IHSAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tafsir Ayat-ayat Sufistik
Dosen Pengampu : Dr. Hasyim Muhammad, M.Ag
Di susun oleh :
LUKMAN
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Islam dikenal dengan 3 pilar pokok,
berbeda-beda tapi satu kesatuan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, ketiga
hal itu yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Hubungan iman, islam, dan ihsan bagaikan
segitiga sama sisi. Hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lainnya
sangat erat. Jadi orang yang taqwa ibarat segitiga sama sisi, yang sisi-sisinya
adalah iman, islam, dan ihsan. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk jika ketiga
sisinya tidak saling mengait.
Ihsan yaitu
kebaikan atau kesempurnaan. Allah dan RasulNya berkali-kali memerintahkan untuk
berbuat ihsan/kebaikan kepada diri kita, kepada orang lain, dan juga kepada
alam sekitar. Dari sini bisa disimpulkan bahwa ihsan memiliki keutamaan yang
sangat luar biasa, kita selalu diperintahkan dalam rangka mewujudkan
keharmonisan diantara yang lain agar terciptanya kesejahteraan, keamanan dan
kedamaian, ini semua adalah bentuk dari kasih sayang Allah dan RasulNya kepada
manusia. Maka dari itu bagi orang yang berilmu ataupun orang sufi selalu
mengejar-ngejar ihsan dalam rangka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Untuk lebih lanjutnya mengenai ihsan, selahkan
simak dimakalah ini, sedikit yang bisa disampaikan dan yang terpenting bisa
bermanfaat bagi kita semua.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Ayat apa yang mendasari tentang Ihsan, Munasabah ayat, dan bagaimana
pandangan ahli tafsir?
2. Apa hakikat ihsan?
3. Apa saja macam-macam
Ihsan itu?
4. Bagaimana pembagian
derajat ihsan menurut Ibnu Qayyim?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. 1. Ayat yang mendasari
QS. An-Nahl : 90
*
¨bÎ)
©!$#
ããBù't
ÉAôyèø9$$Î/
Ç`»|¡ômM}$#ur
Ç!$tGÎ)ur
Ï
4n1öà)ø9$#
4sS÷Ztur
Ç`tã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìx6YßJø9$#ur
ÄÓøöt7ø9$#ur
4
öNä3ÝàÏèt
öNà6¯=yès9
crã©.xs?
ÇÒÉÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
2. Munasabah Ayat
QS. Al-Qashash : 77
Æ÷tGö/$#ur
!$yJÏù
9t?#uä
ª!$#
u#¤$!$#
notÅzFy$#
(
wur
[Ys?
y7t7ÅÁtR
ÆÏB
$u÷R9$#
(
`Å¡ômr&ur
!$yJ2
z`|¡ômr&
ª!$#
øs9Î)
(
wur
Æ÷ö7s?
y$|¡xÿø9$#
Îû
ÇÚöF{$#
(
¨bÎ)
©!$#
w
=Ïtä
tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
ÇÐÐÈ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
QS. An-Nisa’ : 36
*
(#rßç6ôã$#ur
©!$#
wur
(#qä.Îô³è@
¾ÏmÎ/
$\«øx©
(
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur
$YZ»|¡ômÎ)
ÉÎ/ur
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
Í$pgø:$#ur
Ï
4n1öà)ø9$#
Í$pgø:$#ur
É=ãYàfø9$#
É=Ïm$¢Á9$#ur
É=/Zyfø9$$Î/
Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
$tBur
ôMs3n=tB
öNä3ãZ»yJ÷r&
3
¨bÎ)
©!$#
w
=Ïtä
`tB
tb%2
Zw$tFøèC
#·qãsù
ÇÌÏÈ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”
QS. Al-Isra’ : 7
÷bÎ)
óOçFY|¡ômr&
óOçFY|¡ômr&
ö/ä3Å¡àÿRL{
(
÷bÎ)ur
öNè?ù'yr&
$ygn=sù
4
#sÎ*sù
uä!%y`
ßôãur
ÍotÅzFy$#
(#qä«ÿ½Ý¡uÏ9
öNà6ydqã_ãr
(#qè=äzôuÏ9ur
yÉfó¡yJø9$#
$yJ2
çnqè=yzy
tA¨rr&
;o§tB
(#rçÉi9tFãÏ9ur
$tB
(#öqn=tã
#·Î6÷Ks?
ÇÐÈ
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,
dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan
orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam
mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk
membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.”
3. Pandangan Ahli Tafsir
Ø M. Quraish Shihab
QS.
An-Nahl : 90
Ayat ini dinilai oleh para pakar sebagai ayat
yang paling sempurna dalam penjelasan segala aspek kebaikan dan keburukan.
Karena dari segi isinya memuat untuk berlaku adil dan berbuat ihsan, pemberian
kepada kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, kemunkaran, dan penganiayaan.
Dan diakhir ayat ini Allah memberi pengajaran kepada manusia agar dapat selalu
ingat.
Al-Ihsan maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam
dari kandungan makna “adil” karena adil adalah “memperlakukan orang lain sama
dengan perlakuannya terhadap anda”, sedang ihsan adalah “memperlakukannya lebih
baik dari perlakuannya terhadap anda”. Adil adalah mengambil semua hak anda dan
atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsan adalah memberi lebih banyak
daripada yang harus anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya
anda ambil.
Kata ihsan, menurut al-Harrali sebagaimana
dikutip al-Biqa’I, adalah puncak kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba, sifat
perilaku ini tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain
sehingga dia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya;
sedang ihsan antara hamba dan Allah adalah leburnya dirinya sehingga dia hanya
“melihat” Allah swt. Karena itu pula ihsan antara hamba dan sesama manusia
adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya dan hanya melihat orang lain itu.
Siapa yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat
dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka dia itulah yang dinamai muhsin, dan ketika itu dia telah
mencapai puncak dalam segala amalnya.
Hakikat makna di atas sejalan dangan penjelasan
Rasul SAW., kepada Malaikat Jibril as. ketika beliau ditanya olehnya dalam
rangka mengajar kaum muslimin. Rasul SAW., menjelaskan bahwa ihsan adalah “Menyembah Allah seakan-akan engkau
melihatNya dan bila engkau tidak melihatNya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu.”
Dengan demikian, perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktivitas
positif seakan-akan Anda melihat Allah atau, paling tidak, selalu merasa
dilihat dan diawasi olehNya. Kesadaran akan pengawasan melekat itu menjadikan
sesoerang selalu ingin berbuat sebaik mungkin dan memperlakukan pihak lain
lebih baik dari perlakuannya terhadap anda, bukan sekedar memperlakukan orang
lain sama dengan perlakuannya terhadap anda.[1]
QS.
Al-Qashash : 77
Ini terjadi pada zamannya Nabi Musa as. dan
Qorun. Dikisahkan bahwa ada beberapa orang dari kaum Nabi Musa as. itu
melanjutkan nasihatnya kepada Qarun bahwa nasihat ini bukan berarti engkau
hanya boleh beribadah murni dan melarangmu memerhatikan dunia. Tidak! Berusahalah
sekuat tenaga dan pikiranmu dalam batas yang dibenarkan Allah untuk memeroleh
harta dan hiasan duniawi dan carilah secara
bersungguh-sungguh pada, yakni,
melalui apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat, dengan menginfakkan dan menggunakannya sesuai
petunjuk Allah dan dalam saat yang
sama janganlah melupakan, yakni mengabaikan, bagianmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak, sebagaimana atau disebabkan karena Allah
telah berbuat baik kepadamu dengan aneka nikmatNya, dan janganlah engkau berbuat kerusakan dalam bentuk apapun di
bagian mana pun di bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para
perbuatan kerusakan.
Kata ahsin
terambil dari kata hasan yang berarti
baik. Kata yang digunakan ayat ini berbentuk perintah dan membutuhkan objek.
Namun, objeknya tidak disebut sehingga ia mencakup segala sesuatu yang dapat
disentuh oleh kebaikan, bermula terhadap lingkungan, harta benda,
tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, baik orang lain maupun diri sendiri. Bahkan
terhadap musuh pun dalam batas-batas yang dibenarkan. Rasul Saw., bersabda “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas
segala sesuatu.” (HR. Muslim, dan lain-lain melalui Syaddad Ibn Aus).[2]
Ø Ibnu Katsir
QS.
An-Nisa’ : 36
Allah SWT., memerintahkan hamba-hamba-Nya,
hendaklah hanya menyembah kepadaNya, Dia Yang Maha Esa, tiada bersekutu,
pencipta, pemberi rizqi, pemberi karunia kepada hamba-hambaNya pada segala
waktu dan keadaan, maka Dialah yang patut disembah dan tidak dipersekutukan
sesuatu kepadaNya.
Dan kemudian Allah menyuruh orang berbakti dan
berbuat baik terhadap kedua orang tua, karena Allah menjadikan mereka jalan
bagi keluarganya dari alam ghaib kea lam dunia.
Selanjutnya memerintahkan berbuat baik terhadap karib kerabat, kepada
anak-anak yatim yang telah kehilangan orang yang memberi nafkah serta
mengurus/memenuhi kebutuhan mereka, maka kepada mereka hendaklah dituangkan
simpati dan rasa kasih sayang yang khusus. Juga kepada orang-orang miskin yang
butuh yang tidak dapat memenuhi hajat hidup mereka, hendaklah diberi sokongan
untuk mencukupi kebutuhan mereka dan meringankan kesengsaraannya.[3]
Ø Sayyid Qutb
QS.
An-Nisa’ : 36
Ayat ini dimulai dengan perintah beribadah
kepada Allah dan larangan mempersekutukanNya dengan apapun. Islam adalah manhaj (jalan yang terang dan
lurus) yang meliputi seluruh aktivitas baik dari segi akhirat dan juga dari
dunia, dan menghubungkan antara sisi-sisinya dan mengaitkan semuanya pada
prinsip dasarnya, yaitu tauhidullah
(MegEsakan Allah) dan menyembahnya.
Selanjutnya, perintah beribadah kepada Allah
dan larangan berbuat syirik ini diiringi dengan perintah berbuat baik kepada
sesama manusia. Ayat ini Allah memberi arahan untuk berbuat baik dan berbakti
ini dimulai dengan berbuat baik dan berbakti kepada kerabat Khusus ataupun
umum. Kemudian mengembang dan meluas areanya hingga kepada keluarga kemanusiaan
besar. Rasa cinta dan kasih sayang serta rasa kebersamaan tercipta dalam
hubungan keluarga dan di dalam masyarakat, mengasihi yang lain dan membatu
orang yang sedang memerlukan bantuan. [4]
B. Hakikat Ihsan
Secara bahasa Ihsan berasal dari kata حَسُنَ yang artinya adalah berbuat baik,
sedangkan bentuk masdarnya adalah اِحْسَانْ, yang artinya kebaikan. Kata ihsan (berbuat baik) ini merupakan
kebalikan dari kata isa’ah (berbuat buruk). Jadi ihsan adalah tindakan
seseorang untuk melakukan yang makruf dan menahan diri dari dosa. Ia
mendermakan kemakrufan kepada hamba-hamba Allah SWT. baik melalui hartanya,
kemuliaanya, ilmunya, maupun raganya.[5]
Sedangkan Ihsan
menurut Istilah adalah yg disabdakan oleh Baginda Rasulullah yaitu:
أَنْ
تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
“Ihsan adalah engkau
mengabdi(beribadah) kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau
tak melihatNya, ketahuilah bahwa Dia itu melihatmu” (Muttafaq Alaih)
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa
menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita
sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak
mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk
menduduki posisi terhormat dimata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh
perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu
hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Ihsan juga bisa
diartikan sebagai bentuk berbakti dan mengabdikan diri kepada Allah swt. Dengan
dilandasi kesadaran dan keikhlasan. Berbakti kepada Allah yakni berbuat sesuatu
yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri, sesama manusia, maupun untuk makhluk
lain. Semua perbuatan itu dilakukan semata-mata karena Allah swt, seolah-olah
orang yang melakukan perbuatan itu sedang berhadapan dengan Allah.[6]
C. Macam-macam ihsan
Esensi ihsan adalah kebaikan, jadi banyak
sekali macamnya yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk berbuat ihsan
diantaranya sbb :
Berkaitan dengan harta, maka ia akan berinfak,
bersedekah, dan berzakat. Namun jenis ihsan yang paling utama dalam hal ini
zakat, karena zakat merupakan salah satu dari rukun islam dan salah satu
bangunan Islam yang pokok, bahkan keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa
zakat.
Melalui ilmunya, ia bias mendermakan ilmunya
kepada hamba-hamba Allah. Ini bias dilakukan dengan cara melakukan pengajaran (ta’lim) di halaqah-halaqah dan
majelis-majelis ta’lim, baik yang bersifat umum ataupun khusus.
Tentang berbuat ihsan kepada sesama manusia
melalui melalui raga adalah seperti yang disabdakan oleh Nabi, “Engkau bantu seseorang untuk naik ke atas
hewan tunggangannya, atau menaikkan barang-barangnya ke atas tunggangannya adalah
sedekah.” (HR. Bukhari)[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan ihsan bila
dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah yaitu seperti yang disabdakan oleh
Baginda Rasulullah SAW. beliau menjelaskan bahwa ihsan itu memiliki dua
tingkatan yang satu sama lain berbeda. Tingkatan yang paling tinggi adalah
beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Itu adalah suatu kedudukan
hadir diri dan hadir hati seakan-akan Allah terlihat langsung ketika seorang
hamba tengah memenuhi tuntutan syahadat dengan hatinya. Dia menyinari hati
dengan keimanan dan menembus bashirah
(mata hati) sehingga yang ghoib seolah-olah jelas terlihat. Pada tingkatan
inilah hakikat insan berada.
Tingkatan
kedua berada dalam dudukan muroqabah (pengawasan). Ketika seorang hamba tengah
beramal, dia dituntut untuk menyaksikan Allah, memandang, dan mendekatkan dirinya
kepada Allah semata. Maka, jika seorang hamba sudah mampu mengahadirkan diri
dan hatinya di dalam setiap perbuatannya, berarti dia telah ikhlas kepada
Allah. Sikap seperti itu mampu menghindarkan sikap berpaling kepada selain
Allah. Tercapai atau luputnya tujuan mencapai dua kedudukan tersebut bergantung
pada tembusnya bashirah pelaku itu sendiri.[8]
Lihat juga pemaparan M. Quraish Shihab mengenai hal ini pada halaman 4 yang
bertanda .
Dari paparan diatas bisa disimpulkan bahwa
ihsan terdiri dari empat macam yaitu :
1.
Ihsan terhadap
Allah, yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
2.
Ihsan terhadap
diri sendiri, yakni mengerjakan segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi
diri sndiri dan menghindari semua perbuatan yang mendatangkan kecelakaan atau
kerugian kepada diri sendiri
3.
Ihsan terhadap
sesama manusia, yakni berbuat baik kepada saudara, tetangga, kerabat, maupun
seagama
4.
Ihsan terhadap
makhluk lain (alam lingkungan), yakni berbuat baik atau memelihara alam
lingkungan agar tetap lestari dan tidak punah.
D.
Derajat Ihsan
Menurut Ibnu Qayyim derajat Ihsan
itu ada tiga, yaitu:
1. Ihsan dalam
tujuan, dengan mengarahkannya dari sisi ilmu, menguatkannya dari sisi hasrat,
dan membersihkannya dari sisi keadaan. Dengan kata lain, ihsan dalam
tujuan ini dilakukan dengan tiga cara:
è Mengarahkannya dari sisi ilmu, yaitu
menjadikannya mengikuti ilmu dan keharusan-keharusannya serta terbebas dari
hal-hal keduniaan, sehingga tidak ada tujuan kecuali yang diperbolehkan ilmu.
Yang dimaksudkan mengikuti ilmu di sini ialah mengikuti perintah dan ketentuan
syariat.
è Menguatkannya dari sisi hasrat, atau
menyertai tujuan dengan hasrat yang bisa memberikan dorongan, sehingga tidak ada
kelemahan atau keloyoan.
è Membersihkannya dari sisi keadaan.
Artinya, keadaan pelakunya harus bersih dari noda dan kotoran, yang menunjukkan
tujuannya yang kotor. Karena keadaan menunjukkan tujuan. Jika keadaannya bersih,
berarti tujuannya juga bersih.
2. Ihsan
dalam berbagai keadaan, yaitu menutupinya dari segala sisi, dan
membenahinya dalam kenyataan.
Menutupi
keadaan dari segala sisi artinya menutupinya agar tidak diketahui manusia
menurut kesanggupan, tidak memperlihatkannya kecuali ada alasan atau kebutuhan
atau kemaslahatan yang jelas. Memperlihatkan keadaan kepada orang tanpa ada
alasan-alasan ini, bisa mengakibatkan dampak yang kurang baik. Misalnya riya’,
ujub, sombong, terkesan berlebihan dan sombong dimata orang lain, apalagi jika
mereka maling, perampok dan pecemburu bisa membahayakan diri dan hartanya.
Membenahi
keadaan dalam kenyataan artinya berusaha membenahi dan meluruskan keadaan. Karena
keadaan itu bisa dicampuri yang haq dan yang batil. Sementara tidak ada yang
bisa membedakan antara yang haq dan batil ini kecuali orang yang memiliki ilmu
dan ma'rifat.
3. Ihsan dlm
waktu, yaitu engkau tdk menghilangkan waktu yg ada, tidak menghadirkan
seseorang dalam hasrat dan menjadikan hijrahmu hanya kepada Allah semata.
Tidak
menghilangkan waktu yang ada artinya tidak menyia-nyiakannya.
Tidak
menghadirkan seseorang dalam hasrat (keinginan) artinya tidak menggantungkan
hasrat kepada seseorang selain Allah, karena yang seperti ini termasuk syirik
dalam pandangan orang yang berjalan kepada Allah.
Siapa
pun yang berjalan kepada Allah secara lurus dan ikhlas, maka dia adalah orang
yang berhijrah kepada-Nya. Dia tidak boleh terlewatkan dari hijrah ini, dia
harus bergabung hingga dapat bersua Allah.
Allah
mempunyai dua hak hijrah atas setiap hati, dan sekaligus ini merupakan
kewajiban, yaitu:
·
Hijrah
kepada Allah dengan tauhid dan ikhlas, kepasrahan dan cinta, rasa takut,
harapan dan ubudiyah.
·
Hijrah
kepada Rasul-Nya, dengan cara patuh, tunduk dan taat kepada beliau, pasrah
kepada hukum beliau, menerima hukum yang zhahir maupun yang batin.
Siapa
yang hatinya tidak memiliki dua macam hijrah ini, maka hendaklah dia menaburkan
debu ke kepalanya, agar dia sadar, lalu meneliti kembali imannya sejak awal,
kembali ke belakang untuk mencari cahaya, sebelum ada penghalang antara dirinya
dan iman itu.[9]
Menurut
Syekh Nawawi, Sebuah amal dikatakan hasan cukup jika diniati ikhlas karena
Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan. Kesempurnaan ihsan meliputi
2 keadaan :
ü Maqom Muraqabah yaitu senantiasa merasa
diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya.
ü Maqom Musyahadah yaitu senantiasa
memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan
sifat-sifat tersebut.[10]
BAB
III
SIMPULAN
Dari paparan diatas bisa disimpulkan
bahwa ihsan secara bahasa berasal dari kata حَسُنَ yang artinya adalah berbuat baik,
sedangkan bentuk masdarnya adalah اِحْسَانْ, yang artinya kebaikan. Sedangkan ihsan menurut istilah seperti yang
disabdakan Nabi bahwa ihsan adalah “Ihsan adalah engkau mengabdi(beribadah)
kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau tak melihatNya,
ketahuilah bahwa Dia itu melihatmu” (Muttafaq Alaih)
Dan
ayat yang mendasari tentang Ihsan adalah QS. An-Nahl : 77
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Macam-macam
ihsan adalah Ihsan terhadap Allah, Ihsan terhadap diri
sendiri, Ihsan terhadap sesama manusia, dan Ihsan terhadap makhluk lain (alam
lingkungan). Dan pembagian derajat ihsan menurut Ibnu Qoyyim adalah ihsan dalam
tujuan, ihsan dalam berbagai keadaan, dan ihsan dalam waktu.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat saya uraikan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah
dan kekurangan adalah bagian dari saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat dan menambah
referensi pengetahuan kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati : 2012) Vo. 6, cet. V
Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta :
Lentera Hati : 2012) Vo. 9, cet. V
Katsir, Ibnu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier jilid II, penerjemah H. Salim
Bahreisy dan H. Said Bahreisy
(Surabaya : PT Bina Ilmu
: 1990) cet. 1
Qutbh, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 4,
penerjemah As’ad Yasin, Abdul Aziz, dkk (Jakarta : Gema Insani Press : 2001)
Al-Utsaimin, Syaikh
Muhammad bin Shalih, Syarah Tsalatsatul
Ushul (Mengenal Allah, Rasul & Dinul Islam), penerjemah Hawin Murtadlo
dan Salafuddin Abu Sayyid, (Solo : Al-Qowaw : 2012), cet. XI
Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam jilid I
Akidah, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1988)
Al Hakami, Syekh
Hafizh Ahmad, A’laam Assunnah Al
Mansyuurah Li I’tiqad Ath Thaaifah An Najiyah Al Manshuurah (benarkah aqidah
ahlussunnah wal jamaah), penerjemah Abu Fahmi dan Ibnu Marjan, (Jakarta :
Gema Insani Pers : 1994)
Al-Jauziyah, Ibnu
Qayyim, Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah) Penjabaran Kongkrit ''Iyyaka
Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in", diterjemah oleh Kathur Suhardi,
(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar : 1999) cet. 2
Ringkasan Syarah
Arba’in An-Nawawi – Syekh Shalih Alu Syaikh Hafizdohulloh - Http:/muslim.or.id,
bisa dilihat juga di software HaditsWeb.
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera
Hati : 2012) Vo. 6, cet. V, hlm. 697-700
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera
Hati : 2012) Vo. 9, cet. V, hlm. 697-700
[3] Ibnu
Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsier jilid II, penerjemah H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy
(Surabaya
: PT Bina Ilmu : 1990) cet. 1, hlm. 394-396
[4] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 4,
penerjemah As’ad Yasin, Abdul Aziz, dkk (Jakarta : Gema Insani Press : 2001)
hlm. 250-254.
[5] Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, Syarah Tsalatsatul
Ushul (Mengenal Allah, Rasul & Dinul Islam), penerjemah Hawin Murtadlo
dan Salafuddin Abu Sayyid, (Solo : Al-Qowaw : 2012), cet. XI, hlm. 211
[8] Syekh Hafizh Ahmad Al
Hakami, A’laam Assunnah Al Mansyuurah Li
I’tiqad Ath Thaaifah An Najiyah Al Manshuurah (benarkah aqidah ahlussunnah wal
jamaah), penerjemah Abu Fahmi dan Ibnu Marjan, (Jakarta : Gema Insani Pers
: 1994) hlm. 244-245
[9] Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah) Penjabaran
Kongkrit ''Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in", diterjemah oleh Kathur
Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar : 1999) cet. 2, hlm. 387 -
389
[10] Ringkasan
Syarah Arba’in An-Nawawi – Syekh Shalih Alu Syaikh Hafizdohulloh -
Http:/muslim.or.id, bisa dilihat juga di software HaditsWeb
No comments:
Post a Comment