HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Wednesday, November 27, 2013

DEFINISI AQL, NAFS, QALB, RUH

DEFINISI AL-‘AQL, NAFS, RUH, DAN AL-QALB

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf II
Dosen Pengampu : H. Dr. Abdul Muhaya, M.A





                                                                 

Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM                 (124411026)
         
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.          PENDAHULUAN
Manusia diciptakan dibumi ini melainkan disuruh hanya untuk beribadah. Manusia juga diciptakan dalam bentuk paling bagus dan sempurna serta mempunyai dua sifat yaitu akal dan nafsu. Jika akal yang menang maka manusia itu akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, akan tetapi jika nafsu itu menang dan akal kalah maka yang terjadi adalah kekacauan, kerancauan yang kesemuannya itu bersifat negative serta cuma akan mendapatkan kebahagian yang semu atau kebohongan kebahagiaan.
Manusia dilahirkan juga memiliki potensi-potensi bawaan yaitu akal, nafs, qalb, ruh. Akal berfungsi untuk mengetahui hakekat segala sesuatu. Kemudian nafs adalah dorongan atau hasrat untuk melakukan sesuatu baik itu buruk atau baik. Sedangkan qalb berperan sebagai mukhathab (pihak yang diajak bicara), yang bisa merasakan kesusahan, bisa merasakan akibat dan bisa dituntut. Dan ruh adalah lathifah ruhaniyah yang merupakan hakikat hati.
Untuk lebih lanjutnya tentang akal, nafs, qalb, dan ruh, silahkan simak sedikit pemaparan saya dimakalah ini.

II.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi tentang Al-‘Aql?
2.      Apa definisi tentang Nafs?
3.      Apa definisi tentang Ruh ?
4.      Apa definisi tentang Al-Qalb?

III.     PEMBAHASAN
1.      Definisi Al-‘Aql
Secara leksikal (bahasa), kata al-‘aql didalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia merupakan sinonim bagi kata hija yang berarti pikiran, otak, dan alasan. Sedangkan di dalam Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia kata al-‘aql juga berarti quwwah al-idrak (daya yang dapat menangkap, mempersepsi, memahami, dan mencerapi), qalb (hati), al-dzakirah (ingatan), al-quwwah al-‘aqilah (daya atau kekuatan yang dapat berfikir), al-fahm (pengertian), al-diyyat (diyat), al-hishn (benteng) dan al-malja (tempat berlindung). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akal diartikan dengan : (1) daya pikir, pikiran, ingatan; (2) jalan atau cara melakukan sesuatu; daya upaya, ikhtiyar; (3) tipu daya, muslihat, kecerdikan, dan kelicikan.
Menurut Imam al-Ghazali, kata al-‘aql memiliki empat hakikat, yaitu :
·         Pertama, sesuatu yang siap menerima pengetahuan teoretis dan mengatur kepandaian berpikir yang tersembunyi.
·         Kedua, pengetahuan yang ada pada diri manusia sejak usia anak dapat menentukan yang mungkin bagi yang perkara yang mungkin dan mustahil bagi yang perkara yang mustahil. Pengertian ini, hematnya, sama dengan hati, yaitu perasaan halus (lathifah).
·         Ketiga, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman /empirik.
·         Keempat, kekuatan gharizah (insting) untuk mengetahui konsekuensi berbagai masalah dan menahan keinginan untuk mendapatkan kelezatan sesaat. [1]
Al-‘aql juga bisa dipahami dalam dua makna yaitu pertama, otak yang berada di dalam kepala bagian belakang dan yang kedua adalah potensi lathifah robbaniyyah yang mempunyai potensi akademik, mengetahui hakekat segala sesuatu.
Sedangkan manfaat/fungsi al-‘aql adalah potensi penyerapan pengetahuan, membedakan baik dan buruk, dan jalan memperoleh iman sejati.

2.      Definisi Nafs
Secara leksikal (bahasa) antara lain diartikan dengan jiwa, ruh, semangat, hasrat, kehendak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, jiwa diartikan dengan : (1) ruh manusia [yang ada di dalam tubuh dan menghidupkan] atau nyawa; (2) seluruh kehidupan batin manusia [yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya].
Menurut al-Ghazali, kata nafs mengandung dua makna ganda, yaitu :
Ø  Pertama, dimaksudkan berkolaborasinya kekuatan marah dan keinginan biologis (syahwat) pada diri manusia. Hematnya, pengertian inilah yang dipakai oleh para ahli tasawuf. Dan nafsu itu adalah cakupan sifat-sifat tercela pada diri manusia.
Ø  Kedua, suatu perasaan halus (lathifah), yaitu jiwa manusia dan substansinya, tetapi berbeda-beda sesuai dengan ahwal (kondisi-kondisi ruhani) masing-masing. Jika ia tunduk di bawah perintah dan jauh dari kegoncangan yang disebabkan nafsu syahwat disebut dengan nafs muthmainah (jiwa yang tentram). Nafs inilah yang merupakan hakikat manusia yang dapat mengetahui Allah dan seluruh yang diketahuinya. Jika ketundukannya tidak sempurna, hemat al-Ghazali, bahkan menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan memperlihatkan keinginan kepadanya, maka nafs itu dinamai dengan nafs al-lawwamah. Dan jika tunduk dan patuh terhadap tuntutan-tuntutan syahwat dan ajakan-ajakan syetan, nafs itu disebut dengan nafs amarah.[2]
Perumusan al-Ghazali mengenai macam-macam nafs diatas, ini bersumberkan pada ayat-ayat al-Qur’an, yaitu Sbb:
ü  Nafs Muthmainnah
QS. Al-Fajr : 27-28
$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ   ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ  
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”
Nafs merasa tenang karena menjalankan perintah Allah SWT dan mampu mengalahkan syahwatnya, maka ini dinamakan nafs muthmainnah (jiwa yang tentram/tenang).
ü  Nafs al-lawwamah
QS. Al-Qiyamah : 2
Iwur ãNÅ¡ø%é& ħøÿ¨Z9$$Î/ ÏptB#§q¯=9$# ÇËÈ  
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri)”
Jika nafs tidak bisa tenang secara sempurna tetapi terus berusaha untuk memerangi syahwatnya, maka itu dinamakan dengan nafs al-lawwamah, karena selalu mencela pemiliknya ketika kendor semangat ibadahnya kepada Allah SWT. Atau bisa dipahami bahwa nafs al-lawwamah ini adalah nafs yang masih labil, gelisah, terkadang melakukan kebaikan dan terkadang masih melakukan kejahatan, akan tetapi ia selalu sesal diri.
ü  Nafs al-ammarah
QS. Yusuf : 53
!$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ  
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Jika nafs tidak lagi melakukan perlawanan bahkan selalu mengikuti syahwatnya dan bujukan setan, maka itu dinamakan dengan nafs al-amarah bi al-su’. Allah SWT berfirman menceritakan tentang istri pembesar Mesir dalam kisah Yusuf as.[3]

Kecenderungan nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya untuk memuaskan diri. Sedangkan akal berperan sebagai kekuatan pembatas sekaligus penasihat bagi nafs, memberikan pertimbangan kepada nafs tentang tindakan-tindakan positif yang seharusnya dilakukan dan tindakan-tindakan negative yang harus dihindari.
Seluruh manusia memiliki nafs dan menggunakannya dalam kehidupan di masyarakat. Walaupun ada orang-orang tertentu yang dikendalikan oleh akal, namun sebagian besar orang benar-benar dikendalikan oleh nafs-nya. dan perlu diperjelas bahwa istilah akal, dalam konteks ini, merujuk pada “akal partikular” (‘aql al-juz’i), dan lebih mendasar merujuk pada “akal yang berpikir”.[4]

3.      Definisi Ruh
Secara leksikal kata ruh diartikan dengan roh, nyawa, jiwa, sukma, intisari, perasaan, atau esensi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata ruh diartikan dengan : (1) sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani, namun berakal budi dan berperasaan; (2) jiwa atau badan halus atau (3) semangat.
Menurut al-Ghazali, kata ruh memiliki dua makna, yaitu :
§  pertama, jenis yang halus (al-lathifah) memancar dari rongga yang ada pada al-qalb al jasmani (jantung), menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui urat nadi yang memancarkan cahaya hidup, rasa, penglihatan, pendengaran, dan penciuman pada berbagai bagian tubuh menyerupai cahaya lampu yang dapat menerangi sekeliling rumah. Kehidupan bisa diibaratkan dengan cahaya yang menerangi dinding rumah, sedangkan ruh adalah lampunya.
§  Kedua, nur lathifah (cahaya halus) pada diri manusia yang dengannya ia dapat mengetahui dan mengidrak sebagaimana fungsi kalbu dan ruh inilah merupakan hakikat hati.[5]
Hati manusia merupakan wilayah yang terletak antara Kesatuan dan keanekaragaman. Jika wilayah itu dikuasai oleh nafs dan bala tentara hawa nafs-nya, yang membentuk pasukan keanekaragaman, maka hati akan mengalami kehancuran dan tertawan. Jika tentara kasih sayang, yang merupakan kekuatan ruh Kesatuan, mengusir pasukan nafs dari hati, maka hati berada dalam pengaruh ruh, yang akan menjadi atasannya. Pada maqam ini, jiwa Sufi berhubung dengan alam Kesatuan dan terpisah dari dunia keanekaragaman.[6]
Ruh inilah yang merupakan hal mengagumkan yang bersifat rabbani yang tidak mampu diketahui hakikatnya oleh kebanyakan akal manusia. Ini berdasarkan Firman Allah QS. Al-Isra’ : 8) yaitu:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".[7]

4.      Definisi Al-Qalb
Al-Qalb berasal dari kata qalabu yang bermakna berubah, berpindah, atau berbalik. Qalabu mengalami beberapa perubahan bentuk seperti inqalaba dan qallaba, namun artinya masih sama. Menurut Ibn Sayyidah, al-qalb jamaknya qulb yang berarti hati.[8]
Al-Qalb/Hati mempunyai dua makna yaitu pertama, hati adalah salah satu anggota tubuh manusia yang terletak di bagian kiri atas rongga perut, yang merupakan suatu anugerah Allah SWT. yang diberikan kepada manusia. Yang mana mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dan utama, sebab hati berfungsi sebagai penggerak dan pengontrol anggota tubuh lainnya. Apabila hatinya baik, maka anggota badan yang lainnya pun akan ikut baik, sedangkan apabila hatinya jelek, maka anggota tubuh yang lainnya pun akan ikut jelek. Dan hati ini adalah hati yang berbentuk jasmani.
Hali ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang artinya :
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat sepotong daging. Apabila ia baik, maka baiklah badan itu seluruhnya dan apabila ia rusak, maka rusaklah badan itu seluruhnya. Ingatlah sepotong daging itu adalah hati”.[9]
Makna al-Qalb yang kedua adalah lathifah Rabbaniyah Ruhaniyyah yang memancarkan hangat dan mempunyai hubungan dengan daging ini.[10] Dan mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami, mempersepsikan, dan mencerapi. Misalnya perasaan sedih dan gembira. Yang berfikir dan merenungkan itu adalah kekuatan batin yang disebut al-qalb. Dan ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut dengan hati. Sehingga kalau ada sebutan “Hatinya hancur” maka yang disebut bukan jantungnya. Tetapi, ada bagian jiwa seseorang yang hancur.[11]
Pada kenyataannya, nafs yang tenang adalah hati yang paling dalam, yang oleh para filosof disebut sebagai nafs rasional (nafs al-natiqa). Namun demikian, sebagian besar manusia masih berada pada maqam sifat-sifat kebendaan (tab’), tingkat nafs, dan belum memiliki hati.
Hati adalah sebuah tempat antara wilayah kesatuan (ruh) dan daerah keanekaragaman (nafs). Jika hati mampu melepaskan selubung nafs yang melekat padanya dia akan berada di bawah pengaruh ruh; itulah yang dikatakan telah menjadi hati dalam makna yang sebenarnya, telah bersih dari segala kotoran keanekaragaman. Sebaliknya, jika hati dikuasai oleh nafs, dia menjadi keruh oleh kotoran keanekaragaman nafs.[12]

IV.    SIMPULAN
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa :
Al-Aql mempunyai makna dua, pertama, otak yang berada di belakang kepala bagian belakang. Kedua, potensi lathifah rabbaniyyah yang mempunyai potensi akademik, mengetahui hakekat segala sesuatu.
Nafs bisa dipahami dalam dua bentuk, pertama, kekuatan amarah dan syahwat serta sifat-sifat tercela. Kedua, kekuatan lathifah yang bisa jernih dan terang jika mendekatkan diri kepada Allah tetapi sangat mudah terpengaruh oleh sifat-sifat tercela (sebagian besar terkait kesenangan fisik).
Ruh juga mempunyai dua makna, pertama, asap yang sumbernya adalah darah hitam di rongga jantung tersebar melalui urat-urat diseluruh bagian badan. Kedua, lathifah Ruhaniyyah yang merupakan hakikat hati.
Al-Qalb/hati juga mempunyai makna dua, pertama, daging yang terdapat di dada sebelah kiri dan di dalam rongganya berisi darah hitam, ia adalah rumah dan sumber ruh. Kedua, Lathifah Rabbaniyah Ruhaniyyah yang memancarkan hangat dan mempunyai hubungan dengan daging ini.

V.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya uraikan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.

DAFTAR PUSTAKA
Auliya M. Yaniyullah Delta, Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada : 2005)
Hawwa Sa’ad, Pendidikan Spiritual, (Yogyakarta : Mitra Pustaka : 2006), cet. 1
Nurbakhsy Javad, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmat (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru : 2001) cet. 3
Asy’arie Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam : 1992)
Zumroh, Tombo Ati Upaya Membersihkan Qalbu dari Kuman-kuman Penyakit, (Surabaya : Bintang Usaha Jaya : 2011) cet. 1
Rakhmat Jalaluddin, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung : Penerbit Mizan : 1997)



[1] M. Yaniyullah Delta Auliya, Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada : 2005), hlm. 143
[2] Ibid, Yaniyullah Delta Auliya, hlm. 136-137
[3] Sa’ad Hawwa, Pendidikan Spiritual, (Yogyakarta : Mitra Pustaka : 2006), cet. 1, hlm. 30-31
[4] Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmat (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru : 2001) cet. 3, hlm. 4-5
[5] Op.Cit, Yaniyullah Delta Auliya, hlm. 126
[6] Op.Cit, Javad Nurbakhsy, hlm. 214-215
[7] Op.Cit, Sa’id Hawwa, hlm. 29
[8] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam : 1992) hlm. 108-109
[9] Zumroh, Tombo Ati Upaya Membersihkan Qalbu dari Kuman-kuman Penyakit, (Surabaya : Bintang Usaha Jaya : 2011) cet. 1, hlm. 11
[10] Jantung jasmani berada dalam kondisi perubahan yang tetap, yang mengatur perubahan-perubahan antara darah arteri atau darah yang bersih dan darah vena atau darah yang kotor. Hati spiritual juga berada dalam kondisi perubahan yang tetap, yang mengatur arus bolak-balik antara pengaruh ruh yang bersih dan pengaruh nafs yang kotor. Inilah tempat hati mendapatkan nama Arabnya qalb, dari akar kata q-l-b, yang berarti memutar atau mengganti.
Jantung jasmani memberikan darah kepada pembuluh-pembuluh arteri dan menerima darah kotor dari pembuluh vena; ini sangat penting untuk proses pemurnian tubuh manusia. Demikian juga, hati spiritual menerima perangai-perangai yang kotor dari nafs dan membersihkannya dengan bantuan ruh, yang akan mengubahnya menjadi perangai-perangai karakter spiritual, untuk memelihara kehalusan jiwa seseorang. Pada dasarnya, hati merupakan titik tengah antara realita jiwa yang bersih dan karakter nafs yang kotor. Lihat : Op.Cit, Javad Nurbakhsy, hlm. 140-141
[11] Jalaluddin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung : Penerbit Mizan : 1997) hlm. 69-70
[12] Op.Cit, Javad Nurbakhsy, hlm. 135-136