HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Wednesday, November 27, 2013

ZUHUD PADA ABAD I DAN II HIJRIAH

BAB I
PENDAHULUAN

I.                   Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangannya, ajaran kaum sufi dapat dibedakan dalam beberapa periode yaitu : abad pertama, abad kedua hijriah, abad ketiga dan keempat hijriah, abad kelima hijriah, dan seterusnya.
Secara global dapat dilihat bahwasannya ajaran kaum sufi pada abad pertama dan kedua bercorak akhlaqi, yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan raga dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dengan kata lain ajaran mereka mengajak kaum muslimin unutk hidup zuhud sebagaimana yang di ajarkan dan di praktekkan oleh Nabi dan para sahabat besar.
Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu fase asketisme (zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Berikut ini akan dibahas tentang gerakan zuhud pada abad I dan II serta sebab-sebab munculnya zuhud.

II.                RUMUSAN MASALAH
a.       Apa pengertian zuhud.?
b.      Bagaimana Faktor-faktor munculnya zuhud pada abad I Hijriah ?
c.       Bagaimana Faktor-faktor munculnya zuhud pada abad II Hijriah ?
d.      Bagaimana karakter zuhud pada abad I dan II.?




BAB II
PEMBAHASAN

a.      Pengertian Zuhud
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Zuhud secara etimologis berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkanya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[1]
Pada masa itu nama mereka terkenal dengan Nussaak, kata jamak dari Nasik. Artinya orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadat kepada Tuhan.
Zuhhaad, kata banyak dari Zahid. Zahid di ambil dari Zuhd. Artinya “tidak ingin”. Tidak “demam” kepada dunia, kemegahan, harta-benda dan pangkat.[2]
Sedangkan Zuhud secara terminologis adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, dimana dia tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[3]
Zuhud tidak bisa dipisahkan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya.


Dalam kaitan ini ‘Abd al-Hakim menjelaskan bahwa zuhud adalah :
“berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenanganya dengan semedi (khalwat). Berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak dzikir.”
Dunia dianggap sebagai hijab (penghalang) antara sufi dan Tuhan. Itulah sebabnya haru nasution mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sejalan dengan itu, Al-junaidi mengatakan bahwa zuhud ialah kosongnya tangan dari pemiliknya dan kosongnya hati dari pencarian (mencari sesuatu).
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) islam, dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana’ ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridaan Allah swt., bukan tujuan hidup. Dan disadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat-sifat mazmumah (tercela). Keaadan saperti ini telah dicontohkan oleh Nabi saw., dan para sahabatnya.
Disini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu al-Wafa al-Tafzani, zuhud ini bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan.[4]

b.      Faktor-faktor munculnya Zuhud pada Abad I Hijriyah
Kesejahteraan dan keamanan masyarakat Islam dalam abad ke-I Hijriyah ini berakhir dengan pembunuhan atas diri Usman bin Affan. Kekacauan mulai terjadi, baik dalam bidang kehidupan lahir maupun dalam bidang kerohanian. Pembunuhan atas diri Usman, oleh beberapa banyak sahabat-sahabat dan tabi’in dipandang sebagai suatu kejadian yang mencemaskan. Yang pertama kali Khalifah Rasulullah dibunuh secara sabar, di dekat rumah dan disamping keluarga.
Kejadian itu banyak menumpahkan air mata dan mengganggupikiran sahabat-sahabat Nabi, bahwa banyak sedikitnya ada hubungannya kejadian itu dengan kerusakan akhlak dan kurang meresapnya tauhid serta ajaran Islam. Ditambah lagi dengan kejadian-kejadian lain, perang Ali dengan Mu’awiyah, perang Jamal dan Shiffin, keadaan di Nahrawan, fitnah Ibn Zubair, siasat pemerintahan Bani Umayyah, hidup keduniaan dan ma’siat yang bangkit kembali di Makkah, Madinah, dan Jeddah, timbulnya kembali akhlak-akhlak yang keji, seperti pembalasan dendam, kekejaman, perzinaan, minuman keras, hidup ria dan takabur, tidak acuh kepada agama, dan lain-lain, menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada dan pemuka-pemuka Islam yang berfikir, berikhtiyar membangkitkan kembali ajaran-ajaran Islam. Dengan pimpinan mereka berduyun-duyunlah orang diajak kembali kepada ajaran Islam, pergi masuk masjid, kembali mendengarkan kisah-kisah mengenai targhib[5] dan tarhib[6], mengenai keindahan hidup zuhud,  hidup qana’ah, hidup wara’, hidup taqwa, diajak melakukan dzikir dan berdo’a, untuk menebalkan kembali kecintaan, mahabbah kepada Tuhan.[7]
Dalam abad I hijriyah muncul Hasan basri (w.110H) dengan ajaran khauf, mempertebal takut kepada Tuhan. Begitu juga tampilanya guru-guru yang lain yang dinamakan qari’, mengadakan gerakan memperbaharui hidup keharmonian dikalangan kaum Muslimin. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis-garis besar mengenai thariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disususn, dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan sudah mulai dianjurkan mengurangi makan (ju’), menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), mencela dunia (dzammu al-dunya) seperti harta dan kedudukan. Diberbagai daerah terdapat pemuka-pemuka agama, baik di irak, kufah, dan basrah, maupun syam, mempelajari cara-cara meresapkan unsur-unsur agama dalam kalangan hindu dan Kristen, untuk mereka jadikan suri tauladan dan memperbesar hasil dakwah islamiyah. Yang adakalanya sampai berlebih-lebihan. Dari I’tikaf menjadi khalwat, dari pakaian tenun kapas sampai kebaju tenun bulu domba, dan dari dzikir yang sederhana menjadi dzikir yang hiruk-pikuk. [8]
Hasan Al-Basri dapat menyaksikan peristiwa pemberontakan terhadap Usman ibn Affan dan beberapa kejadian politis sesudahnya yang terjadi di Madinah, yang memporak-porandakan umat Islam. Tanpa diketahui secara pasti motifnya, dia sekeluarga pindah ke Basrah.
Beberapa pergolakan politik umat Islam pada awal itu, menjadi motif munculnya pemikiran zuhud dan gerakan zuhud. Pada mulanya zuhud bermotifkan keagamaan semata, kemudian kemasukan beberapa unsur luar. Gerakan ini semakin intensif pada masa pemerintahan Bani Umayyah (41-132 H / 11-750 M). pendukungnya ialah ‘ulama, ahli hadits, termasuk Hasan al-Bisri. [9]
Tipe kezuhudannya ialah khauf dan raja’, dia selalu menangisi meratapi diri dan kaumnya, kehidupannya dirundung kesusahan selamanya, sehingga badannya kurus, sakit, dan merana dalam kehidupan. Karena kehidupannya yang demikian, maka ‘ulama Basrah mengatakan bahwa seakan-akan dia baru saja terkena musibah, sepanjang hidupnya dirundung kesusahan dan ketakutan seakan-akan neraka tidak diciptakan kecuali untuknya, bila duduk bagaikan tawanan perang, bila berbicara seakan-akan dia akan dimasukkan ke dalam api neraka. Dia selalu membicarakan sorga dan neraka, serta hidup zuhud dari dunia.[10]
c.       Faktor munculnya zuhud pada abad II Hijriah
Kemudian pada akhir abad I Hijriyah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah Adawiyah (w 185 H), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-Ilah).
Selanjutnya pada abad yang ke II Hijriyah, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan, meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini ialah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dan formalisme dalam melaksanakan syari’at agama (lebih bercorak fiqh) hal tersebut menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupan seperti itu yaitu tidak puas dengan hukum fiqh yang kering.[11] Sebagian ada yang lari kepada istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa, thaharatun nafsi, kemurnian hati, naqaul qalbi, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan tangan sendiri, berdiam diri, seperti yang dianjurkan oleh Ali Syaqiq Al-Balkhi, Ma’ruf Al-Karakhi (meninggal 200 H), menyedikitkan makan, memerangi hawa nafsu dengan khalwat, melakukan perjalanan dan safar, berpuasa, mengurangi tidur atau sahar, serta memperbanyak dzikir dan riyadhah, seperti acap kali dianjurkan oleh Ibrahim bin Adham (meninggal 162 H).
Selanjutnya memberikan arti yang istimewa kepada istilah-istilah yang sudah terdapat sebelumnya, seperti zuhud dalam pengertian meninggalkan dunia sama sekali, seperti yang digambarkan oleh Malik bin Dinar dalam syathah, ucapan-ucapan sufinya.[12] Konsep zuhud yang semula berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersih jiwa, pensucian hati dan pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan diri (al-riyadlah) sangat menonjol pada fase ini seperti nyepi (khalwah), bepergian (siyahah), puasa (al-shwm) dan menyedikitkan makan (qillah al-tha’am) bahkan sebagian dari mereka tinggal di gua-gua.
Tema sentral zuhud pada fase ini adalah tawakal dan ridla. Konsep tawakal dan ridla yang terdapat dalam al-Qur’an itu yang oleh para asketis[13] sebelumnya dalam arti etis berubah menjadi madzhab yang sangat ekstrim. Itulah pada fase ini banyak asketis melakukan perjalanan masuk kehutan dengan bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap karunia apa saja yang mereka terima.
Nampaknya kehidupan spiritual pada fase ini terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh luar. Cerita Malik ibn Dinar banyak diriwayatkan dari al-Masih, Taurat dan pendeta. Kehidupan Ibrahim ibn Adham menyerupai kehidupan Sidarta Gautama, seorang peletak agama budha. Adalah hal biasa bagi seorang abid kontak dengan para pendeta (rahib).[14] Mereka saling tukar pengalaman mengenai kabijaksanaan (al-hikmah, wisdom) dan cara-cara mujahadah. Itulah sebabnya fase abad kedua hijriyah ini terutama pasca Hasan al-Bashri dapat disebut sebagai fase transisi dari zuhud, yang puncaknya pada Hasan al-Bashri menuju tasawuf yang dimulai sejak Rabiah al-Adawiyah. Fase ini juga kadang disebut dengan fase kelompok para penangis (al-Bukka’un).[15]
Rabi’ah al-Adawiyah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (cinta ilahi), sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan ilahi).
Beliau memandang ajaran tentang “khauf” semata untuk menuju kepadaNya itu kurang relevan. Ibadahnya dengan rasa takut terhadab adzab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya. Melaikan beliau memandang untuk mencapai kepadaNya yaitu melalui perpaduan antara Khauf dan Mahabbah. Khauf disini bukan diartikan sebagai takut akan siksaNya, melaikan takut kehilanganNya dan senantiasa menggunakan cinta untuk menuju kepadaNya. Beliau memaknai zuhud yaitu kepada Tuhan karena Tuhan, bukan kepada Tuhan karena mengharap. Baginya soal surga atau neraka, adalah nomer dua, atau bukan soal sama sekali, sebab cinta itu sendiri sudahlah suatu nikmat yang paling lezat, tidak ada yang mengatasinya lagi. Cinta dibaginya atas dua tingkat. Pertama, cinta karena kerinduan. Dirindui sebab dia memang puncaknya segala keindahan, sehingga tidak ada lagi yang lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya, melaikan Tuhan, Allah, Rabbi! Naik setingkat lagi, yaitu keinginan dibukakan baginya hijab, selubung, yang membatas di antara dirinya dengan Dia. Itulah tujuannya, yaitu melihat Dia (Musyahadah).[16]

d.      Karakter zuhud pada abad I dan II
Abu al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II hijiriyah mempunyai karakter sebagai berikut :
1.         Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nash agama, yang dilatar belakangi sosio politik, coraknya bersifat sederhana, praktis (belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu) tujuanya untuk meningkatkan moral.

2.         Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah SWT, dan berlebih-lebihan dalam merasa dosa, tunduk mutlak kepada kehendak-Nya, dan berserah diri kepada-Nya. Dengan demikian tasawuf pada masa ini mengarah pada tujuan moral.

3.         Ciri lain ialah motif zuhudnya ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II hijriah, di tangan Rabi’ah Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadab adzab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya. Hal ini mencerminkan penyucian diri, dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.[17]



BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Secara etimologi Zuhud berasal dari bahasa Arab yaitu Zuhhaad, kata banyak dari Zahid. Zahid di ambil dari Zuhd. Artinya “tidak ingin”. Tidak “demam” kepada dunia, kemegahan, harta-benda dan pangkat.
Sedangkan Zuhud secara terminologis adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, yaitu meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniaan, yang bisa melupakannya terhadap kehidupan akhirat.
Pada abad I hijriah gerakan zuhud disebabkan oleh kekacauan politik,  merosotnya akhlak, dan lebih mementingkan kehidupan duniawi dari pada kehidupan akhirat. Tokoh yang terkenal dalam gerakan zuhud pada abad I ini adalah Hasan al-Basri dengan metode khauf dan raja’. Diingatkan kembali bahwa dunia bukan segalanya dan seharusnya takut akan siksaNya dan berharap masuk sorgaNya.
Selanjutnya pada abad II hijriah tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan, meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini ialah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dan formalisme dalam melaksanakan syari’at agama (lebih bercorak fiqh) hal tersebut menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupan seperti itu yaitu tidak puas dengan hukum fiqh yang kering. Dan muncullah istilah-istilah yang pelik.
Beliau memandang ajaran tentang “khauf” semata untuk menuju kepadaNya itu kurang relevan. Ibadahnya dengan rasa takut terhadab adzab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya. Melaikan beliau memandang untuk mencapai kepadaNya yaitu melalui perpaduan antara Khauf dan Mahabbah. Khauf disini bukan diartikan sebagai takut akan siksaNya, melaikan takut kehilanganNya dan senantiasa menggunakan cinta untuk menuju kepadaNya.

B.     SARAN
Demikianlah makalah yang dapat saya uraikan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.

DAFTAR PUSTAKA
Syukur Amin, Zuhud di Abad Modern, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar : 2004), cet. 4
Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : Pustaka Panjimas : 1994) cet. XIX
al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Penerbit pustaka : 1985)
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, (Solo : CV. Ramadhani : 1994), cet. 2
Syukur Amin, Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, (Semarang : LEMBKOTA : 2002) cet. 1
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : RaSAIL Media Group), cet.1



[1] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar : 2004), cet. 4, hlm. 1
[2] Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : Pustaka Panjimas : 1994) cet. XIX, hlm. 68
[3] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Penerbit pustaka : 1985), hlm. 54
[4] Op.Cit, Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, hlm. 3
[5] Ajakan
[6] Ancaman
[7] Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, (Solo : CV. Ramadhani : 1994), cet. 2, hlm. 55-56
[8] Amin Syukur, Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, (Semarang : LEMBKOTA : 2002) cet. 1, hlm. 19
[9] Op.Cit, Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, hlm. 65
[10] Ibid. Hlm. 68-69
[11] Op.Cit, Amin Syukur, Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 19-20
[12] Op.Cit, Aboebakar Atjeh, hlm. 57
[13] Asketis adalah orang yang berzuhud (zahid)
[14] Rahib adalah pelaku rahbaniyah kata dasarnya al-Rahbah yang berarti takut (khauf). Para rahib adalah orang-orang yang takut mengosongkan diri dari ksibukan dunia, meninggalkan kelezatanya dan memencilkan diri dari pemiliknya.
[15] Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : RaSAIL Media Group), cet.1, hlm. 25-26
[16] Op.Cit, Hamka, hlm. 75
[17] Op.Cit, Amin Syukur, Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 20-21

No comments:

Post a Comment