BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Dalam sejarah
perkembangannya, ajaran kaum sufi dapat dibedakan dalam beberapa periode yaitu
: abad pertama, abad kedua hijriah, abad ketiga dan keempat hijriah, abad
kelima hijriah, dan seterusnya.
Secara global dapat
dilihat bahwasannya ajaran kaum sufi pada abad pertama dan kedua bercorak
akhlaqi, yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan
raga dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dengan kata lain ajaran mereka mengajak
kaum muslimin unutk hidup zuhud sebagaimana yang di ajarkan dan di praktekkan
oleh Nabi dan para sahabat besar.
Pada abad pertama
dan kedua hijriah, yaitu fase asketisme (zuhud). Sikap ini banyak dipandang
sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu-individu
dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak
mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Berikut ini akan dibahas tentang
gerakan zuhud pada abad I dan II serta sebab-sebab munculnya zuhud.
II.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa pengertian
zuhud.?
b.
Bagaimana Faktor-faktor munculnya zuhud
pada abad I Hijriah ?
c.
Bagaimana
Faktor-faktor munculnya zuhud
pada abad II Hijriah ?
d.
Bagaimana
karakter zuhud pada abad I dan II.?
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian
Zuhud
Fase abad pertama
dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi
lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Zuhud secara etimologis berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkanya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia
untuk ibadah.[1]
Pada masa itu
nama mereka terkenal dengan Nussaak, kata jamak dari Nasik.
Artinya orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadat
kepada Tuhan.
Zuhhaad, kata banyak dari Zahid. Zahid di ambil dari Zuhd.
Artinya “tidak ingin”. Tidak “demam” kepada dunia, kemegahan, harta-benda dan
pangkat.[2]
Sedangkan Zuhud secara terminologis adalah hikmah pemahaman yang membuat
para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, dimana
dia tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak
menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari
Tuhannya.[3]
Zuhud tidak bisa
dipisahkan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.
Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara
manusia dengan tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu
stasiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya.
Dalam kaitan ini
‘Abd al-Hakim menjelaskan bahwa zuhud adalah :
“berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk
beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenanganya dengan semedi
(khalwat). Berkelana, puasa,
mengurangi makan, dan memperbanyak dzikir.”
Dunia dianggap
sebagai hijab (penghalang) antara sufi dan Tuhan. Itulah sebabnya haru nasution
mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sejalan dengan itu,
Al-junaidi mengatakan bahwa zuhud ialah kosongnya tangan dari pemiliknya dan
kosongnya hati dari pencarian (mencari sesuatu).
Kedua, zuhud sebagai moral
(akhlak) islam, dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan
oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana’ ini. Dunia dipandang sebagai
sarana ibadah dan untuk meraih keridaan Allah swt., bukan tujuan hidup. Dan
disadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat-sifat mazmumah (tercela).
Keaadan saperti ini telah dicontohkan oleh Nabi saw., dan para sahabatnya.
Disini zuhud
berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan
tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu
al-Wafa al-Tafzani, zuhud ini bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan
duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki
pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan
berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya
dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan.[4]
b.
Faktor-faktor munculnya
Zuhud pada Abad I Hijriyah
Kesejahteraan dan
keamanan masyarakat Islam dalam abad ke-I Hijriyah ini berakhir dengan
pembunuhan atas diri Usman bin Affan. Kekacauan mulai terjadi, baik dalam
bidang kehidupan lahir maupun dalam bidang kerohanian. Pembunuhan atas diri
Usman, oleh beberapa banyak sahabat-sahabat dan tabi’in dipandang sebagai suatu
kejadian yang mencemaskan. Yang pertama kali Khalifah Rasulullah dibunuh secara
sabar, di dekat rumah dan disamping keluarga.
Kejadian itu banyak
menumpahkan air mata dan mengganggupikiran sahabat-sahabat Nabi, bahwa banyak
sedikitnya ada hubungannya kejadian itu dengan kerusakan akhlak dan kurang
meresapnya tauhid serta ajaran Islam. Ditambah lagi dengan kejadian-kejadian
lain, perang Ali dengan Mu’awiyah, perang Jamal dan Shiffin, keadaan di
Nahrawan, fitnah Ibn Zubair, siasat pemerintahan Bani Umayyah, hidup keduniaan
dan ma’siat yang bangkit kembali di Makkah, Madinah, dan Jeddah, timbulnya
kembali akhlak-akhlak yang keji, seperti pembalasan dendam, kekejaman,
perzinaan, minuman keras, hidup ria dan takabur, tidak acuh kepada agama, dan
lain-lain, menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada dan pemuka-pemuka Islam
yang berfikir, berikhtiyar membangkitkan kembali ajaran-ajaran Islam. Dengan
pimpinan mereka berduyun-duyunlah orang diajak kembali kepada ajaran Islam,
pergi masuk masjid, kembali mendengarkan kisah-kisah mengenai targhib[5] dan tarhib[6], mengenai
keindahan hidup zuhud, hidup qana’ah,
hidup wara’, hidup taqwa, diajak melakukan dzikir dan berdo’a, untuk menebalkan
kembali kecintaan, mahabbah kepada Tuhan.[7]
Dalam abad I hijriyah muncul Hasan
basri (w.110H) dengan ajaran khauf, mempertebal takut kepada Tuhan. Begitu juga
tampilanya guru-guru yang lain yang dinamakan qari’, mengadakan gerakan
memperbaharui hidup keharmonian dikalangan kaum Muslimin. Sebenarnya bibit
tasawuf sudah ada sejak itu, garis-garis besar mengenai thariq atau jalan
beribadah sudah kelihatan disususn, dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan sudah
mulai dianjurkan mengurangi makan (ju’), menjauhkan diri dari keramaian duniawi
(zuhud), mencela dunia (dzammu al-dunya) seperti harta dan kedudukan.
Diberbagai daerah terdapat pemuka-pemuka agama, baik di irak, kufah, dan
basrah, maupun syam, mempelajari cara-cara meresapkan unsur-unsur agama dalam
kalangan hindu dan Kristen, untuk mereka jadikan suri tauladan dan memperbesar
hasil dakwah islamiyah. Yang adakalanya sampai berlebih-lebihan. Dari I’tikaf
menjadi khalwat, dari pakaian tenun kapas sampai kebaju tenun bulu domba, dan
dari dzikir yang sederhana menjadi dzikir yang hiruk-pikuk. [8]
Hasan Al-Basri dapat menyaksikan peristiwa pemberontakan terhadap Usman
ibn Affan dan beberapa kejadian politis sesudahnya yang terjadi di Madinah,
yang memporak-porandakan umat Islam. Tanpa diketahui secara pasti motifnya, dia
sekeluarga pindah ke Basrah.
Beberapa pergolakan politik umat Islam pada awal itu, menjadi motif
munculnya pemikiran zuhud dan gerakan zuhud. Pada mulanya zuhud bermotifkan keagamaan
semata, kemudian kemasukan beberapa unsur luar. Gerakan ini semakin intensif
pada masa pemerintahan Bani Umayyah (41-132 H / 11-750 M). pendukungnya ialah
‘ulama, ahli hadits, termasuk Hasan al-Bisri. [9]
Tipe kezuhudannya ialah khauf dan raja’, dia selalu menangisi meratapi
diri dan kaumnya, kehidupannya dirundung kesusahan selamanya, sehingga badannya
kurus, sakit, dan merana dalam kehidupan. Karena kehidupannya yang demikian,
maka ‘ulama Basrah mengatakan bahwa seakan-akan dia baru saja terkena musibah,
sepanjang hidupnya dirundung kesusahan dan ketakutan seakan-akan neraka tidak
diciptakan kecuali untuknya, bila duduk bagaikan tawanan perang, bila berbicara
seakan-akan dia akan dimasukkan ke dalam api neraka. Dia selalu membicarakan
sorga dan neraka, serta hidup zuhud dari dunia.[10]
c.
Faktor munculnya zuhud pada abad II
Hijriah
Kemudian pada akhir abad I Hijriyah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah
Adawiyah (w 185 H), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub
al-Ilah).
Selanjutnya pada abad yang ke II Hijriyah, tasawuf tidak banyak berbeda
dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan, meskipun penyebabnya
berbeda. Penyebab pada abad ini ialah adanya kenyataan pendangkalan ajaran
agama dan formalisme dalam melaksanakan syari’at agama (lebih bercorak fiqh)
hal tersebut menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupan seperti itu
yaitu tidak puas dengan hukum fiqh yang kering.[11]
Sebagian ada yang lari kepada istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan
jiwa, thaharatun nafsi, kemurnian hati, naqaul qalbi, hidup
ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan tangan sendiri,
berdiam diri, seperti yang dianjurkan oleh Ali Syaqiq Al-Balkhi, Ma’ruf
Al-Karakhi (meninggal 200 H), menyedikitkan makan, memerangi hawa nafsu dengan
khalwat, melakukan perjalanan dan safar, berpuasa, mengurangi tidur atau sahar,
serta memperbanyak dzikir dan riyadhah, seperti acap kali dianjurkan oleh
Ibrahim bin Adham (meninggal 162 H).
Selanjutnya memberikan arti yang istimewa kepada istilah-istilah yang
sudah terdapat sebelumnya, seperti zuhud dalam pengertian meninggalkan dunia
sama sekali, seperti yang digambarkan oleh Malik bin Dinar dalam syathah,
ucapan-ucapan sufinya.[12] Konsep zuhud yang semula berpaling dari
kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersih jiwa, pensucian hati
dan pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan diri
(al-riyadlah) sangat menonjol pada fase ini seperti nyepi (khalwah), bepergian
(siyahah), puasa (al-shwm) dan menyedikitkan makan (qillah al-tha’am) bahkan
sebagian dari mereka tinggal di gua-gua.
Tema sentral zuhud pada fase ini
adalah tawakal dan ridla. Konsep tawakal dan ridla yang terdapat dalam
al-Qur’an itu yang oleh para asketis[13]
sebelumnya dalam arti etis berubah menjadi madzhab yang sangat ekstrim. Itulah
pada fase ini banyak asketis melakukan perjalanan masuk kehutan dengan
bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap karunia apa saja yang
mereka terima.
Nampaknya kehidupan spiritual pada
fase ini terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh luar. Cerita Malik ibn Dinar banyak
diriwayatkan dari al-Masih, Taurat dan pendeta. Kehidupan Ibrahim ibn Adham
menyerupai kehidupan Sidarta Gautama, seorang peletak agama budha. Adalah hal
biasa bagi seorang abid kontak dengan para pendeta (rahib).[14]
Mereka saling tukar pengalaman mengenai kabijaksanaan (al-hikmah, wisdom) dan
cara-cara mujahadah. Itulah sebabnya fase abad kedua hijriyah ini terutama
pasca Hasan al-Bashri dapat disebut sebagai fase transisi dari zuhud, yang
puncaknya pada Hasan al-Bashri menuju tasawuf yang dimulai sejak Rabiah
al-Adawiyah. Fase ini juga kadang disebut dengan fase kelompok para penangis
(al-Bukka’un).[15]
Rabi’ah al-Adawiyah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran
Mahabbah (cinta ilahi), sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh
seorang salik (penempuh jalan ilahi).
Beliau memandang ajaran tentang “khauf” semata untuk menuju kepadaNya itu
kurang relevan. Ibadahnya dengan rasa
takut terhadab adzab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya. Melaikan beliau memandang untuk mencapai
kepadaNya yaitu melalui perpaduan antara Khauf dan Mahabbah. Khauf disini bukan
diartikan sebagai takut akan siksaNya, melaikan takut kehilanganNya dan
senantiasa menggunakan cinta untuk menuju kepadaNya. Beliau memaknai zuhud
yaitu kepada Tuhan karena Tuhan, bukan kepada Tuhan karena mengharap. Baginya
soal surga atau neraka, adalah nomer dua, atau bukan soal sama sekali, sebab
cinta itu sendiri sudahlah suatu nikmat yang paling lezat, tidak ada yang
mengatasinya lagi. Cinta dibaginya atas dua tingkat. Pertama, cinta karena
kerinduan. Dirindui sebab dia memang puncaknya segala keindahan, sehingga tidak
ada lagi yang lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya, melaikan
Tuhan, Allah, Rabbi! Naik setingkat lagi, yaitu keinginan dibukakan baginya
hijab, selubung, yang membatas di antara dirinya dengan Dia. Itulah tujuannya,
yaitu melihat Dia (Musyahadah).[16]
d.
Karakter zuhud pada abad I dan II
Abu al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud
islam pada abad I dan II hijiriyah mempunyai karakter sebagai berikut :
1.
Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nash agama,
yang dilatar belakangi sosio politik, coraknya bersifat sederhana, praktis
(belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu) tujuanya untuk
meningkatkan moral.
2.
Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk
menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan
kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan
mengingat Allah SWT, dan berlebih-lebihan dalam merasa dosa, tunduk mutlak
kepada kehendak-Nya, dan berserah diri kepada-Nya. Dengan demikian tasawuf pada masa ini mengarah
pada tujuan moral.
3.
Ciri lain ialah motif zuhudnya ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul
dari landasan keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II
hijriah, di tangan Rabi’ah Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari
rasa takut terhadab adzab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya. Hal ini mencerminkan penyucian diri, dan abstraksi dalam hubungan
antara manusia dengan Tuhan.[17]
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Secara etimologi Zuhud berasal dari bahasa Arab yaitu Zuhhaad, kata
banyak dari Zahid. Zahid di ambil dari Zuhd. Artinya “tidak ingin”. Tidak “demam”
kepada dunia, kemegahan, harta-benda dan pangkat.
Sedangkan Zuhud
secara terminologis adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya
mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, yaitu meninggalkan
hal-hal yang bersifat keduniaan, yang bisa melupakannya terhadap kehidupan
akhirat.
Pada abad I hijriah
gerakan zuhud disebabkan oleh kekacauan politik, merosotnya akhlak, dan lebih mementingkan
kehidupan duniawi dari pada kehidupan akhirat. Tokoh yang terkenal dalam
gerakan zuhud pada abad I ini adalah Hasan al-Basri dengan metode khauf dan
raja’. Diingatkan kembali bahwa dunia bukan segalanya dan seharusnya takut akan
siksaNya dan berharap masuk sorgaNya.
Selanjutnya pada
abad II hijriah tasawuf tidak banyak
berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan, meskipun
penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini ialah adanya kenyataan pendangkalan
ajaran agama dan formalisme dalam melaksanakan syari’at agama (lebih
bercorak fiqh) hal tersebut menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan
kehidupan seperti itu yaitu tidak puas dengan hukum fiqh yang kering. Dan
muncullah istilah-istilah yang pelik.
Beliau memandang ajaran tentang “khauf” semata untuk menuju kepadaNya itu
kurang relevan. Ibadahnya dengan rasa
takut terhadab adzab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya. Melaikan beliau memandang untuk mencapai
kepadaNya yaitu melalui perpaduan antara Khauf dan Mahabbah. Khauf disini bukan
diartikan sebagai takut akan siksaNya, melaikan takut kehilanganNya dan
senantiasa menggunakan cinta untuk menuju kepadaNya.
B. SARAN
Demikianlah
makalah yang dapat saya uraikan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah
dan kekurangan adalah bagian dari saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Syukur Amin,
Zuhud di Abad Modern, (Yogjakarta :
Pustaka Pelajar : 2004), cet. 4
Hamka,
Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya,
(Jakarta : Pustaka Panjimas : 1994) cet. XIX
al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung :
Penerbit pustaka : 1985)
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, (Solo : CV.
Ramadhani : 1994), cet. 2
Syukur Amin, Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, (Semarang :
LEMBKOTA : 2002) cet. 1
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : RaSAIL Media Group),
cet.1
[1] Amin Syukur, Zuhud di Abad
Modern, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar : 2004), cet. 4, hlm. 1
[2] Hamka, Tasauf Perkembangan
dan Pemurniannya, (Jakarta : Pustaka Panjimas : 1994) cet. XIX, hlm. 68
[3] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Penerbit pustaka : 1985), hlm.
54
[7] Aboebakar Atjeh, Pengantar
Sejarah Sufi dan Tasawwuf, (Solo : CV. Ramadhani : 1994), cet. 2, hlm.
55-56
[13] Asketis adalah orang yang berzuhud (zahid)
[14] Rahib adalah pelaku rahbaniyah kata dasarnya al-Rahbah
yang berarti takut (khauf). Para
rahib adalah orang-orang yang takut mengosongkan diri dari ksibukan dunia,
meninggalkan kelezatanya dan memencilkan diri dari pemiliknya.
No comments:
Post a Comment