ETIKA ILMU
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Etika
Dosen Pengampu : Dr. H. M. Darori Amin, MA.
Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM (124411026)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Pada abad milinium ini, globalisasi dan modernisasi telah
berkembangan pesat dan sudah menguasai dunia ini. Dengan datangnya dua hal
tersebut salah satunya ditandai dengan munculnya ilmu teknologi / pengetahuan
yang berkembang sangat signifikan dan progres.
Dan sekarang manusia hidup tidak bisa jauh dari perkembangan
teknologi, misalnya menggunakan listrik, handpone, motor, mobil, dll. Teknologi
ini sangat bermanfaat dan berguna bagi manusia untuk membantu keperluan
kehidupan sehari-hari dan ini dalam koridor digunakan untuk hal-hal positif.
Namun, jika menggunakan ilmu tanpa etika
maka yang terjadi adalah ilmu itu dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi/kelompok yang bertujuan negatif atau tidak baik, misalnya atom untuk
persenjataan perang (untuk mengebom), narkoba digunakan untuk hal negatif dan
tanpa resep dokter, dll. Masih banyak penyelewengan-pengelewengan dalam
menggunakan ilmu.
Nah, disini pemakalah sedikit akan menjelaskan sebenarnya etika
ilmu itu apa dan permasalahan-permasalahan dalm etika ilmu itu apa saja.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
pengertian etika ilmu?
2.
Apa
hakekat etika ilmu?
3.
Apa saja
masalah etika dalam pengembangan ilmu?
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian etika ilmu
Etika (Yunani Kuno: “ethikos”, berarti “timbul dari
kebiasaan”) adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas
yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moralEtika mencakup analisis
dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dalam arti umum adalah
dapat dilukiskan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang
dipakai oleh seseorang atau
suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah laku. Etika berlaku dalam konteks
individu maupun sosial. Yang sesuai dengan etika adalah baik secara moral; yang
menyimpang dari etika adalah buruk secara moral. Tetapi kata “etika” mempunyai
arti lain, yaitu ilmu. Jadi, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk, tentang yang harus dilakukan manusia dan yang tidak boleh
dilakukan oleh manusia.[1]
Kata ilmu dalam bahasa Arab “ilm” yang berarti memahami,
mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan
dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti
mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain sebagainya.
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara
sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha
berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan
adalah produk dari epistemologi.[2]
Objek ilmu meliputi objek material dan objek formal. Objek material
adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia
adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formal adalah cara pandang
tertentu tentang objek material tersebut, seperti pendekatan empiris dan
eksperimen dalam ilmu kedokteran.
Jika sudah menjadi ilmu pengetahuan, maka klasifikasi ilmu
berkembang secara umum menjadi beragam cabang, natural sciences, seperti ilmu
fisika, kimia, astronomi, biologi, botani; social sciences seperti ilmu
sosiologi, ekonomi, politik, antropologi; serta humanity science seperti ilmu
bahasa, agama, kesusastraan, kesenian.[3]
Jadi, etika ilmu adalah suatu analisis yang penerapannya diambil
dari konsep benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab yang berarti
memahami, mengerti, atau mengetahui apa yang akan dianalisis (diyakini). Atau
lebih mudahnya adalah menggunakan etika dalam ilmu, maksudnya bagaimana tujuan,
motif, dan motivasi dalam mencari ilmu dan mempergunakan ilmu dengan konsep baik dan buruk.
2.
Hakikat Etika Ilmu
Untuk melacak kenetralan ilmu, maka applied-science atau
ilmu terapan atau teknologi di dunia modern tidak dapat dijadikan sebagai
indikator ilmu dalam kategori netral atau tidak netral. Kenetralan ilmu
terletak pada pengetahuan yang asli,
murni, tanpa pamrih, tanpa motif atau guna. Artinya, ilmu akan netral bila
bebas nilai secara moral dan sosial.
Namun demikian, dalam perkembangan ilmu tidak sedikit yang
semestinya netral dan bertujuan baik karena dipraktikkan oleh ilrnuwan yang
disebabkan banyak faktor seperti sosial-politik sehingga eksperimen dan
penelitian yang dilakukan berkembang sesuai dengan kepentingannya, bukan
berdasarkan pada kepentingan ilmu. Kemudian ilmu berkembang sebagai sesuatu
yang tidak netral, bahkan seringkali menciptakan traumatik terhadap lingkungan.[4]
Dalam konteks kenetralan ilmu yang kemudian menjadi tidak netral,
bahkan menjadi sesuatu yang traumatik, siapa yang mesti bertanggung jawab? Ilmu
atau ilmuwan? Apakah Albert Einstein harus bertanggung jawab atas bom-bom yang
sebenarnya merupakan perwujudan secara praktis dari pandangan teori murninya
mengenai “interconvertablitas” dari zat dan energi?
3.
Masalah etika dalam pengembangan ilmu
Etika sebagai kelompok filsafat merupakan sikap kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika sangat berkaitan
dengan pelbagai masalah-masalah nilai (values) karena pokok kajian etika
terletak pada ragam masalah nilai “susila” dan “tidak susila”, baik” dan
“buruk”.
Etika dalam konteks ilmu adalah nilai (value). Dalam
perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan dari
sinilah kemudian sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika
eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan fatal error sehingga
tuntutan etika sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangan ilmu.
Dalam konteks ini, eksistensi etika dapat diwujudkan dalam visi, misi,
keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral.
Ada empat klaster domain etika yang sangat dibutuhkan dalam
eksperimen dan pengembangan ilmu, yaitu berupa (1) temuan basic research,
(2) rekayasa teknologi, (3) dampak sosial pengembangan teknologi, serta (4)
rekayasa sosial. Dari empat klaster tersebut akan melahirkan integritas
profesionalitas, tanggungjawab ilmuwan, tanggungjawab terhadap kebenaran, hak
azasi manusia, hak masyarakat, dan sebagainya. [5]
1.
Temuan basic research
Beberapa contoh yang berkaitan dengan basic research adalah
penemuan DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ketika ditemukan tentang
DNA unggul dan DNA cacat, dan pada saat dikembangkan pada wilayah kehidupan
alam seperti DNA pohon jati unggul dipergunakan untuk memperluas dan
meningkatkan reboisasi, maka hal ini tidak menemukan masalah. Demikian juga
penemuan ilmu tentang kloning, ilmu tidak mengalami kendali etika ketika hanya
merambah eksperimen pada hewan, semisal rekayasa domba masa depan agar dapat
memberi protein hewani pada manusia yang semakin bertambah dengan cepat juga
belum bermasalah. Namun demikian, ilmu tentang pengembangan DNA dan kloning
kelas akan tidak mempunyai nilai etika, jika masuk domain manusia.
Atau tentang sinar gamma (sinar X) bermanfaat untuk kedokteran,
Sinar beta (sinar laser) bermanfaat dunia konstruksi, Sinar alpha merupakan
sinar radioaktif, dan partikel alpha kita kenal sebagai atom helium dan atom
hidrogen. Akan tetapi terkadang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi/kelompok
dengan direkayasa untuk tujuan perang : untuk mendeteksi musuh dalam gelap,
untuk membuat senjata laser, dan untuk membuat bom atom. Menyedihkan.[6]
2.
Temuan Rekayasa Teknologik
Thalidomide, suatu temuan obat tidur yang telah diadakan uji klinis
pada binatang, tetapi tidak untuk manusia. Posisi ilmu tidak mengalami masalah
etik. Dalam per-kembangan selanjutnya, apabila thalidomide digunakan oleh ibu
mengandung memasuki bulan kedua dan terbukti dapat mengakibatkan bentuk janin
bayi menjadi tidak normal, maka uji klinis pun mesti diperketat. Masalah
berikut adalah bagaimana tanggungjawab etik terhadap eksperimentasi klinis pada
manusia? Itu perlu. Akan tetapi terhadap orang yang menjadi obyek
eksperimentasi klinis, bagaimana ?[7]
haruskan mengorbankan orang lain untuk kemajuan keilmuan?
3.
Dampak Sosial Pengembangan Teknolog
Ada dua dampak sosial yang kemungkinan dihadapi dalam pengembangan
teknologi, individual atau sosial secara keseluruhan. Misalnya DNA sebagai
konstitusi genetik makhluk hidup maka dapat memberi dampak pada martabat
manusia, khususnya nilai-nilai perkawinan yang dapat melahirkan keturunan yang
diakui oleh agama. Demikian juga dengan ilmu kloning, jika hanya dengan maksud
untuk meningkatkan kualitas manusia, justru akan menghancurkan martabat manusia,
diskriminasi terhadap orang lemah.
Bom atom nuklir yang menjadi ancaman seluruh manusia merupakan
akibat penemuan energi partikel alpha radioaktif yang dipergunakan secara
destruktif yang semestinya untuk keperluan medis dan alternatif energi listrik.
Sebagai contoh ketika terjadi di Nagasaki dan Hirosima Jepang yang luluh lantak
akibat dibom atom oleh Amerika Serikat pada Akhir Perang Dunia II tahun 1945.[8]
4.
Rekayasa Sosial
Salah satu dari rekayasa sosial adalah pemupukan kepercayaan
terhadap pemikiran yang monolitik, seperti sistem monarkhi demi pelanggengan
kekuasaan, sistem kapitalisme dan sosialisme, sistem kasta yang mentabukan
perkawinan antarkasta, dan lain sebagainya.
Dari empat klaster
berikut contoh-contoh yang dikemukakan menunjukkan bahwa etika dalam pendekatan
filsafat ilmu belum muncul kalau hanya pada wilayah epistemologik, namun
mem-bicarakan aksiologik keilmuan, mau tidak mau etika harus terlibat.
Etika akan membawa pada perkembangan ilmu untuk menciptakan suatu
peradaban yang baik, bukan menciptakan malapetaka dan kehancuran. Misi ilmu
tidak sejalan dengan yang dikatakan Bacon bahwa “knowledge is power”,[9]
pengetahuan sebagai kekuatan. Siapa yang ingin menguasai alam semesta maka
harus menguasai ilmu. Akan tetapi, yang kurang bijaksana adalah jika manusia
menguasai alam dan memperlakukannya tanpa memperhitungkan norma-norma etis
dalam hubungannya dengan alam. Apa yang terjadi? Banyak sekali terjadi
kerusakan lingkungan hidup yang pada gilirannya akan mengancam kelangsungan
hidup manusia juga.
IV. SIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa etika ilmu adalah suatu analisis yang
penerapannya diambil dari konsep benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab
yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui apa yang akan dianalisis
(diyakini). Atau lebih mudahnya adalah menggunakan etika dalam ilmu, maksudnya
bagaimana tujuan, motif, dan motivasi dalam mencari ilmu dan mempergunakan ilmu dengan konsep baik dan buruk.
Yang menjadi catatan khusus adalah pergunakanlah ilmu
sebaik-baiknya dalam koridor positif dan jangan menggunakan ilmu yang bersifat
merusakan. Serta jangan mengembangkan suatu ilmu yang ada menuju pengembangan
ilmu yang bersifat kejahatan yang menguntungkan diri sendiri/kelompok.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya uraikan. Saya
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena
sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari
saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk
memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah
referensi pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1997
Bertens Kees, Kepribadian Moral : Telaah atas Masalah Etika,
Yogyakarta : Kanisius, 2003
Muhadjir Noeng,
Filsafal llmu : Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Yogyakarta:
Rake Sarasin, 1998
Suijoatmodjo Pranjoto, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Depdikbud, 1988
Tim Dosen UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Liberty, 1996
http://gustinerz.wordpress.com/2011/03/25/konsep-etika-ilmu-dan-metode-ilmiah-2/ diunduh pada tanggal 24-06-2014 pukul 15.00 WIB
[1] Kees Bertens, Kepribadian
Moral : Telaah atas Masalah Etika (Yogyakarta : Kanisius, 2003), hlm. 69-70
[2] http://gustinerz.wordpress.com/2011/03/25/konsep-etika-ilmu-dan-metode-ilmiah-2/ diunduh pada
tanggal 24-06-2014 pukul 15.00 WIB
[3] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 1.
[4] Pranjoto
Suijoatmodjo, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Depdikbud, 1988), hlm.
146-148.
[5] Noeng
Muhadjir, Filsafal llmu : Telaah Sistematis Fungsional Komparatif,
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), hal. 148.
[6] Ibid., hlm.
148-149
[7] Ibid., hlm.
150
[8] Ibid., hlm.
151-152
[9] Tim Dosen UGM,
Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Liberty, 1996), hlm. 157.