THARIQAH SYATHARIYAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Tarekat dan Konsep Suluk
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Amin Syukur,
M.A
Disusun oleh :
LUKMAN HAKIM
(124411026)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Dalam tasawuf seringkali
dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo
Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan,
sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil mahluk, yang
artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan
bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah
berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah,
yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah,
ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam istilah ahli Thoriqoh
lazim dikenal dengan ungkapan, Mu’tabaroh. Wa ghoiru Mu’tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah
menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah,
melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang Mu’tabaroh itu, sanad
(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu
Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh
tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-mu’tabaroh-an
suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari’at. Dalam semua Thoriqoh Mu’tabaroh
syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh
Muktabaroh itu adalah adalah Thariqah Syathariyah, thariqah ini pertama kali digagas oleh Abdullah
Syathar (w.1429 M). Untuk lebih lanjutnya
mengenai thariqah ini, penulis sedikit akan menjelaskan di sub Pembahasan.
II. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana latar belakang lahirnya Tarekat Syathariyah?
b. Bagaimana ajarah Thariqah Syathariyah?
c. Bagaimana dzikir Thariqah Syathariyah?
III. PEMBAHASAN
a. Latar belakang lahirnya Tarekat Syathariyah
Thariqah Syathariyah
adalah thariqah yang
dinisbatkan kepada syaikh
Abdullah al-Syaththar (w.890
H./1485 M.), seorang ulama’ yang masih memiliki hubungan kekeluargaan
dengan Syihab al-Din Abu Hafsh Umar Suhrawardi
(539 - 632 H. / 1145 - 1234 M.),
ulama’ yang mempopulerkan Thariqah Suhrawardiyah.
Awalnya thariqah
ini lebih dikenal
di Iran dan
Transoxiana (Asia Tengah) dengan
nama Insyiqiah. Sedangkan
di wilayah Turki Usmani thariqah ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu
Yazid al-Isyqi yang
dianggap sebagai tokoh utamanya.
Namun karena
popularitas thariqah Isyqiyah
ini tidak berkembang di
tanah kelahirannya, dan
bahkan semakin memudar akibat perkembangan
Thariqah Naqsyabandiyah, Abdullah
alSyathar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di
Jawnpur, kemudian pindah
ke Mondu, sebuah
kota muslim di daerah
Malwa (Multan). Di
India inilah ia
mempeoleh popularitas dan
berhasil mengembangkan thariqahnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan
nama dari Thariqah Isyqiyah yang
dianutnya semula ke
Thariqah Syathariyah atas
inisiatifnya sendiri yang ingin
mendirikan tharîqah baru
sejak awal kedatangannya di
India ataukah atas
inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya
(1428).
Sepeninggal Abdullah
al-Syathar, Thariqah Syathariyah disebarluaskan oleh
murid-muridnya, terutama Muhammad
al-A’la, yang dikenal sebagai
Qazan Syathiri.[1]
Semula thariqah
ini hanya berkembang di India dan salah satu muridnya yang terlibat di dalam
pengembangan thariqah adalah Muhammad Gaus Gwa (wafat 1562). Diantara muridnya
juga ada yang mengembangkan thariqah tersebut di Makkah dan Madinah, yaitu
Shibghatullah ibn Rullah (wafat 1606) dan juga seorang khalifahnya yang bernama
Ahmad al-Qusyasyi (1583-1661). Beliau inilah yang mengembangkan thariqah Syathariyah
dan memiliki banyak murid dari berbagai penjuru, termasuk dari Nusantara.[2]
Setelah Ahmad al-Qusyasyi
meninggal Ibrahim al-Kurani asal
Turki tampil menggantikannya sebagai
pimpinan tertinggi dan pengajar Thariqah Syathariyah yang terkenal di
wilayah Madinah.
Ahmad al-Qusyasyi
dan Ibrahim al-Kurani
adalah guru dari Abdul
Rauf Singkel yang
kemudian berhasil mengembangkan Syathariyah di
Indonesia. Abdul Rauf
sendiri yang kemudian
turut mewarnai sejarah mistik
Islam di Indonesia
pada abad ke-17
ini, menggunakan kesempatan untuk
menuntut ilmu, terutama tashawwuf ketika
melaksanakan haji pada tahun 1643.
Ia menetap di Arab Saudi selama
19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan
ahli thariqah ternama.
Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan
mengembangkan thariqahnya.
Kemasyhurannya
dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang
menyebarkan thariqah yang dibawanya. Antara
lain, misalnya di
Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya
Syaikh Burhanuddin dari
Pesantren Ulakan; di
Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari
Jawa Barat, thariqah
ini kemudian menyebar
ke Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Di
Sulewasi Selatan disebarkan
oleh salah seorang tokoh
Thariqah Syathariyah yang
cukup terkenal dan
juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani
yaitu Yusuf Tajul
Khalwati (1629-1699).[3]
Thariqah
Syathariyah tergolong thariqah muktabaroh, yakni thariqah yang sudah diselidiki
kebenarannya antara lain tentang silsilahnya sampai kepada sahabat Nabi.[4]
Silsilah Thariqah Syathariyah[5]
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
|
Nabi Muhammad Saw. (609-632 M)
Imam Ali bin Abu Thalib (632-661 M)
Imam Hasan al-Syahid (661-670 M)
Imam Husain (670-684 M)
Imam Zainal Abidin (684-718 M)
Imam Muhammad al-Baqir (718-737 M)
Imam Ja’far Shadiq (737-771 M)
Imam Musa al-Kazhim (771-806 M)
Imam Ali bin Imam Musa al-Kazhim (806-826 M)
Imam Muhammad al-Jawad (826-843 M)
Imam Ali bin Muhammad al-Hadi (843-877 M)
Imam Abu Yazid al-Busthami (W.874 M
|
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
|
Imam Hasan al-Asykari (877-883 M)
Imam al-Mahdi al-Muntadzar (883-955 M)
Syaikh Muhammad al-Maghribi (955-1007 M)
Syaikh Araby al-Asyiqi (1007-1074 M)
Syaikh Qutb Maulana Rumi al-Tushi (1074-1132 M)
Syaikh Qutb Abu Hasan al-Hirqan (1132-1176 M)
Syaikh Hud Qaliyyu Mawaran Nahar (1176-1249 M)
Syaikh Muhammad Asyiq (1249-1312 M)
Syaikh Muhammad Arif (1312-1376 M)
Syaikh Abdullah al-Syaththar
(1376-1429 M)
|
b. Ajaran Thariqah Syathariyah
Menurut
Al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia thariqah
adalah baiat dan talqin. Oleh karenanya, dalam kitab ini (Al-Simt al-Majid)
al-Qusyasyi menjelaskan secara detail tata cara baiat dan talqin tersebut.[6]
1. Tentang taqin
a. Calon murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang
ditunjuk oleh syaikhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudlu)
b. Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan shalat sunat sebanyak
enam rakaat, dengan tiga kali salam.
ü
Pada rakaat pertama dari
dua rakaat pertama, setelah surat fatihah, membaca surat al-qadr
enam kali, kemudian pada rakaat kedua, setelah surat fatihah, membaca
surah al-qadr dua kali. Pahala sholat tersebut dihadiahkan kepada Nabi
SAW. seraya berharap mendapat pertolongan dari Allah SWT.
ü
Selanjutnya, pada rakaat
pertama dari dua rakaat kedua, setelah surah fatihah membaca surah al-kafirun
lima kali, pada rakaat kedua, setelah al-fatihah membaca surah al-kafirun
tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para Nabi, keluarga, sahabat,
serta para pengikutnya.
ü
Terakhir, pada rakaat
pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surah al-fatihah membaca surah al-ikhlas
empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-fatihah membaca surah al-ikhlas
dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru thariqah,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
ü
Rangkaian shalat sunat ini
kemudian diakhiri dengan pembacaan shalawat kepada Nabi sebanyak sepeluh kali. [7]
2. Baiat dan tata caranya
Meskipun teknis
dan tata cara bai’ah dalam berbagai jenis thariqah sering kali bereda
satu sama lain, tetapi umumnya terdapat tiga hal penting yang harus dilalui
oleh seorang calon murid yang akan melakukan bai’ah yakni :
ü
Talqin al-zikr
(mengulang-ulang zikir tertentu)
Selama beberapa
hari calon murid diminta mengulang-ulang kalimat zikir la ilaha illa Allah
hingga ratusan kali dalam sehari di tempat yang sunyi; kemudian, dia diminta
memberikan “laporan” kepada syaikhnya berkaitan dengan firasat atau mimpi yang
barangkali dia alami; berdasarkan laporan tersebut sudah boleh menerima kalimat
zikir berikutnya. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa secara keseluruhan, ada 7
kalimat zikir yang harus dilalui oleh seorang calon murid dalam tahap talqin
al-zikr, yaitu : la ilaha illa Allah, Ya Allah, Ya Huwa, Ya Haqq, Ya
Hayy, Ya Qayyum, dan Ya Qahhar.
ü
Akhu al-a’ahd (mengambil
sumpah)
Pada dasarnya, rumusan kalimat baiat antara
thariqah berbeda-beda namun kesemuaannya itu mengisyaratkan pada ikrar
kesetiaan dari calon murid tersebut untuk patuh kepada syaikhnya, dan kepada
berbagai aturan serta tuntunan thaqriah yang diajarkan. Selain itu, dalam bai’ah,
apapun jenis thariqahnya, ada satu ayat al-Qur’an yang senantiasa menjadi
bagian tak terpisahkan dari lafadz bai’ah. Ayat yang dikenal sebagai ayat al-mubaya’ah
itu merupakan kutipan dari ayat ke-10 dari al-Qur’an surat al-Fath yang
berbunyi :
¨bÎ)
úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã
$yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã
©!$#
ßt
«!$#
s-öqsù
öNÍkÉ÷r& 4 `yJsù
y]s3¯R
$yJ¯RÎ*sù ß]ä3Zt 4n?tã
¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr&
$yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ
©!$#
ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã
ÇÊÉÈ
Artinya : “Bahwasanya orang-orang yang
berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah.
tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya
niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa
menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
ü
Libs al-khirqah
(mengenakan jubah)
Yakni sang Syaikh
memberikan dan mengenakan jubah (khirqah) kepada murid yang baru saja
mengucapkan ikrar bai’ah sebagai tanda masuknya murid tersebut ke dalam
organisasi thariqah. Selain itu, khirqah juga diberikan kepada murid
yang dianggap telah menyelesaikan perjalanan spiritual (suluk)-nya.[8]
Sedangkan menurut
Munawir Kertosono dan Sholeh Badruddin dalam bukunya “Sabilus Salikin : Jalan
Para Salik Ensiklopedi Thariqah/Tashawwuf” menyebutkan bahwa tata cara
bai’at dalam Thariqah Syathariyah adalah sebagai berikut :
ü
Niat meminta ilmu Syathariyah
نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا
لِلَّهِ تَعَالَى
ü
Mandi bersuci, niatnya :
نَوَيْتُ غُسْلاً لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ
فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
ü
Berpuasa tiga hari
berturut-turut (paing sedikit)
Puasa pada
hari ketiga menghadap
guru yang berhak
dan sah menunjukkan ilmu untuk memohon ijinnya.Waktu pemberian petunjuk
tentang ilmu ini biasanya sehabis shalat ‘Ashar.
Niat puasanya
sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَذٍ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ
فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
ü
Latihan mukaddimahnya ilmu
Syathariyah
Yakni dzikir
tujuh macam yang
disesuaikan dengan jumlah nafsu
manusia yang juga
ada tujuh macam.
Pemahaman dan latihan mukaddimahnya
ilmu ini biasanya
dilakukan oleh pimpinan cabang
atau perwakilan cabang warga yang membawa warga
baru untuk dapatnya
memperoleh ilmu ini
dan akan dilatih lagi di pusat
sebelum menghadap guru.
ü
Membayar kifarat
Penjelasan yang
langsung dari guru-guru
(dengan lisan) yang dilakukan
secara bergilir dan tidak pernah putus sejak Nabi Muhammad Saw.
hingga kini, kifarat
ini adalah menebus dosanya sendiri.
Adapun besarnya
kifarat adalah sesuai
dengan kemampuan (layaknya
sebesar biaya untuk kematian dirinya) dan diserahkan kepada yang
berhak dan sah
sebagai pelanjut guru wasithah
(yang kemudian ditasharrufkan pada
berbagai kegiatan
pendidikan, dakwah, sosial,
pembangunan sarana dan prasarananya).[9]
3. Niat dan kemantaban
Disamping harus
ada izin dari guru
yang berhak dan
sah, bagi yang bersangkutan
(yang berkehendak memperoleh
ilmu), harus ada niat yang kuat
dan mantab. Maksud dan kandungan
niat minta petunjuk
ilmu Syathariyah, biasanya
diniatkan dengan ungkapan sebagai berikut:
نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا
لِلَّهِ تَعَالَى
نَوَيْتُ اَنْ اَدْخُلَ طَرِيْقَ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا
لِلَّهِ تَعَالَى atau
“Saya berniat
untuk “masuk” mohon
petunjuk ilmunya guru
yang shaleh fardhu karena Allâh Ta’ala.”
Diterjemahkan
sebagaimana di atas karena mempunyai maksud dan
tujuan agar para
pengamal ilmu ini
akan menjadi orang-orang yang benar-benar
bermujahadah
(memerangi hawa nafsunya sendiri) hingga
membentuk diri menjadi
orang yang sabar
dan tawakkal supaya dapat mencapai tingkat dan martabat rasa.
Tingkat dan
martabat rasa yaitu
relanya hati untuk melaksanakan lakon
(ibadah yang dapat
dilaksanakan oleh jasad) dan
pitukon (amal jariah,
zakat, infaq dan sejenisnya) untuk
tujuan mendekat kepada-Nya (berjuang, berkorban dan
berbakti dalam memenuhi taatnya
kepada guru) dengan
ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya. Rasa
hati yang tulus
ikhlas karena Allâh
Swt., dengan Allah Swt., di jalan
Allah Swt., Untuk Allah
Swt., sehingga dia “tidak merasa” bahwa dirinya berkorban
dan berbakti.[10]
c.
Dzikir Thariqah Syathariyah
Tujuh Macam Dzikir Thariqah
Syattariyah
1.
Thawaf
Mengucap
kalimah : (لا إله إلا الله 3x) Dilakukan pada diri (jagad) pribadi. Caranya
memutar kepala, mulai
dari bahu kiri.
Alat penunjuknya adalah dagu
(simbol Pena-Nya Allah
Swt. dengan tinta Nur Muhammad).
Dengan dagu tersebut
lalu menggaris dada (mulai
dari bahu kiri)
menuju bahu kanan,
berpusat pada pusar, membentuk
Lam Alif dengan
mengucap kalimah “La ilaha” (dzikir pertama), dengan
menahan nafas.
Setelah sampai
pada bahu yang
kanan lalu menarik
nafas, baru mengucapkan (dzikir kedua) yaitu kalimah itsbat
‘Illallah’ yang
dipukulkan (oleh dagu)
tersebut ke dalam
hati sanubari yang letaknya
kira-kira dua jari di bawah payudara kiri.
Bahu kanan
sebagai tempat menarik
nafas ketika hendak mengucap kalimah
nafi “illallah” adalah
simbolnya “maqam firaq”.
Simbol pisahnya yang hak dan yang batal. Simbol nafinya dzat, sifat
dan af’alnya hamba
supaya dapat membuktikan bahwa satu-satunya
yang wujud dan
yang ada adalah
yang diitsbatkan (ditetapkan) dalam hati. Yaitu Diri-Nya Ilahi
al-Ghaib yang hanya dapat diketahui dari guru wasithah yang berhak
dan sah menunjuki.
Maksud dan
kandungan makna dari
dzikir mukaddimah (dzikir pertama
dan kedua), yang
bertempat pada bahu
kiri (tempat mulai thawaf)
dan bahu kanan
(tempat menarik nafas) adalah
simbol hamba yang
mempunyai keberanian dengan tekad,
mantab, meski betapapun
berat resiko yang
harus ditanggung guna memenuhi amanat ilahi.
Jadi sebagai simbol
keberanian memikul amanah
dari Allah Swt. yaitu:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ
“Sembahlah Tuhanmu hingga datang yaqin (mati)”[11]
Ayat tersebut
mengandung makna supaya
menyembah Tuhan yang asma’nya
Allah dengan kesungguhan
berjihad anNafsi supaya
dapat lulus dalam mengikuti
watak dan jejak
para malaikatul muqarrabin, rela
sepenuh hati sujud (memperlakukan diri
bagai mayit yang
patuh dan taat
di hadapan yang berhak
dan sah mensucikannya) hingga
akan ditarik fadhal dan
rahmat-Nya dapat seyakinnya
merasakan kehadiran yang disembah itu.
Ketika
menjelajahi jagat (menjalani kehidupan dunia sebatas umur masing-masing
sebagai ujian dan
cobaan ini) supaya dapat lurus harus berani menahan
nafas, karena menahan nafas merupakan
lambang sesuatu yang
amat sangat penting.
Agar dapat menjadi hamba-Nya
Ratu Adil, karena
dapat dimengertikan
bagaimana cara mengadili
diri sendiri supaya hidupnya tidak
ditipu daya, apalagi
hingga sampai diperintah dan dijajah oleh hawa nafsu. Lalu
menjadi hamba yang hurriyah tammah.
Menjadi hamba yang
rasa jiwanya merdeka
sejati. Menjadi hamba cahaya-Nya
Ilahi di muka
bumi. Dijadikan olehNya dapat mengaktualisasikan fitrahnya
jati diri.
Karena itulah
ketika melakukan dzikir
istbat (Illallah), dagu dipukulkan ke arah hati sanubari supaya
markas besarnya nafsu lawwamah ini tidak berfungsi (dapat dikendalikan).
2.
Nafi Itsbat
Kalimah Nafi
Istbat (kalimah Thoyyibah)
yaitu “La Ilaha Illallah” (dilafalkan secukupnya).
Dzikir ini
dilakukan sebanyak mungkin
dengan menghidupkan
angan-angan, bahwa semua
hal tentang dunia dan
apa saja termasuk
jiwa raganya, nafi,
tidak ada. Dibarengi dengan hati
mengintai-intai Diri-Nya Ilahi.
Dan apabila masih selalu
merasakan ada terhadap apa saja (dan ternyata memang demikianlah yang
terjadi), maka segeralah menyadari atas salah dan dosanya
sendiri. Masih banyaknya
lakon dan pitukon
yang belum dijalani. Masih
banyak sekali keteledoran
dan masih sangat kurang kesungguhannya
dalam ber-jihad al-nafs.
Dengan
demikian jiwa dan taubat nasuha-nya
terus menghidupi diri. Itulah sebabnya
warga Syathariyah apabila
melakukan dzikir nafi istbat
suara yang dikeraskan
adalah suara nafi-nya. Sebab begitu
mengucap “ill” (yang
lengkapnya Illallah) suara seperti dimasukkan ke dalam yang
mempunyai asma’ Allah Swt.
3.
Itsbat Faqad
Dzikir ini
berupa lafal “illallah” (diucapkan
sebanyak 7x). dipukulkan kedalam
hati nurani dengan
alat pemukul dagu. Bermaksud mempertegas
bahwa hanya diri-Nya
lah Dzat yang Wujud
dan yang Ada.
Sehingga hati yang
menjadi markas besarnya nafsu
lawwamah ini benar-benar
diam. Tidak akan mengganggu perjalanan
dan cita-cita hati nurani,
ruh dan rasa dalam tujuan mendekat sehingga sampai
ma’rifat kepada-Nya. [12]
4.
Ismu Dzat
Dzikir Ism
Dzat yaitu “Allah” (diucapkan
sebanyak 7x) Arah yang
dipukul oleh dagu
tepat pada tengah-tengah
dada. Mengarah pada ruh
yang keberadaannya di
dalam hati nurani. Supaya benar-benar
disadari dan dipahami
bahwa ruh yang menandai
adanya hidup dan
kehidupan dengan keluar masuknya nafas
dalam dada, lalu
karena itu wujud
jiwa raga mempunyai daya
dan kekuatan, ini
semua adalah min
ruhihi.
Daya dan
kekuatan Allah Swt.,
sama sekali bukan
daya dan kekuatan nafsu
yang terbiasa telah
diaku oleh wataknya nafsu. Sebab
bila demikian diterus-teruskan sama
saja dengan telah berani menjadi
hamba yang menyekutukan Tuhannya.
5.
Dzikir Taraki
Dzikir Taraki
yaitu “Allah huwa”
(dibaca Alla huw)
dibaca sebanyak 7x atau
ganjil. Ucapan Allah
diambil dari dalam
dada, dan “huw” dimasukkan
ke dalam Baitul
Makmur (markasnya berpikir).
Maksudnya supaya markas besarnya berpikir ini selalu dicahayai oleh
cahaya Ilahi, sehinga
potensi pikir akan
benar-benar dapat digunakan
untuk memecahkan masalah-masalah dunia.
Bagi mengelola
garapan dunia yang
oleh Allah dicipta tidak
sia-sia dan tidak
batal ini, namun
karena markas berpikir selalu diterangi
oleh cahaya-Nya, sama
sekali tidak akan ditujukan untuk
mengumpulkan harta benda dunia,
bersenang-senang, mengumbar hawa
nafsu dan syahwat.
Berbangga-bangga dan bermegah-megah dengan
kehidupan dunia. Tetapi semata-mata demi untuk Subhaanaka. Demi untuk mensucikan Dzat yang
Maha Suci. Oleh
karena itu, hasil
kerja kerasnya semata-mata dijadikan
sebagai pancatan yang
kokoh, guna mensucikan diri
supaya dapat sampai
selamat dan bahagia bertemu kembali dengan Dzat yang Maha
suci.
6.
Dzikir Tanazul
Dzikir ini
berupa lafad “Huw
Allah” (sebanyak 7x). “Huw”
diambil dari baitul
makmur (otak), dan
kalimah Allah dimasukkan ke dalam
dada. Sebab akhirat itu pintu masukknya ada di
dalam dada. Al-taqwa
haahuna (tiga kali)
sebagaimana sabda Nabi Muhammad
Saw., yang dituding
beliau adalah dadanya. Sehingga
akan senantiasa berkesadaran tinggi sebagai insan Cahaya
Ilahi, bahwa hidup
dan kehidupan dunia
dengan segala kewajiban hamba
yang dilakukannya adalah
merupakan proses nyata terhadap
kandungan makna “inna
lillaahi wa inna ilaihi rajiuun” [13]
7.
Dzikir Ismu Ghaib
Dzikir Isim
Ghaib yaitu “Huwa”
(dibaca huw dengan
mulut tertutup, secukupnya) Dengan
mata terpejam dan
mulut dikatupkan. Yang
diarahkan tepat pada tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa
yang telah diisi
dengan dzikir (ingatnya
hati nurani pada alGhaib,
isinya Huw).
Dzikir huw
ini asalnya dari
ha’ wawu di
dhammah. Yaitu dhamir huwa.
Dhamir yang maknanya
adalah “sesuatu yang tersimpan di dalam hati tentang ada dan
wujud diri-Nya Dzat alGhaib yang Allah
Asma’-Nya. Dan ini
adalah makna kandungan firman Allah Swt. dalam surat
al-Ikhlas:[14]
ö@è% uqèd
ª!$#
îymr&
IV. SIMPULAN
Thariqah Syathariyah
adalah thariqah yang
dinisbatkan kepada syaikh
Abdullah al-Syaththar (w.890
H./1485 M.) letaknya di India.
Kemudian dibawa ke Makkah dan Madinah oleh Shibghatullah ibn Rullah (wafat
1606) dan juga seorang khalifahnya yang bernama Ahmad al-Qusyasyi (1583-1661). Setelah
Ahmad al-Qusyasyi meninggal kemudian kepemimpinan di Madinah digantikan oleh Ibrahim al-Kurani. Dan salah satu murid beliau adalah Abdul
Rauf Singkel yang
kemudian berhasil mengembangkan Syathariyah di
Indonesia.
Ajaran Thariqah
Syathariyah meliputi talqin, bai’at, dan dzikir. Penjelasannya bisa dibaca
diatas. Satu thariqah dengan thariqah lain memiliki berbeda-beda cara ritualnya
(tentang talqin, bai’at, metode dzikirnya, mauun dalam jumlah hitungan
dzikirnya), namun pada intinya adalah sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan kalimat dzikirnya Allah atau La ilaha illa Allah.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat. Makalah
ini sangatlah jauh dari kata sempurna, oleh karenanya, kami mohon masukan
kritik dan saran dari semua pihak untuk memperkaya materi, memperdalam
pemahaman dan juga perbaikan untuk makalah selanjutnya. Terakhir, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan ilmu bagi semua pihak. Terima
kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Darno, Studi Kasus Tarekat Syathariyah
Di kecamatan Karangrejo Kaputen Tulungagung Propinsi Jawa Timur, Semarang
: Balai Penelitian Aliran Kerohanian / Keagamaan Semarang, 1995
Kertosono, Munawir dan Sholeh Badruddin, Sabilus Salikin : Jalan Para
Salik Ensiklopedi Thariqah/Tashawwuf, Pasuruan : Pondok Pesantren Ngalah,
2012
Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah Di
Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2005, cet.2
Syam, Nur, Tarekat Petani : Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal, Yogyakarta
: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013
No comments:
Post a Comment