimaksudkan berkolaborasinya kekuatan marah dan keinginan biologis (syahwat)
pada diri manusia. Hematnya, pengertian inilah yang dipakai oleh para ahli
tasawuf. Dan nafsu itu adalah cakupan sifat-sifat tercela pada diri manusia.
Ø Kedua, suatu
perasaan halus (lathifah), yaitu jiwa manusia dan substansinya, tetapi
berbeda-beda sesuai dengan ahwal (kondisi-kondisi ruhani) masing-masing. Jika
ia tunduk di bawah perintah dan jauh dari kegoncangan yang disebabkan nafsu
syahwat disebut dengan nafs muthmainah (jiwa yang tentram). Nafs
inilah yang merupakan hakikat manusia yang dapat mengetahui Allah dan seluruh
yang diketahuinya. Jika ketundukannya tidak sempurna, hemat al-Ghazali, bahkan
menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan memperlihatkan keinginan kepadanya,
maka nafs itu dinamai dengan nafs al-lawwamah. Dan jika tunduk
dan patuh terhadap tuntutan-tuntutan syahwat dan ajakan-ajakan syetan, nafs
itu disebut dengan nafs amarah.[2]
Perumusan al-Ghazali mengenai macam-macam nafs diatas, ini
bersumberkan pada ayat-ayat al-Qur’an, yaitu Sbb:
ü
Nafs Muthmainnah
QS.
Al-Fajr : 27-28
$pkçJr'¯»t
ߧøÿ¨Z9$#
èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$#
ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$#
4n<Î)
Å7În/u
ZpuÅÊ#u
Zp¨ÅÊó£D
ÇËÑÈ
“Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya.”
Nafs merasa tenang
karena menjalankan perintah Allah SWT dan mampu mengalahkan syahwatnya, maka
ini dinamakan nafs muthmainnah (jiwa yang tentram/tenang).
ü Nafs
al-lawwamah
QS. Al-Qiyamah : 2
Iwur
ãNÅ¡ø%é&
ħøÿ¨Z9$$Î/
ÏptB#§q¯=9$#
ÇËÈ
“Dan
aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri)”
Jika nafs tidak bisa tenang
secara sempurna tetapi terus berusaha untuk memerangi syahwatnya, maka itu
dinamakan dengan nafs al-lawwamah, karena selalu mencela pemiliknya
ketika kendor semangat ibadahnya kepada Allah SWT. Atau bisa dipahami bahwa nafs
al-lawwamah ini adalah nafs yang masih labil, gelisah, terkadang melakukan
kebaikan dan terkadang masih melakukan kejahatan, akan tetapi ia selalu sesal
diri.
ü Nafs
al-ammarah
QS. Yusuf : 53
!$tBur
äÌht/é&
ûÓŤøÿtR
4
¨bÎ)
}§øÿ¨Z9$#
8ou$¨BV{
Ïäþq¡9$$Î/
wÎ)
$tB
zOÏmu
þÎn1u
4
¨bÎ)
În1u
Öqàÿxî
×LìÏm§
ÇÎÌÈ
“Dan
aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Jika nafs tidak lagi
melakukan perlawanan bahkan selalu mengikuti syahwatnya dan bujukan setan, maka
itu dinamakan dengan nafs al-amarah bi al-su’. Allah SWT berfirman
menceritakan tentang istri pembesar Mesir dalam kisah Yusuf as.[3]
Kecenderungan
nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya untuk memuaskan
diri. Sedangkan akal berperan sebagai kekuatan pembatas sekaligus penasihat bagi
nafs, memberikan pertimbangan kepada nafs tentang
tindakan-tindakan positif yang seharusnya dilakukan dan tindakan-tindakan
negative yang harus dihindari.
Seluruh
manusia memiliki nafs dan menggunakannya dalam kehidupan di masyarakat.
Walaupun ada orang-orang tertentu yang dikendalikan oleh akal, namun sebagian
besar orang benar-benar dikendalikan oleh nafs-nya. dan perlu diperjelas
bahwa istilah akal, dalam konteks ini, merujuk pada “akal partikular” (‘aql
al-juz’i), dan lebih mendasar merujuk pada “akal yang berpikir”.[4]
3.
Definisi Ruh
Secara leksikal kata ruh
diartikan dengan roh, nyawa, jiwa, sukma, intisari, perasaan, atau esensi.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata ruh diartikan dengan : (1)
sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani, namun berakal budi dan
berperasaan; (2) jiwa atau badan halus atau (3) semangat.
Menurut al-Ghazali, kata ruh
memiliki dua makna, yaitu :
§
pertama, jenis yang halus (al-lathifah)
memancar dari rongga yang ada pada al-qalb al jasmani (jantung),
menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui urat nadi yang memancarkan cahaya
hidup, rasa, penglihatan, pendengaran, dan penciuman pada berbagai bagian tubuh
menyerupai cahaya lampu yang dapat menerangi sekeliling rumah. Kehidupan bisa diibaratkan
dengan cahaya yang menerangi dinding rumah, sedangkan ruh adalah lampunya.
§
Kedua, nur lathifah (cahaya halus)
pada diri manusia yang dengannya ia dapat mengetahui dan mengidrak sebagaimana
fungsi kalbu dan ruh inilah merupakan hakikat hati.[5]
Hati manusia merupakan wilayah yang
terletak antara Kesatuan dan keanekaragaman. Jika wilayah itu dikuasai oleh nafs
dan bala tentara hawa nafs-nya, yang membentuk pasukan keanekaragaman,
maka hati akan mengalami kehancuran dan tertawan. Jika tentara kasih sayang,
yang merupakan kekuatan ruh Kesatuan, mengusir pasukan nafs dari
hati, maka hati berada dalam pengaruh ruh, yang akan menjadi atasannya.
Pada maqam ini, jiwa Sufi berhubung dengan alam Kesatuan dan terpisah dari
dunia keanekaragaman.[6]
Ruh inilah yang
merupakan hal mengagumkan yang bersifat rabbani yang tidak mampu
diketahui hakikatnya oleh kebanyakan akal manusia. Ini berdasarkan Firman Allah
QS. Al-Isra’ : 8) yaitu:
tRqè=t«ó¡our
Ç`tã
Çyr9$#
(
È@è%
ßyr9$#
ô`ÏB
ÌøBr&
În1u
!$tBur
OçFÏ?ré&
z`ÏiB
ÉOù=Ïèø9$#
wÎ)
WxÎ=s%
ÇÑÎÈ
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".[7]
4.
Definisi Al-Qalb
Al-Qalb berasal dari
kata qalabu yang bermakna berubah, berpindah, atau berbalik. Qalabu
mengalami beberapa perubahan bentuk seperti inqalaba dan qallaba,
namun artinya masih sama. Menurut Ibn Sayyidah, al-qalb jamaknya qulb
yang berarti hati.[8]
Al-Qalb/Hati mempunyai
dua makna yaitu pertama, hati adalah salah satu anggota tubuh manusia
yang terletak di bagian kiri atas rongga perut, yang merupakan suatu anugerah
Allah SWT. yang diberikan kepada manusia. Yang mana mempunyai kedudukan dan
fungsi yang sangat penting dan utama, sebab hati berfungsi sebagai penggerak
dan pengontrol anggota tubuh lainnya. Apabila hatinya baik, maka anggota badan
yang lainnya pun akan ikut baik, sedangkan apabila hatinya jelek, maka anggota
tubuh yang lainnya pun akan ikut jelek. Dan hati ini adalah hati yang berbentuk
jasmani.
Hali ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang artinya :
“Ingatlah bahwa
di dalam tubuh terdapat sepotong daging. Apabila ia baik, maka baiklah badan
itu seluruhnya dan apabila ia rusak, maka rusaklah badan itu seluruhnya.
Ingatlah sepotong daging itu adalah hati”.[9]
Makna al-Qalb yang kedua
adalah lathifah Rabbaniyah Ruhaniyyah yang memancarkan hangat dan
mempunyai hubungan dengan daging ini.[10]
Dan mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami,
mempersepsikan, dan mencerapi. Misalnya perasaan sedih dan gembira. Yang
berfikir dan merenungkan itu adalah kekuatan batin yang disebut al-qalb.
Dan ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut dengan hati. Sehingga kalau
ada sebutan “Hatinya hancur” maka yang disebut bukan jantungnya. Tetapi, ada
bagian jiwa seseorang yang hancur.[11]
Pada kenyataannya, nafs yang
tenang adalah hati yang paling dalam, yang oleh para filosof disebut sebagai nafs
rasional (nafs al-natiqa). Namun demikian, sebagian besar manusia masih
berada pada maqam sifat-sifat kebendaan (tab’), tingkat nafs, dan
belum memiliki hati.
Hati adalah sebuah tempat antara
wilayah kesatuan (ruh) dan daerah keanekaragaman (nafs). Jika
hati mampu melepaskan selubung nafs yang melekat padanya dia akan berada
di bawah pengaruh ruh; itulah yang dikatakan telah menjadi hati dalam
makna yang sebenarnya, telah bersih dari segala kotoran keanekaragaman.
Sebaliknya, jika hati dikuasai oleh nafs, dia menjadi keruh oleh kotoran
keanekaragaman nafs.[12]
IV.
SIMPULAN
Dari
pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa :
Al-Aql
mempunyai makna dua, pertama, otak yang berada di belakang kepala bagian
belakang. Kedua, potensi lathifah rabbaniyyah yang mempunyai
potensi akademik, mengetahui hakekat segala sesuatu.
Nafs bisa dipahami
dalam dua bentuk, pertama, kekuatan amarah dan syahwat serta sifat-sifat
tercela. Kedua, kekuatan lathifah yang bisa jernih dan terang
jika mendekatkan diri kepada Allah tetapi sangat mudah terpengaruh oleh
sifat-sifat tercela (sebagian besar terkait kesenangan fisik).
Ruh juga mempunyai
dua makna, pertama, asap yang sumbernya adalah darah hitam di rongga
jantung tersebar melalui urat-urat diseluruh bagian badan. Kedua, lathifah
Ruhaniyyah yang merupakan hakikat hati.
Al-Qalb/hati
juga mempunyai makna dua, pertama, daging yang terdapat di dada sebelah
kiri dan di dalam rongganya berisi darah hitam, ia adalah rumah dan sumber ruh.
Kedua, Lathifah Rabbaniyah Ruhaniyyah yang memancarkan hangat dan
mempunyai hubungan dengan daging ini.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya uraikan. Saya
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena
sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari
saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk
memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah
referensi pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Auliya M. Yaniyullah Delta, Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak,
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada : 2005)
Hawwa Sa’ad, Pendidikan
Spiritual, (Yogyakarta : Mitra Pustaka : 2006), cet. 1
Nurbakhsy
Javad, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmat (Yogyakarta : Fajar
Pustaka Baru : 2001) cet. 3
Asy’arie Musa, Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat
Islam : 1992)
Zumroh, Tombo
Ati Upaya Membersihkan Qalbu dari Kuman-kuman Penyakit, (Surabaya : Bintang
Usaha Jaya : 2011) cet. 1
Rakhmat
Jalaluddin, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung : Penerbit Mizan :
1997)
[1] M.
Yaniyullah Delta Auliya, Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak, (Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada : 2005), hlm. 143
[2] Ibid,
Yaniyullah Delta Auliya, hlm. 136-137
[3]
Sa’ad Hawwa, Pendidikan Spiritual, (Yogyakarta : Mitra Pustaka : 2006),
cet. 1, hlm. 30-31
[4]
Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmat (Yogyakarta :
Fajar Pustaka Baru : 2001) cet. 3, hlm. 4-5
[5] Op.Cit,
Yaniyullah Delta Auliya, hlm. 126
[6] Op.Cit,
Javad Nurbakhsy, hlm. 214-215
[7] Op.Cit,
Sa’id Hawwa, hlm. 29
[8]
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta :
Lembaga Studi Filsafat Islam : 1992) hlm. 108-109
[9]
Zumroh, Tombo Ati Upaya Membersihkan Qalbu dari Kuman-kuman Penyakit,
(Surabaya : Bintang Usaha Jaya : 2011) cet. 1, hlm. 11
[10]
Jantung jasmani berada dalam kondisi perubahan yang tetap, yang mengatur
perubahan-perubahan antara darah arteri atau darah yang bersih dan darah vena
atau darah yang kotor. Hati spiritual juga berada dalam kondisi perubahan yang
tetap, yang mengatur arus bolak-balik antara pengaruh ruh yang bersih dan
pengaruh nafs yang kotor. Inilah tempat hati mendapatkan nama Arabnya qalb,
dari akar kata q-l-b, yang berarti memutar atau mengganti.
Jantung
jasmani memberikan darah kepada pembuluh-pembuluh arteri dan menerima darah
kotor dari pembuluh vena; ini sangat penting untuk proses pemurnian tubuh
manusia. Demikian juga, hati spiritual menerima perangai-perangai yang kotor
dari nafs dan membersihkannya dengan bantuan ruh, yang akan mengubahnya menjadi
perangai-perangai karakter spiritual, untuk memelihara kehalusan jiwa
seseorang. Pada dasarnya, hati merupakan titik tengah antara realita jiwa yang
bersih dan karakter nafs yang kotor. Lihat : Op.Cit, Javad Nurbakhsy,
hlm. 140-141
[11]
Jalaluddin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung : Penerbit
Mizan : 1997) hlm. 69-70
[12]
Op.Cit, Javad Nurbakhsy, hlm. 135-136