PEMIKIRAN SUFI ABAD V : AL-QUSYAIRI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Perkembangan Tasawuf
Dosen Pengampu : Hj. Arikhah, M.Ag
Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM (124411026)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada hakikatnya tasawuf merupakan
pengalaman pribadi seseorang hamba dengan Tuhannya, sehingga masing-masing
individu memiliki kecenderungan dan pengalaman spiritual yang berbeda-beda
sesuai dengan level tasawufnya. Oleh karenanya, wajar apabila setiap ulama sufi
dalam menjelaskan arti sufi atau definisi tasawuf sesuai konteks pemikiran dan
pengalaman keberagamaannya, berdasarkan intuisi masing-masing individu berbeda
satu dengan lainnya.
Telah banyak tokoh-tokoh sufi yang
telah kita ketahui salah satunya adalah Al-Qusayri. Di sini penulis akan
memberikan biografi singkat tokoh sufi Al-Qusayri, dengan bahasa yang mudah
difahami. Pada saat ini telah muncul anggapan-anggapan manusia tentang sufi yang
salah dalam mengartikan arti dari sufi itu sendiri, maka dari itu disini
penulis juga akan menjelaskan sedikit tentang pemikiran dari tokoh sufi
Al-Qusayri, supaya manusia tersebut mengetahui arti sebenarnya bagaimana
pemikiran tokoh sufi yaitu Al-Qusayri.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan tasawuf di abad V?
2.
Bagaimanakah
biografi al-Qusyairi?
3.
Bagaimana
pemikiran al-Qusyairi dalam karyanya “al-Risalah”?
4.
Apa
saja karya-karya al-Qusyairi?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf di abad V
Tasawuf pada abad V hijriah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini
ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf “semi falsafi” dengan
tasawuf “sunni”. Tasawuf “sunni” memenangkan pertarungan, dan
berkembang sedemikian rupa. Sedangkan tasawuf “semi falsafi” tenggelam,
dan akan muncul pada abad VI Hijriah dalam bentuk yang lain. Kemenangan “tasawuf
sunni” ini dikarenakan menangnya teologi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah
yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 324 H), yang mengadakan kritik
pedas terhadap teori Abu Yazid al-Busthamy dan al-Hallaj, sebagaimana tertuang
dalam syathahiyat-nya (ungkapan-ungkpan yang ganjil) yang
dianggap bertentangan dengan kaidah dan akidah Islam. Oleh karena tasawuf pada
abad tersebut cenderung mengadakan pembaharuan, atau menurut Annemarie Schimmel
merupakan periode konsolidasi. Yakni periode yang ditandai pemantapan dan
pengembalian tasawuf ke landasannya, al-Qur’an dan al-Hadits. Tokoh-tokohnya
ialah al-Qusyairi (376 - 45 H), al-Harawi (196 H), dan al-Ghazali (450-505 H).
Al-Qusyairi mengkritik dua hal, yaitu syathahiyat yang
dikemukakan oleh sufi “semi filsafat” dan cara berpakaian mereka
menyerupai orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama
bertentangan dengan metode pakaiannya. Dia menekankan bahwa kesehatan bathin,
dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah, lebih penting daripada
pakaian lahiriah.
Al-Ghozali menilai negatif terhadap syathahiyat, karena
dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan kepada amal
lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan
kesatuan dengan Tuhan, tersingkapnya tirai, dan tersaksian Tuhan. Dan ini
membawa dampak negatif terhadap orang awam, lalu meninggalkan pekerjaannya,
lalu menyatakan ungkapan-ungkapan yang mirip dengannya. Kedua, keganjilan
ungkapan yang tidak dipahami maknanya, diucapkan dari hasil pikiran yang kacau,
hasil imaginasi tersendiri. Dengan demikian, al-Ghazali menolak sufi semi
falsafi, meskipun dia mau memaafkan al-Hallaj dan Yazid al-Busthami.
Ungkapan-ungkapan yang demikian itulah menjadikan orang-orang Nasrani keliru
dalam memandang Tuhannya seakan-akan Dia berada pada diri al-Masih.[1]
2.
Biografi
al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Karim ibn Hawazin ibn ‘Abd al-Malik
ibn Thalhah Al-Qusyairi dilahikan pada bulan Rabi’ al-Awwal 376 H. / 986 M. di
kota kecil Ustuwa, negeri yang searah dengan Naisabur, yang banyak terdapat
dusun-dusun tempat kelahiran cendekiawan dan ulama-ulama terkenal.[2]
Dari pihak ayahnya, Abul Qasim adalah keturunan Bani Qusyayr, salah
satu suku Arab yang tinggal di Khurasan sewaktu propinsi ini di bawah kekuasaan
kaum Muslim. Ibunya keturunan Bani Salam, yang juga adalah salah satu suku
Arab. Keluarga yang didalamnya al-Qusyairi dilahirkan tampaknya berkecukupan
dan terpelajar.
Paman al-Qusyairi dari pihak ibunya, Abu ‘Uqayl ‘Abd al-Rahman ibn
Muhammad, menguasai sejumlah desa di Ustawa. Dia adalah seorang pakar hadits
terkenal, dan salah seorang pengajar awal al-Qusyairi dalam disiplin ini. Beliau masa mudanya sudah menguasai bahasa
Arab dengan baik dalam waktu singkat, dan beliau belajar kecakapan berkuda dan
penggunaan senjata kepada Abul Qasim al-Yamani, kecakapan yang umumnya tidak
dinisbatkan kepada seorang guru-guru sufi. Pada suatu waktu al-Qusyairi
menyadari bahwa desa yang penguasaannya dilimpahkan oleh ayahnya kepadanya
dikenakan pajak yang semakin tinggi. Merasa berkewajiban mencegah terulangnya
tindakan-tindakan salah seperti itu, dia memutuskan pergi ke Nisyapur, mengkaji
akuntansi dan Aritmatika,dan bergabung dalam pengelolaan administrasi keuangan.
Tidak mengherankan bahwa al-Qusyairi, yang menguasai bahasa Arab
dengan baik, segera terpalingkan dari disiplin akuntansi kepada ilmu-ilmu
keislaman. Perubahan tersebut disebabkan oleh perjumpaannya dengan guru sufi
Abu ‘Ali al-Daqqaq, putra Junayd al-Baghdadi (w. 297 H/ 910 M). al-Qusyairi
menyatakan bahwa dia sangat mentakzimkan (Amat hormat dan sopan ) al-Daqqaq, sampai-sampai dia selalu
berpuasa dan melakukan ghusl (mandi bersuci) pada hari dia akan pergi
menumuinya. Sekalipun begitu, dai masih gemetar di hadaan al-Daqqaq. Atas
kepatuhannya ini, al-Daqqaq memberikan ganjaran dengan memilihnya sebagai
muridnya yang terkemuka dan mengawinkannya dengan anak perempuannya, Kadbanu
Fathimah.
Yang paling penting bagi al-Qusyairi adalah kajian hadits. Selama
hidupnya, al-Qusyairi mengkaji hadits bersama sedikitnya tujuh belas pakar
hadits, dan selanjutnya mengajarkan hadits kepada enam puluh murid. Dari
pengkajian hadits, al-Qusyairi mendapatkan bukan saja penguasaan atas sunnah
dan aplikasinya pada sufisme, tetapi juga metodologi yang ditempuhnya dalam
menulis al-Risalah, kumpulan hadits.
Al-Daqqaq mengirimkan al-Qusyairi untuk belajar kepada Abu Bakr
Muhammad ibn Bakr al-Thusi, mufti Nisyapur yang bermadzhab Syafi’i. Bersamanya,
al-Qusyairi mengkaji bukan saja hadits, tetapi juga fiqh madzhab Syafi’i, yang
kepadanya dia tetap mencurahkan perhatian sepanjang hidupnya. Dan kemudian bersama Abu Bakr Muhammad ibn Hasan ibn Furak (w.406 H/ 1015 M), dia
mengkaji baik hadits maupun teologi Asy’ari. Pendidikan formalnya dalam
sains-sains keagamaan tampaknya selesai di bawah bimbingan Abu Ishaq Isfara’ini
(w. 418 H/ 1027 M), seorang sarjana yang mengelola madrasahnya sendiri di
Nisyapur.[3]
Al-Daqqaq meninggal pada tahun 412 H/ 1021 M, dan al-Qusyairi
melanjutkan pelatihan sufinya bersama tokoh terkenal lain dari Nisyapur, Abu
‘Abd al-Rahman al-Sulami. Tetapi periode yang ditempuh di bawah bimbingannya
jelas singkat, lantaran Sulami meninggal di kemudian hari pada tahun yang sama,
dan al-Qusyairi tampaknya selalu menganggap dirinya sebagai murit Abu ‘Ali
al-Daqqaq.[4]
Pada tahun 432 H / 1040 M, saat mana al-Qusyairi sebagai seorang
sufi dan cendikiawan benar-benar masyhur, kota Nisyapur beralih dari kekuasaan
Dinasti Ghazwany kepada penerusnya, Dinasti Saljuk. Banyak masalah yang muncul
pada tahun 446 H/ 1054 M ketika al-Qusyairi menulis surat terbuka kepada para
ulama di dunia Muslim, yang mengeluhkan gangguan yang dialami oleh kaum
Asy’ari-Syafi’i (“Keluhan Ahli Sunnah (Kaum Sunni) berkenaan dengan penganiyaan
yang telah menimpa mereka”). Selanjutnya, al-Kunduri (perdana menteri)
memerintahkan agar al-Qusyairi dan tokoh-tokoh Nisyapur yang lain ditahan.
Sebagian dari mereka, termasuk teolog besar Asy’ari Imam al-Haramayn al-Juwayni
(w. 478 H/ 1087 M), berhasil melarikan diri dan pergi ke Makkah; al-Qusyairi
dipenjarakan di penjara Nisyapur. Pengaruhnya tidak berlangsung lama. Abu Sahl,
ra’is madzhab Syafi’i di Nisyapur, mengumpulkan kekuatan yang besar,
memporakporandakan penjara dan melepaskan al-Qusyairi. Dengan cara yang agak kurang bijak, Abu Sahl
menemui Tughril (pemimpin dinasti Saljuk) di Rayy, seraya berusaha membenarkan
tindakan-tindakannya. Dia dipenjarakan secara paksa atas perintah al-Kunduri.
Al-Qusyairi pergi ke Baghdad, tempat dia diterima dengan baik oleh Khalifah
‘Abbasiyah al-Qa’im bin Amrillah yang memintanya mengajarkan hadits di istana
dan oleh ulama di kota tersebut. [5]
Di bulan-bulan pertama tahun 465 H (1074 M) mulai terlihat
kemunduran kesehatannya, kelemahan sudah mulai mengalahkan kemampuannya. Walau
kondisi sudah demikian, ia masih tetap juga berusaha agar dapat tetap
mendirikan sholat dengan berdiri. Namun takdir bicara lain, karena usia yang
sudah lanjut dan kesehatan semakin menurun, maka sebelum terbit matahari
tanggal 16 Rabiul Akhir tahun 465 H/ 1074 M, ia kembali pada penciptanya. Ia
dimakamkan bersebelahan dengan syekh dan mertuanya, Abu Ali al-Daqqaq, yang
samapi saat ini makamnya tidak pernah sepi dari peziarah.[6]
Al-Qusyairi mempunyai enam orang putra : tiga orang dari Kadbanu Fathimah, yang
sendirinya adalah seorang wanita, yang memiliki reputasi kesarjanaan, dan tiga
orang dari isteri keduaanya, anak perempuan Ahmad ibn Muhammad al-Charkhi
al-Baladi. Beberapa dari putra-putranya ini menjadi sarjana-sarjana terkenal
dalam masing-masing disiplin mereka.
Maha guru syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan
para ulama terkenal, antara lain adalah syeikh Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf
al-Juwainy, salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, Syeikh Abu Bakr Ahmad
ibnul Husain al-baihaqy, seorang ulama pengarang besar, dan sejumlah besar
ulama-ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu. Dikisahkan diantara salah
satu dari sekian karamah Maha Guru syeikh al-Qushayri ini, antara lain memiliki
kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada syeikh selama 20 tahun.
Ketika syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan
hingga kuda itu pun mati.[7]
3.
Corak
pemikiraan al-Qusyairi “Risalah al-Qusyairi”
Pada abad V hijriyah yaitu abu al-Qasim Abdul al-Karim bin Hawazin
Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau lebih dikenal dengan al-Qusyari
(471 H.) al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.[8]
Kemasyhuran al-Qusyairi terletak terutama pada al-risalahnya yang
umumnya dikenal – barangkali lebih tepat – sebagai al-Risalah al-Qusyairiyah.
Karyanya ini terkadang diberi judul al-Risalah ila al-Shufiyah (Surat-surat
Kepada Para Sufi), karena sebagian besar buku ini dimaksudkan, paling tidak
secara formal, sebagai pesan al-Qusyairi kepada kaum sufi yang sezaman
dengannya. Seperti banyak sufi masa awal, al-Qusyairi terluapi kekecewaan yang
mendalam terhadap situasi masa itu yang benar-benar merosot. Muncul kelompok yang
berpikiran dangkal dan menipu, sembari menyerukan sufisme secara salah,
mengklaim telah mencapai tingkat-tingkat spiritual yang membebaskan diri mereka
dari kewajiban melaksanakan syari’at. Niat al-Qusyairi tidak lain adalah
menangkal pengaruh mereka dengan menyuguhkan tulisan akurat dan komprehensif
tentang kehidupan, ajaran dan praktik para tokoh awal dan yang paling
otoritatif, yang musti diteladani oleh kaum sufi bukan satu-satunya kelompok
pembaca yang dimaksud. Al-Qusyairi juga berikhtiyar mendemonstrasikan kepada
seluruh pembaca kelayakan syar’iy praktik-praktik sufi yang khas, seperti sama’
dan menunjukkan bahwa ajaran kaum sufi identik dengan ajaran Ahli Sunnah (Kaum
Sunni) (dalam formulasi Asy’ariyah).[9]
Sebenarnya kitab ini ditulis Qusyairi terhadap golongan orang-orang
Sufi dalam beberapa negara Islam dalam tahun 437 H, tetapi kemudian tersiar
luas ke seluruh tempat, karena isinya ditujukan mengadakan perbaikan mengenai
ajaran-ajaran Sufi, yang pada waktu itu telah banyak menyimpang dari sumber
Islam. Hal ini di singgung juga oleh al-Ghazali dalam kitabnya “Minhajul
Abidin” .[10]
Zaman telah
berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat
realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak banyak
lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah
kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin
menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan harga dari
kalbu. Betapa sedikit orang-orang yang berpegang teguh pada Agama. Banyak orang
yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan
sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan, mereka
merasa enteng pelaksanaan ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai
dalam medan kemabukan. Mereka jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak
peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan.
Pendapat
Al-qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya,
paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai
menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari
segi-segi moral dan tingkah laku.
Oleh karena
itu pula, Al-qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan
rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud
menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri
pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya sekedar
“pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.[11]
Dalam halaman-halaman awal al-risalah, al-Qusyairi menjelaskan
tujuan penulisan karyanya. Pada dua bab pertama, dia mendiskusikan ajaran kaum
sufi, memberikan tekanan khusus pada tauhid dan hubungan sifat-sifat Tuhan
dengan Zat Tuhan. Selanjutnya diikuti dengan bagian utama pertama buku itu :
uraian tentang 83 sufi masa lampau. Sesudah menguraikan secara ringkas
sufi-sufi tersebut dan karakteristik-kateristik ajaran mereka masing-masing,
al-Qusyairi menyuguhkan ucapan-ucapan pilihan sufi-sufi tersebut. Patut dicatat
bahwa sejumlah syaikh zaman sekarang disebutkan di berbagai tempat dalam
al-risalah, tetapi tak seorang pun, bahkan Abu ‘Ali al-Daqqaq, guru al-Qusyairi
sendiri, mempunyai bagian khusus membahas dirinya dalam uraian biografis dalam
karya itu. Al-Qusyairi kemungkinan besar ingin bersikap bijaksana berkenaan
dengan tokoh-tokoh yang masih hidup.
Selanjutnya buku itu menampilkan suatu bagian panjang tentang
terminologis sufisme, dengan masing-masing istilah dianalisis dalam
hubungannya, pertama-tama, dengan segi etimologis dan pemakaian umumnya, dan
selanjutnya penerapan khususnya pada sufisme. Bagian ini diikuti dengan
serangkaian bab yang membahas berbagai maqam dan keadaan yang dilintasi sang
sufi dalam perjalanan spiritualnya. Masing-masing dari bab-bab ini
diperkenalkan dengan kutipan-kutipan berupa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits,
yang selalu disertai isnad penuh, dan disusun berdasarkan urutan logis
diktum-diktum para otorita masa lalu. Akhirnya, al-Qusyairi membahas berbagai
aspek praktik sufi, termasuk teknik-teknik dalam menempuh perjalanan spiritual,
hubungan murid dengan syekh dan dengan sesama murid, bolehnya melakukan sama’,
makna kewalian (wilayah), signifikansi mimpi, dan, di atas semuanya, perlunya
melaksanakan syari’ah secara permanen dalam seluruh rinciannya.[12] Dan
dengan panjang lebar juga diuraikanannya tentang pengertian mujahadah, khalwat,
uzlah, muraqabah, sabar, syukur, khauf, raja’, dan sifat-sifat lain yang
diperlukan keterangannya agak mendalam oleh orang-orang suluk.
Memang kitab ini memperlihatkan perbedaannya dari kitab-kitab lai,
dari satu pihak karena pengupasannya bersifat ilmiyah, dan dari lain pihak
pengupasan itu didasarkan atas ucapan-ucapan dan pandangan-pandangan
bermacam-macam guru-guru thariqat yang sudah ternama.[13]
4.
Karya-karya
al-Qusyairi
Imam
Al-Qushayri dikenal sebagai seorang Ulama lebih dari satu disiplin ilmu. Di
atas semua disiplin ilmu, ia adalah seorang sufi besar, seorang pengarang
dalam bidang tasawuf dan ilmu-ilmu islam. Karena itu tidak aneh bila
karya-karyanya cukup banyak. Di sini akan disebutkan karya-karyanya menurut
abjad (arab) sebagai berikut :
1. Ahkamus
Syar’i.
2. Adabus Shufiyah.
3. Al-Arba’un
fil hadits (sebuah kitab hadist yang disajikan oleh Syeikh Al-Qushayri,
berjumlah 40 hadist Rasulullah SAW, dengan sanad yang muttasil dari gurunya
sendiri, Abu ali ad-Daqqaq).
4. Istifadhatul
Muradat.
5. Bulghatul
Maqashid fit-Tasawwuf.
6. At –Tahbir
fit-Tadzkir.
7. Tartibus
Suluk fi thariqillaahi Ta’ala: (merupakan suatu risalah).
8. At –Tauhidun
Nabawy.
9. At –Taisir
fi Ilmit Tafsir : (buku ini disebut At-Tafsirul Kabir yang merupakan buku
pertama yang disusun oleh Maha Guru. Buku itu diselesaikan tahun 410 H. Menurut
Ibnu Khalikan, tajuddin as-Subky dan Jalaludin as-Suyuthy sepakat bahwa tafsir
tersebut merupakan tafsir terbaik.
10. Al –Jawahir.
11. Hayatul
Arwah, wad-Dalil ila Thariqil Ishlah.
12. Diwan Syi’r.
13. Adz-Dzikr
wadz-Dzaakir.
14. Ar-
Risalatul Qusyairiyah fi Ilmit-Thasawwuf, yang ditulis pada tahun 438H.
15. Siratul
Masyayikh.
16. Syarhul
Asmaa’il Husna.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Karim ibn Hawazin ibn ‘Abd al-Malik
ibn Thalhah Al-Qusyairi dilahikan pada bulan Rabi’ al-Awwal 376 H. / 986 M. di
kota kecil Ustuwa, Iran Timur-Laut.
Guru-guru al-Qusyairi adalah yang pertama yaitu paman beliau
sendiri yaitu Abu ‘Uqayl ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad, Abul Qasim al-Yamani, Abu
‘Ali al-Daqqaq, Abu Bakr Muhammad ibn Bakr al-Thusi, Abu Bakr Muhammad ibn
Hasan ibn Furak, Abu Ishaq Isfara’ini, Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami.
Sebenarnya kitab ini ditulis Qusyairi terhadap golongan orang-orang
Sufi dalam beberapa negara Islam dalam tahun 437 H, tetapi kemudian tersiar
luas ke seluruh tempat, karena isinya ditujukan mengadakan perbaikan mengenai
ajaran-ajaran Sufi, yang pada waktu itu telah banyak menyimpang dari sumber
Islam. Hal ini di singgung juga oleh al-Ghazali dalam kitabnya “Minhajul
Abidin”.
Dalam halaman-halaman awal al-risalah, al-Qusyairi menjelaskan
tujuan penulisan karyanya. Pada dua bab pertama, dia mendiskusikan ajaran kaum
sufi, memberikan tekanan khusus pada tauhid dan hubungan sifat-sifat Tuhan
dengan Zat Tuhan. Dan dengan panjang lebar juga diuraikanannya tentang
pengertian mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, sabar, syukur, khauf, raja’,
dan sifat-sifat lain yang diperlukan keterangannya agak mendalam oleh
orang-orang suluk.
Karya-karya al-Qusyairi diantaranya adalah Ahkamus
Syar’i, Adabus Shufiyah, Al-Arba’un fil hadits, Istifadhatul Muradat, Bulghatul
Maqashid fit-Tasawwuf, At –Tahbir fit-Tadzkir, Tartibus Suluk fi thariqillaahi
Ta’ala: (merupakan suatu risalah), At –Tauhidun Nabawy, At –Taisir fi Ilmit
Tafsir, Al –Jawahir, Hayatul Arwah, wad-Dalil ila Thariqil Ishlah, Diwan Syi’r,
Adz-Dzikr wadz-Dzaakir, Ar- Risalatul Qusyairiyah fi Ilmit-Thasawwuf, yang
ditulis pada tahun 438H, Siratul Masyayikh, Syarhul Asmaa’il Husna, Syakayatu
Ahlis Sunnah maa Naalahum minal mihnah.
Saran
Demikianlah
makalah yang dapat saya uraikan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah
dan kekurangan adalah bagian dari saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Naisaburi, Imam Qusyairi, Allah Dimata Sufi : Penjelajahan
Spiritual Bersama Asma Al-Husna / Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi;
penerjemah, Sulaiman Al-Kumayi, (Jakarta : Atmaja : 2003), cet. 1
Syukur Amin, Masharudin, Intelektualisme
Tasawuf, (Semarang : LEMBKOTA : 2002), cet. 1
Abd al-Karim ibn Huwazin
al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri, penerjemah Ahsin Muhammad,
diterjemah dari Principles of Sufism, (Bandung : Pustaka : 1994), cet. 1
www.tokoh-sufi-al-qusayry.com,
diakses 19 September 2013.
Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf,
(Semarang : RaSail Media Group : 2010), cet.1
Hamka, Tasauf perkembangan dan
pemurnian, (Jakarta : PT. Pustaka Panjimas : 1994), cet. XIX
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah
Sufi & Tasawwuf (Solo : CV.Ramadhani : 1984), cet.2
[1] Amin Syukur,
Masharudin, Intelektualisme Tasawuf, (Semarang : LEMBKOTA : 2002), cet.
1, hlm. 25-28
[2] Imam Qusyairi
Al-Naisaburi, Allah Dimata Sufi : Penjelajahan Spiritual Bersama Asma
Al-Husna / Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi; penerjemah, Sulaiman Al-Kumayi,
(Jakarta : Atmaja : 2003), cet. 1, hlm. 15
[3] ‘Abd al-Karim
ibn Huwazin al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri, penerjemah Ahsin
Muhammad, diterjemah dari Principles of Sufism, (Bandung : Pustaka :
1994), cet. 1, bagian pendahuluan hlm. v – vii.
[4] Ibid,
Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, hlm. viii
[5] Ibid, ‘Abd
al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, hlm. ix – xi
[6] Op.Cit,
Imam Qusyairi Al-Naisaburi, hlm. 21
[8] Nasiruddin, Pendidikan
Tasawuf, (Semarang : RaSail Media Group : 2010), cet.1, hlm. 29, lihat juga
Hamka, Tasauf perkembangan dan pemurnian, (Jakarta : PT. Pustaka
Panjimas : 1994), cet. XIX, hlm. 89
[9] Op.Cit,
‘Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, hlm. xiv - xv
[10] Aboebakar
Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf (Solo : CV.Ramadhani :
1984), cet.2, hlm. 274
[13] Op.Cit,
Aboebakar Atjeh, hlm. 275
No comments:
Post a Comment