HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Friday, December 12, 2014

THARIQAH SYATHARIYAH

THARIQAH SYATHARIYAH


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:  Tarekat dan Konsep Suluk
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A












Disusun oleh :
LUKMAN HAKIM              (124411026)
 


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I.         PENDAHULUAN
Dalam tasawuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan, Mu’tabaroh. Wa ghoiru Mu’tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang Mu’tabaroh itu, sanad (silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-mu’tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari’at. Dalam semua Thoriqoh Mu’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah adalah Thariqah Syathariyah, thariqah ini pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M).  Untuk lebih lanjutnya mengenai thariqah ini, penulis sedikit akan menjelaskan di sub Pembahasan.

II.      RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana latar belakang lahirnya Tarekat Syathariyah?
b.      Bagaimana ajarah Thariqah Syathariyah?
c.       Bagaimana dzikir Thariqah Syathariyah?
                                     
III.   PEMBAHASAN
a.       Latar belakang lahirnya Tarekat Syathariyah
Thariqah  Syathariyah  adalah  thariqah  yang  dinisbatkan  kepada syaikh Abdullah  al-Syaththar  (w.890  H./1485  M.), seorang  ulama’ yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu  Hafsh Umar  Suhrawardi  (539 - 632 H. / 1145 - 1234  M.), ulama’ yang mempopulerkan Thariqah Suhrawardiyah.
Awalnya  thariqah  ini  lebih  dikenal  di  Iran  dan  Transoxiana  (Asia Tengah)  dengan  nama  Insyiqiah.  Sedangkan  di  wilayah  Turki Usmani thariqah ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari  nama  Abu  Yazid  al-Isyqi  yang  dianggap  sebagai  tokoh utamanya.
Namun  karena  popularitas  thariqah  Isyqiyah  ini  tidak berkembang  di  tanah  kelahirannya,  dan  bahkan  semakin  memudar akibat  perkembangan  Thariqah  Naqsyabandiyah,  Abdullah  alSyathar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur,  kemudian  pindah  ke  Mondu,  sebuah  kota  muslim  di daerah  Malwa  (Multan).  Di  India  inilah  ia  mempeoleh  popularitas dan berhasil mengembangkan thariqahnya tersebut.
Tidak  diketahui apakah  perubahan  nama  dari Thariqah  Isyqiyah yang  dianutnya  semula  ke  Thariqah  Syathariyah  atas  inisiatifnya sendiri  yang  ingin  mendirikan  tharîqah  baru  sejak  awal kedatangannya  di  India  ataukah  atas  inisiatif  murid-muridnya.  Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal  Abdullah  al-Syathar,  Thariqah  Syathariyah disebarluaskan  oleh  murid-muridnya,  terutama  Muhammad  al-A’la, yang  dikenal  sebagai  Qazan  Syathiri.[1]
Semula thariqah ini hanya berkembang di India dan salah satu muridnya yang terlibat di dalam pengembangan thariqah adalah Muhammad Gaus Gwa (wafat 1562). Diantara muridnya juga ada yang mengembangkan thariqah tersebut di Makkah dan Madinah, yaitu Shibghatullah ibn Rullah (wafat 1606) dan juga seorang khalifahnya yang bernama Ahmad al-Qusyasyi (1583-1661). Beliau inilah yang mengembangkan thariqah Syathariyah dan memiliki banyak murid dari berbagai penjuru, termasuk dari Nusantara.[2] Setelah  Ahmad  al-Qusyasyi  meninggal  Ibrahim al-Kurani  asal  Turki  tampil  menggantikannya  sebagai  pimpinan tertinggi dan pengajar Thariqah Syathariyah yang terkenal di wilayah Madinah.
Ahmad  al-Qusyasyi  dan  Ibrahim  al-Kurani  adalah  guru  dari Abdul  Rauf  Singkel  yang  kemudian  berhasil  mengembangkan Syathariyah  di  Indonesia.  Abdul  Rauf  sendiri  yang  kemudian  turut mewarnai  sejarah  mistik  Islam  di  Indonesia  pada  abad  ke-17  ini, menggunakan  kesempatan  untuk  menuntut  ilmu,  terutama tashawwuf  ketika  melaksanakan  haji  pada  tahun  1643.  Ia  menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama  dan  ahli  thariqah  ternama.  Sesudah  Ahmad  Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan thariqahnya.
Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui  murid-muridnya  yang  menyebarkan  thariqah  yang dibawanya.  Antara  lain,  misalnya  di  Sumatera  Barat  dikembangkan oleh  muridnya  Syaikh  Burhanuddin  dari  Pesantren  Ulakan;  di  Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa  Barat,  thariqah  ini  kemudian  menyebar  ke  Jawa  Tengah  dan Jawa  Timur.  Di  Sulewasi  Selatan  disebarkan  oleh  salah  seorang tokoh  Thariqah  Syathariyah  yang  cukup  terkenal  dan  juga  murid langsung  dari  Ibrahim  al-Kurani  yaitu  Yusuf  Tajul  Khalwati  (1629-1699).[3]
Thariqah Syathariyah tergolong thariqah muktabaroh, yakni thariqah yang sudah diselidiki kebenarannya antara lain tentang silsilahnya sampai kepada sahabat Nabi.[4]        
Silsilah Thariqah Syathariyah[5]
1.
2.

3.
4.
5.
6.

7.
8.
9.

10.

11.

12.
Nabi Muhammad Saw. (609-632 M)
Imam Ali bin Abu Thalib (632-661 M)
Imam Hasan al-Syahid (661-670 M)
Imam Husain (670-684 M)
Imam Zainal Abidin (684-718 M)
Imam Muhammad al-Baqir (718-737 M)
Imam Ja’far Shadiq (737-771 M)
Imam Musa al-Kazhim (771-806 M)
Imam Ali bin Imam Musa al-Kazhim (806-826 M)
Imam Muhammad al-Jawad (826-843 M)
Imam Ali bin Muhammad al-Hadi (843-877 M)
Imam Abu Yazid al-Busthami (W.874 M
12.
13.

14.

15.
16.

17.

18.

19.

20.
21.


Imam Hasan al-Asykari (877-883 M)
Imam al-Mahdi al-Muntadzar (883-955 M)
Syaikh Muhammad al-Maghribi (955-1007 M)
Syaikh Araby al-Asyiqi (1007-1074 M)
Syaikh Qutb Maulana Rumi al-Tushi (1074-1132 M)
Syaikh Qutb Abu Hasan al-Hirqan (1132-1176 M)
Syaikh Hud Qaliyyu Mawaran Nahar (1176-1249 M)
Syaikh Muhammad Asyiq (1249-1312 M)
Syaikh Muhammad Arif (1312-1376 M)
Syaikh Abdullah al-Syaththar (1376-1429 M)

b.      Ajaran Thariqah Syathariyah
Menurut Al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia thariqah adalah baiat dan talqin. Oleh karenanya, dalam kitab ini (Al-Simt al-Majid) al-Qusyasyi menjelaskan secara detail tata cara baiat dan talqin tersebut.[6]
1.      Tentang taqin
a.       Calon murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syaikhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudlu)
b.      Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan shalat sunat sebanyak enam rakaat, dengan tiga kali salam.
ü  Pada rakaat pertama dari dua rakaat pertama, setelah surat fatihah, membaca surat al-qadr enam kali, kemudian pada rakaat kedua, setelah surat fatihah, membaca surah al-qadr dua kali. Pahala sholat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW. seraya berharap mendapat pertolongan dari Allah SWT.
ü  Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rakaat kedua, setelah surah fatihah membaca surah al-kafirun lima kali, pada rakaat kedua, setelah al-fatihah membaca surah al-kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para Nabi, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya.
ü  Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surah al-fatihah membaca surah al-ikhlas empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-fatihah membaca surah al-ikhlas dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru thariqah, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. 
ü  Rangkaian shalat sunat ini kemudian diakhiri dengan pembacaan shalawat kepada Nabi sebanyak sepeluh kali. [7]

2.      Baiat dan tata caranya
Meskipun teknis dan tata cara bai’ah dalam berbagai jenis thariqah sering kali bereda satu sama lain, tetapi umumnya terdapat tiga hal penting yang harus dilalui oleh seorang calon murid yang akan melakukan bai’ah yakni :
ü  Talqin al-zikr (mengulang-ulang zikir tertentu)
Selama beberapa hari calon murid diminta mengulang-ulang kalimat zikir la ilaha illa Allah hingga ratusan kali dalam sehari di tempat yang sunyi; kemudian, dia diminta memberikan “laporan” kepada syaikhnya berkaitan dengan firasat atau mimpi yang barangkali dia alami; berdasarkan laporan tersebut sudah boleh menerima kalimat zikir berikutnya. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa secara keseluruhan, ada 7 kalimat zikir yang harus dilalui oleh seorang calon murid dalam tahap talqin al-zikr, yaitu : la ilaha illa Allah, Ya Allah, Ya Huwa, Ya Haqq, Ya Hayy, Ya Qayyum, dan Ya Qahhar.
ü  Akhu al-a’ahd (mengambil sumpah)
 Pada dasarnya, rumusan kalimat baiat antara thariqah berbeda-beda namun kesemuaannya itu mengisyaratkan pada ikrar kesetiaan dari calon murid tersebut untuk patuh kepada syaikhnya, dan kepada berbagai aturan serta tuntunan thaqriah yang diajarkan. Selain itu, dalam bai’ah, apapun jenis thariqahnya, ada satu ayat al-Qur’an yang senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dari lafadz bai’ah. Ayat yang dikenal sebagai ayat al-mubaya’ah itu merupakan kutipan dari ayat ke-10 dari al-Qur’an surat al-Fath yang berbunyi :
¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Ztƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ  
Artinya : “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
ü  Libs al-khirqah (mengenakan jubah)
Yakni sang Syaikh memberikan dan mengenakan jubah (khirqah) kepada murid yang baru saja mengucapkan ikrar bai’ah sebagai tanda masuknya murid tersebut ke dalam organisasi thariqah. Selain itu, khirqah juga diberikan kepada murid yang dianggap telah menyelesaikan perjalanan spiritual (suluk)-nya.[8]
Sedangkan menurut Munawir Kertosono dan Sholeh Badruddin dalam bukunya “Sabilus Salikin : Jalan Para Salik Ensiklopedi Thariqah/Tashawwuf” menyebutkan bahwa tata cara bai’at dalam Thariqah Syathariyah adalah sebagai berikut :
ü  Niat meminta ilmu Syathariyah
نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
ü  Mandi bersuci, niatnya :
نَوَيْتُ غُسْلاً لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
ü  Berpuasa tiga hari berturut-turut (paing sedikit)
Puasa  pada  hari  ketiga  menghadap  guru  yang  berhak  dan sah menunjukkan ilmu untuk memohon ijinnya.Waktu pemberian petunjuk tentang ilmu ini biasanya sehabis shalat ‘Ashar.
Niat puasanya sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَذٍ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
ü  Latihan mukaddimahnya ilmu Syathariyah
Yakni  dzikir  tujuh  macam  yang  disesuaikan  dengan  jumlah nafsu  manusia  yang  juga  ada  tujuh  macam.  Pemahaman  dan latihan  mukaddimahnya  ilmu  ini  biasanya  dilakukan  oleh pimpinan cabang atau perwakilan cabang warga yang membawa warga  baru  untuk  dapatnya  memperoleh  ilmu  ini  dan  akan dilatih lagi di pusat sebelum menghadap guru.
ü  Membayar kifarat
Penjelasan  yang  langsung  dari  guru-guru  (dengan  lisan) yang dilakukan secara bergilir dan tidak pernah putus sejak Nabi Muhammad  Saw.  hingga  kini,  kifarat  ini  adalah  menebus dosanya sendiri.
Adapun  besarnya  kifarat  adalah  sesuai  dengan  kemampuan (layaknya sebesar biaya untuk kematian dirinya) dan diserahkan kepada  yang  berhak  dan  sah  sebagai  pelanjut  guru  wasithah (yang  kemudian  ditasharrufkan  pada  berbagai  kegiatan pendidikan,  dakwah,  sosial,  pembangunan  sarana  dan prasarananya).[9]
3.      Niat dan kemantaban
Disamping  harus  ada  izin  dari  guru  yang  berhak  dan  sah,  bagi yang  bersangkutan  (yang  berkehendak  memperoleh  ilmu),  harus ada niat yang kuat dan mantab. Maksud  dan  kandungan  niat  minta  petunjuk  ilmu  Syathariyah, biasanya diniatkan dengan ungkapan sebagai berikut:
نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
نَوَيْتُ اَنْ اَدْخُلَ طَرِيْقَ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى    atau               
“Saya  berniat  untuk  “masuk”  mohon  petunjuk  ilmunya  guru  yang shaleh fardhu karena Allâh Ta’ala.”
Diterjemahkan sebagaimana di atas karena mempunyai maksud dan  tujuan  agar  para  pengamal  ilmu  ini  akan  menjadi  orang-orang yang  benar-benar  bermujahadah  (memerangi  hawa  nafsunya sendiri)  hingga  membentuk  diri  menjadi  orang  yang  sabar  dan tawakkal supaya dapat mencapai tingkat dan martabat rasa.
Tingkat  dan  martabat  rasa  yaitu  relanya  hati  untuk melaksanakan  lakon  (ibadah  yang  dapat  dilaksanakan  oleh  jasad) dan  pitukon  (amal  jariah,  zakat,  infaq  dan  sejenisnya)  untuk  tujuan mendekat  kepada-Nya  (berjuang, berkorban  dan  berbakti  dalam memenuhi  taatnya  kepada  guru)  dengan  ikhlas  yang  seikhlas-ikhlasnya.  Rasa  hati  yang  tulus  ikhlas  karena  Allâh  Swt., dengan Allah  Swt., di  jalan  Allah  Swt., Untuk  Allah  Swt.,  sehingga  dia “tidak merasa” bahwa dirinya berkorban dan berbakti.[10]

c.    Dzikir Thariqah Syathariyah
Tujuh Macam Dzikir Thariqah Syattariyah


1.      Thawaf
Mengucap kalimah :  (لا إله إلا الله  3x) Dilakukan pada diri (jagad) pribadi.  Caranya  memutar  kepala,  mulai  dari  bahu  kiri.  Alat penunjuknya  adalah  dagu  (simbol  Pena-Nya  Allah  Swt. dengan tinta  Nur  Muhammad).  Dengan  dagu  tersebut  lalu  menggaris dada  (mulai  dari  bahu  kiri)  menuju  bahu  kanan,  berpusat  pada pusar,  membentuk  Lam  Alif  dengan  mengucap  kalimah  “La ilaha” (dzikir pertama), dengan menahan nafas.
Setelah  sampai  pada  bahu  yang  kanan  lalu  menarik  nafas, baru mengucapkan (dzikir kedua) yaitu kalimah  itsbat  ‘Illallah’ yang  dipukulkan  (oleh  dagu)  tersebut  ke  dalam  hati  sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah payudara kiri.
Bahu  kanan  sebagai  tempat  menarik  nafas  ketika  hendak mengucap  kalimah  nafi  “illallah”  adalah  simbolnya  “maqam firaq”. Simbol pisahnya yang hak dan yang batal. Simbol nafinya dzat,  sifat  dan  af’alnya  hamba  supaya  dapat  membuktikan bahwa  satu-satunya  yang  wujud  dan  yang  ada  adalah  yang diitsbatkan (ditetapkan) dalam hati. Yaitu Diri-Nya Ilahi al-Ghaib yang hanya dapat diketahui dari guru wasithah yang berhak dan sah menunjuki.
Maksud  dan  kandungan  makna  dari  dzikir  mukaddimah (dzikir  pertama  dan  kedua),  yang  bertempat  pada  bahu  kiri (tempat  mulai  thawaf)  dan  bahu  kanan  (tempat  menarik  nafas) adalah  simbol  hamba  yang  mempunyai  keberanian  dengan tekad,  mantab,  meski  betapapun  berat  resiko  yang  harus ditanggung guna memenuhi amanat ilahi.
Jadi sebagai  simbol  keberanian  memikul  amanah  dari  Allah Swt. yaitu:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ 
“Sembahlah Tuhanmu hingga datang yaqin (mati)”[11]
Ayat  tersebut  mengandung  makna  supaya  menyembah Tuhan  yang  asma’nya  Allah  dengan  kesungguhan  berjihad  anNafsi  supaya  dapat  lulus  dalam  mengikuti  watak  dan  jejak  para malaikatul  muqarrabin,  rela  sepenuh  hati  sujud (memperlakukan  diri  bagai  mayit  yang  patuh  dan  taat  di hadapan  yang  berhak  dan  sah  mensucikannya)  hingga  akan ditarik  fadhal  dan  rahmat-Nya  dapat  seyakinnya  merasakan kehadiran yang disembah itu.
Ketika menjelajahi jagat (menjalani kehidupan dunia sebatas umur  masing-masing  sebagai  ujian  dan  cobaan  ini)  supaya dapat lurus harus berani menahan nafas, karena menahan nafas merupakan  lambang  sesuatu  yang  amat  sangat  penting.  Agar dapat  menjadi  hamba-Nya  Ratu  Adil,  karena  dapat dimengertikan   bagaimana  cara  mengadili  diri  sendiri  supaya hidupnya  tidak  ditipu  daya,  apalagi  hingga  sampai  diperintah dan dijajah oleh hawa nafsu. Lalu menjadi hamba yang hurriyah tammah.  Menjadi  hamba  yang  rasa  jiwanya  merdeka  sejati. Menjadi  hamba  cahaya-Nya  Ilahi  di  muka  bumi.  Dijadikan  olehNya dapat mengaktualisasikan fitrahnya jati diri.
Karena  itulah  ketika  melakukan  dzikir  istbat  (Illallah),  dagu dipukulkan ke arah hati sanubari supaya markas besarnya nafsu lawwamah ini tidak berfungsi (dapat dikendalikan).
2.      Nafi Itsbat
Kalimah  Nafi  Istbat  (kalimah  Thoyyibah)  yaitu  “La  Ilaha Illallah” (dilafalkan secukupnya).
Dzikir  ini  dilakukan  sebanyak  mungkin  dengan menghidupkan  angan-angan,  bahwa  semua  hal  tentang  dunia dan  apa  saja  termasuk  jiwa  raganya,  nafi,  tidak  ada.  Dibarengi dengan  hati  mengintai-intai  Diri-Nya  Ilahi.  Dan  apabila  masih selalu  merasakan  ada  terhadap apa saja  (dan ternyata memang demikianlah yang terjadi), maka segeralah menyadari atas salah dan  dosanya  sendiri.  Masih  banyaknya  lakon  dan  pitukon  yang belum  dijalani.  Masih  banyak  sekali  keteledoran  dan  masih sangat  kurang  kesungguhannya  dalam  ber-jihad  al-nafs.
Dengan demikian jiwa dan  taubat nasuha-nya terus menghidupi diri.  Itulah  sebabnya  warga  Syathariyah  apabila  melakukan dzikir  nafi  istbat  suara  yang  dikeraskan  adalah  suara  nafi-nya. Sebab  begitu  mengucap  “ill”  (yang  lengkapnya  Illallah)  suara seperti dimasukkan ke dalam yang mempunyai asma’ Allah Swt.
3.      Itsbat Faqad
Dzikir  ini  berupa  lafal  “illallah”  (diucapkan  sebanyak  7x). dipukulkan  kedalam  hati  nurani  dengan  alat  pemukul  dagu. Bermaksud  mempertegas  bahwa  hanya  diri-Nya  lah  Dzat  yang Wujud  dan  yang  Ada.  Sehingga  hati  yang  menjadi  markas besarnya  nafsu  lawwamah    ini  benar-benar  diam.  Tidak  akan mengganggu  perjalanan  dan  cita-cita  hati  nurani,  ruh  dan  rasa dalam tujuan mendekat sehingga sampai ma’rifat kepada-Nya. [12]
4.      Ismu Dzat
Dzikir  Ism  Dzat  yaitu  “Allah”  (diucapkan  sebanyak  7x)  Arah yang  dipukul  oleh   dagu  tepat  pada  tengah-tengah  dada. Mengarah   pada  ruh  yang  keberadaannya  di  dalam  hati  nurani. Supaya  benar-benar  disadari  dan  dipahami  bahwa  ruh  yang menandai  adanya  hidup  dan  kehidupan  dengan  keluar masuknya  nafas  dalam  dada,  lalu  karena  itu  wujud  jiwa  raga mempunyai  daya  dan  kekuatan,  ini  semua  adalah    min  ruhihi.
Daya  dan  kekuatan  Allah  Swt.,  sama  sekali  bukan  daya dan  kekuatan  nafsu  yang  terbiasa  telah  diaku  oleh  wataknya nafsu.  Sebab  bila  demikian  diterus-teruskan  sama  saja  dengan telah berani menjadi hamba yang menyekutukan Tuhannya.
5.      Dzikir Taraki
Dzikir  Taraki  yaitu  “Allah  huwa”  (dibaca  Alla  huw)  dibaca sebanyak  7x  atau  ganjil.  Ucapan  Allah  diambil  dari  dalam  dada, dan  “huw”  dimasukkan  ke  dalam  Baitul  Makmur  (markasnya berpikir). Maksudnya supaya markas besarnya berpikir ini selalu dicahayai  oleh  cahaya  Ilahi,  sehinga  potensi  pikir  akan  benar-benar  dapat  digunakan  untuk  memecahkan  masalah-masalah dunia.
Bagi  mengelola  garapan  dunia  yang  oleh  Allah  dicipta tidak  sia-sia  dan  tidak  batal  ini,  namun  karena  markas  berpikir selalu  diterangi  oleh  cahaya-Nya,  sama  sekali  tidak  akan ditujukan  untuk  mengumpulkan  harta  benda dunia,  bersenang-senang,  mengumbar  hawa  nafsu  dan  syahwat.  Berbangga-bangga  dan  bermegah-megah  dengan  kehidupan  dunia.  Tetapi semata-mata demi untuk Subhaanaka.  Demi untuk mensucikan Dzat  yang  Maha  Suci.  Oleh  karena  itu,  hasil  kerja  kerasnya semata-mata  dijadikan  sebagai  pancatan  yang  kokoh,  guna mensucikan  diri  supaya  dapat  sampai  selamat  dan  bahagia bertemu kembali dengan Dzat yang Maha suci.
6.      Dzikir Tanazul
Dzikir  ini  berupa  lafad  “Huw  Allah”  (sebanyak  7x).  “Huw” diambil  dari  baitul  makmur  (otak),  dan  kalimah  Allah dimasukkan ke dalam dada. Sebab  akhirat  itu pintu masukknya ada  di  dalam  dada.  Al-taqwa  haahuna  (tiga  kali)  sebagaimana sabda  Nabi  Muhammad  Saw.,  yang  dituding  beliau  adalah dadanya. Sehingga akan senantiasa berkesadaran tinggi sebagai insan  Cahaya  Ilahi,  bahwa  hidup  dan  kehidupan  dunia  dengan segala  kewajiban  hamba  yang  dilakukannya  adalah  merupakan proses  nyata  terhadap  kandungan  makna  “inna  lillaahi  wa  inna ilaihi rajiuun[13]
7.      Dzikir Ismu Ghaib
Dzikir  Isim  Ghaib  yaitu  “Huwa”  (dibaca  huw  dengan  mulut tertutup, secukupnya) Dengan  mata  terpejam  dan  mulut  dikatupkan.  Yang  diarahkan tepat pada tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa yang  telah  diisi  dengan  dzikir  (ingatnya  hati  nurani  pada  alGhaib, isinya Huw).
Dzikir  huw  ini  asalnya  dari  ha’  wawu  di  dhammah.  Yaitu dhamir  huwa.  Dhamir  yang  maknanya  adalah  “sesuatu  yang tersimpan di dalam hati tentang ada dan wujud diri-Nya Dzat alGhaib  yang  Allah  Asma’-Nya.  Dan  ini  adalah  makna  kandungan firman Allah Swt. dalam surat al-Ikhlas:[14]
ö@è% uqèd ª!$# îymr&
IV.   SIMPULAN
Thariqah  Syathariyah  adalah  thariqah  yang  dinisbatkan  kepada syaikh Abdullah  al-Syaththar  (w.890  H./1485  M.) letaknya di India. Kemudian dibawa ke Makkah dan Madinah oleh Shibghatullah ibn Rullah (wafat 1606) dan juga seorang khalifahnya yang bernama Ahmad al-Qusyasyi (1583-1661). Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal kemudian kepemimpinan di Madinah digantikan oleh Ibrahim  al-Kurani. Dan salah satu murid beliau  adalah Abdul  Rauf  Singkel  yang  kemudian  berhasil  mengembangkan Syathariyah  di  Indonesia.
Ajaran Thariqah Syathariyah meliputi talqin, bai’at, dan dzikir. Penjelasannya bisa dibaca diatas. Satu thariqah dengan thariqah lain memiliki berbeda-beda cara ritualnya (tentang talqin, bai’at, metode dzikirnya, mauun dalam jumlah hitungan dzikirnya), namun pada intinya adalah sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kalimat dzikirnya Allah atau La ilaha illa Allah

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat. Makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna, oleh karenanya, kami mohon masukan kritik dan saran dari semua pihak untuk memperkaya materi, memperdalam pemahaman dan juga perbaikan untuk makalah selanjutnya. Terakhir, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan ilmu bagi semua pihak. Terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

Darno, Studi Kasus Tarekat Syathariyah  Di kecamatan Karangrejo Kaputen Tulungagung Propinsi Jawa Timur, Semarang : Balai Penelitian Aliran Kerohanian / Keagamaan Semarang, 1995
Kertosono, Munawir dan Sholeh Badruddin, Sabilus Salikin : Jalan Para Salik Ensiklopedi Thariqah/Tashawwuf, Pasuruan : Pondok Pesantren Ngalah, 2012
Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2005, cet.2
Syam, Nur, Tarekat Petani : Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal, Yogyakarta : PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013

No comments:

Post a Comment