RIYADHAH
AN-NAFS (PENEMPATAN DIRI)
Rasulullah SAW. Bersabda, “Kita
kembali dari Jihad palig kecil menuju Jihad paling besar.”
Yang dimaksud Jihad paling besar
yaitu Jihad melawan hawa nafsu. Dan ketahuilah bahwa jiwa memiliki kotoran yang
harus dibersihkan. Dengan cara itu, sampailah pada kebahagiaan abadi dan
kedekatan kepada Allah Swt.
Tasawuf adalah pembersih hati, dan
sumber tasawuf adalah ‘inda al-akhlaq wa al-adab, dari pekerti dan tata
karma. Kemudian yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengatur diri kita
sendiri.
Ø Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk
Manusia bisa dilihat dua hal yakni akhlak yang baik (husn
al-khuluq) dan rupa yang baik (husn al-khalaq). Yakni, bathin yang
baik adalah penguasaan sifat-sifat terpuji terhadap sifat-sifat tercela dan
lahir yang baik adalah berkaitan dengan keindahan fisik.
Mengenai keutamaan akhlak yang baik, Rasululullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya
akhlak yang baik melelehkan kesalahan sebagaimana matahari melelehkan es.”
Kesempurnaan akhlak yang baik terdapat dalam diri Rasulullah SAW.
Beliau menginginkan umatnya mempunyai akhlak yang baik pula dan akhlak itu
dapat diubah dengan tindakan serta sering melakukannya sehingga menjadi
kebiasaan. Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Baguskanlah akhlak kamu” dan
dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Kebaikan adalah kebiasaan”.
Imam Ghozali mengatakan, “Barangsiapa yang pada asal fitrahnya
tidak ada, misalnya kedermawaan, maka biasakanlah hal itu walaupun dengan
memaksakan diri.” Mengobati penyakit hati adalah dengan cara melakukan
kebalikannya hingga tercapai tujuan. Maka kelanggengan dalam beribadah dan
mengingkari syahwat akan membaguskan rupa bathin dan diperoleh keridhaan Allah
Swt.
Dan tanda-tanda akhlak yang baik adalah
1.
Keimanan/kepercayaan
kepada Allah sudah tinggi, seperti tertuang dalam QS. Al-Anfal : 2, Al-Mu’minun
: 1-10, dll.
2.
Orang-orang
yang berperilaku baik dimuka bumi salah satunya dengan rendah hati, ini
terdapat dalam QS. Al-Furqon : 63.
3.
Sudah
mencapai maqom Allah bersamaku, Allah melihatku, dan Allah adalah saksiku.
Ø Mengobati Jiwa dengan mengenal Aib diri
Rasulullah Saw, bersabda, “Apabila Allah menghendaki suatu
kebaikan pada hamba, maka Dia menampakkan padanya aib-aib dirinya.”
Telah diketahui mengobati penyakit hati adalah dengan mempertemukan
sesuatu dengan lawannya. Akan tetapi, hal itu berbeda untuk setiap individu,
karena watak itu berbeda-beda. Oleh karena itu cara mengetahui aib diri dan
cara memperbaikinya adalah sbb:
1.
Mencari Guru yang benar-benar guru
Yaitu duduk
dihadapan salah seorang guru dan menyibukkan diri dengan apa yang
diperintahkannya. Maka ketika itu kadang-kadang tersingkap olehnya aib-aibnya
dan kadang-kadang pula gurunya yang menyingkapkannya kepadanya. Hal ini adalah
cara yang terbaik dan paling utama.
2.
Mencari
sahabat yang saleh dan mengetahui segala rahasia masalah ini
Maka bersahabatlah
dengannya dan menjadikannya pengawas terhadap dirinya agar mengamati ihwal
dirinya dan mengingatkannya atas aibnya.
3.
Dengarkan
perkataan orang hasad
Janganlah menghalangi
orang hasad mencari aib-aibmu dan menambahinya. Maka ambillah faedah darinya,
dan celalah dirimu pada setiap aib yang dituduhkan kepadamu.
Ø Sifat cita-cita
Ketahuilah bahwa barang siapa yang menginginkan ladang akhirat,
maka tandanya adalah menjauhi ladang dunia. Dan yang menjadi penghalang
tercapainya maksud adalah tidak adanya suluk, yang menghalangi suluk adalah
tidak adanya kemauan, dan yang menghalangi kemauan adalah tidak adanya
keimanan.
Barang siapa yang menyadari dari dirinya sendiri atau orang lain,
baginya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu : mengangkat tabir dan
penghalang serta meninggalkan/menjauhinya dari hal-hal negatif menuju positif,
yaitu ada empat : harta, pangkat, taklid, kemaksiatan.
Jika sudah melakukan empat hal tadi, maka ia menjadi seperti orang
yang telah berwudlu, bersih dari hadats kecil maupun besar, dan hendak bersiap-siap
untuk sholat. Dan ketika itu, ia harus mempunyai guru suluk yang memberikan
jalan akhirat bagi dirinya sehingga ia mendapat petunjuk. Ia harus patuh dan
taat dengan semua yang diperintahkan oleh gurunya seperti keadaan mayit
dihadapan orang yang sedang memandikannya.
Di dalam hal itu, ini mengingatkan kisah Musa a.s. dengan Khidhir
a.s. Ketika itu, ia diperintah dengan empat hal, yaitu menyendiri, diam, lapar,
dan tidak tidur di malam hari. Jika sudah melakukan semua itu niscaya akan
dekat dengan Allah, dan sampailah dengan inti hati. Hal yang dapat menyebabkan
kelembutan hati yang menjadi kunci penyingkapan (mukasyafah).
Metode selanjutnya adalah dengan diiringi oleh Dzikir. Dzikir lisan
dan dzikir hati, itu dilakukan dalam seluruh ihwal. Selama ia mengetahui
keberadaan dirinya, maka hendaklah ia berdzikir, ini tertuang dalam QS.
Al-An’am : 91. Dan jika was-was dan pikiran jelek menguasai, maka jalan yang
tepat adalah kembali pada dzikir, ini tertuang dalam QS. Al-A’raf : 200-201.
Lazimkan dzikir sepanjang hidup. Mudah-mudahan Allah
menganugerahkan untuk menjad pemuka agama yang tersingkap baginya segala
hakikat. Amin.
Referensi : Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumiddin : Ringkasan yang
ditulis sendiri oleh sang Hujjatul Islam, diterjemah oleh Irwan Kurniawan
dari “Mukhtasar Ihya’ Ulumiddin”, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2008), cet, 1,
hlm.222 - 234
No comments:
Post a Comment