HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Wednesday, November 27, 2013

FAQR

AL-FAQR

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tafsir Ayat-ayat Sufistik
Dosen Pengampu : Dr. Hasyim Muhammad, M.Ag





                                                                 

Di susun oleh :
LUKMAN HAKIM                 (124411026)
         
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan orang tidak bisa terlepas dari uang. Bayi dalam kandungan butuh biaya pemeriksaan dokter, atau setidaknya oleh dukun bayi. Orang berkeinginan masuk kuliah, butuh uang pangkal yang tidak sedikit. Sampai matipun pun perlu biaya. Untuk dapat hidup layak seseorang harus mempunyai kecukupan secara materi. Bagaimana kalau tidak punya apa-apa?
Fakir atau miskin adalah sebuah gambaran kondisi serba kekurangan dari kacamata ekonomi. Fakir atau miskin bagi kebanyakan orang adalah hal yang cukup menakutkan.
Faqr merupakan salah satu dari sekian cobaan hidup manusia. Namun dalam pandangan Al-Qur’an, ternyata ada saat-saat tertentu, bahkan setiap saat, kita dianjurkan mempunyai faqr, sebagai sebuah sikap butuh hidayah, rahmat dan pertolongan Allah Swt. kita butuh kehidupan kesehatan, kekayaan dan keberkahan rezeki, ampunan dari-Nya, dan lain-lain.

B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Ayat apa yang mendasari tentang Faqr, Munasabah ayat, dan pandangan ahli tafsir?
b.      Apa hakikat Faqr itu?
c.       Apa macam-macam Faqr?








BAB II
PEMBAHASAN

A.    1.   AYAT YANG MENDASARI
AL-FATHIR : 15
* $pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ÞOçFRr& âä!#ts)àÿø9$# n<Î) «!$# ( ª!$#ur uqèd ÓÍ_tóø9$# ßÏJysø9$# ÇÊÎÈ
“Hai manusia, kamulah yang faqir(Membutuhkan) kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
2.      MUNASABAH AYAT
ü  QS. AL-BAQARAH : 273
Ïä!#ts)àÿù=Ï9 šúïÏ%©!$# (#rãÅÁômé& Îû È@Î6y «!$# Ÿw šcqãèÏÜtGó¡tƒ $\/ö|Ê Îû ÄßöF{$# ÞOßgç7|¡øts ã@Ïd$yfø9$# uä!$uÏZøîr& šÆÏB É#ÿyè­G9$# Nßgèù̍÷ès? öNßg»yJŠÅ¡Î/ Ÿw šcqè=t«ó¡tƒ šZ$¨Y9$# $]ù$ysø9Î) 3 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz  cÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ íOŠÎ=tæ ÇËÐÌÈ
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.”
ü  AT-TAUBAH : 60
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
ü  Al-Baqarah : 271
bÎ) (#rßö6è? ÏM»s%y¢Á9$# $£JÏèÏZsù }Ïd ( bÎ)ur $ydqàÿ÷è? $ydqè?÷sè?ur uä!#ts)àÿø9$# uqßgsù ׎öyz öNà6©9 4 ãÏeÿs3ãƒur Nà6Ztã `ÏiB öNà6Ï?$t«Íhy 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÐÊÈ  
“Jika kamu Menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
3.      PANDANGAN AHLI TAFSIR
   M. Quraish Shihab
è QS. Al-Fathir : 15
Menurut M. Quraisy Shihab kata an-nas yang dimaksud ayat ini adalah kaum musyrikin, kendati semua manusia – muslim atau kafir – butuh kepada Allah SWT.
Ayat di atas menyebutkan terlebih dahulu kebutuhan manusia kepada Allah baru menegaskan bahwa Allah sama sekali tidak butuh kepada mereka. Ini untuk lebih menanamkan rasa kerendahan dalam diri manusia guna mencapai apa yang dikehendaki dari pertanyaan di atas. Kaum musyrikin boleh jadi menyadari kebutuhan mereka kepada tuhan, tetapi kesadaran akan kebutuhan tersebut tidak tercermin dalam sikap hidup mereka. Karena itu, ayat di atas menekankan hal tersebut, namun bukan dengan untuk menginformasikan kandungan ayat, tetapi untuk mengetuk telinga dan hati mereka sehingga kebutuhan kepada Yang Maha Kuasa itu menjelma dalam perilaku mereka.
Firman-Nya : antum al-fuqara mengandung makna pembatasan, yakni kamu saja yang benar-benar butuh kepada Allah. Pembatasan ini tentu saja tidak harus dipahami sebagai bermakna “selain kamu tidak butuh” karena semua makhluk membutuhkan Allah dalam wujud dan kesinambungan wujud-Nya, sedang Allah tidak membutuhkan apa pun karena wujud-Nya bersumber dari Zat-Nya sendiri.
Dapat juga dikatakan bahwa kebutuhan manusia kepada Allah sedemikian besar, jauh lebih besar dari pada kebutuhan makhluk-makhluk lainnya, sehingga seakan-akan hanya manusia yang butuh – apalagi kaum musyrikin yang bergelimang dosa, sedang selain mereka – karena kebutuhannya tidak sebanyak kebutuhan manusia, seakan-akan – sekali lagi seakan-akan – mereka dinilai tidak membutuhkan-Nya. Bahwa manusia memiliki kebutuhan yang banyak kepada Allah karena manusia memiliki banyak kebutuhan, apalagi karena potensinya mengantarnya mampu meraih pengetahuan yang luas dan ambisi yang besar.  Semakin maju satu masyarakat, semakin banyak pengetahuannya, semakin banyak pula kebutuhannya. Demikian manusia, berbeda dengan binatang. Itu semua dibarengi dengan aneka kelemahan sehingga kebutuhan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain yang tidak banyak tahu serta tidak memiliki ambisi dan imajinasi sebagaimana halnya manusia, menjadi berlipat ganda.[1]
   Ibnu Katsir
è QS. Al-Fathir : 15
Allah SWT. berfirman menafsirkan diri-Nya bahwa Dia Maha Kaya dan Maha Terpuji tidak membutuhkan dan memerlukan  sesuatu dari pada makhluk dan hamba-hambaNya dan bahwa manusialah yang butuh kepada-Nya dalam segala gerak dan tingkah lakunya. Dan sesungguhnya bila Allah berkehendak, Dia dapat memusnahkan umat manusia yang hidup ini dan menggatikannya dengan umat manusia atau dengan makhluk yang baru dan lain, hal yang demikian itu tidaklah sekali-kali sukar bagi-Nya atau hal yang mustahil terjadi.[2]
è Al-Baqarah : 273
Firman Allah, “Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah,” yakni kaum Muhajirin yang telah mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya serta menetap di Madinah. Mereka tidak memiliki mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan “mereka tidak dapat bepergian di mua bumi” untuk berusaha mencari penghidupan.
Firman Allah, “Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.” Yakni, orang yang tidak mengetahui persoalan dan keadaan mereka menduga bahwa mereka kaum kaya karena sikap ‘iffah-Nya dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan. Firman ini sejalan dengan hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah, dia berkata (442), “Rasulullah SAW., bersabda : “Yang disebut orang miskin bukanlah orang yang suka berkeliling untuk meminta-minta yang mau pergi setelah diberi satu atau dua biji kurma, satu atau dua suapan, dan satu atau dua cemilan. Namun, orang miskin ialah yang tidak memiliki apapun untuk memenuhi kebutuhannya, dan keadaanya itu tidak diketahui orang lain supaya dia menerima sedekah, serta tidak meminta-minta apa pun kepada orang lain.”[3]
   Sayyid Quthb
è QS. Al-Baqarah : 273
Sifat-sifat yang mengesankan ini terterapkan pada sejumlah kaum Muhajirin. Mereka telah meninggalkan harta dan keluarganya. Mereka bertempat tinggal di Madinah dan mewakafkan dirinya untuk berjihad di jalan Allah dan menjaga Rasulullah SAW., seperti Ahlush-Shuffah yang bertempat tinggal di masjid untuk menjaga rumah Rasulullah SAW., agar musuh tidak dapat meyatroninya. Mereka terikat oleh jihad di jalan Allah sehingga mereka tidak dapat bepergian di muka bumi untuk melakukan perdagangan dan usaha-usaha lainnya. Namun demikian, mereka tidak meminta sesuatu pun kepada orang lain. Mereka selalu berpenampilan bagus sehingga orang-orang yang tidak tahu mengira mereka itu orang kaya karena selalu menjaga diri dari menampakkan kebutuhannya. Tidak ada yang mengerti keadaan mereka yang sebenarnya kecuali orang yang memiliki firasat.
Akan tetapi, nash itu bersifat umum, berlaku bagi selain mereka juga pada semua masa. Berlaku bagi orang-orang terhormat yang miskin, yang karena kondisinya maka terpaksa mereka tidak dapat bekerja. Namun, karena kemuliannya, mereka tidak mau meminta sumbangan. Mereka berpenampilan bagus supaya tidak tampak kemiskinannya. Sehingga, orang yang tidak mengerti bagaimana keadaan mereka yang sebenarnya mengira mereka kaya, karena selalu menjaga harga dirinya. Akan tetapi, orang yang memiliki perasaan yang sensitif dan mata hati terbuka, dapat mengetahui apa yang ada di balik penampilan mereka kemas dengan rasa malu.
Ini adalah sebuah lukisan yang memiliki kesan amat dalam, yang digambarkan oleh nashh yang pendek ini, untuk menggambarkan sebuah percontohan yang mulia. Ini adalah sebuah lukisan yang lengkap, yang dilukis dengan rasa kemalu-maluan. Hampir setiap kalimatnya memiliki sentuhan yang lembut, melukiskan sifat-sifat dan tanda-tandanya, yang membangkitkan perasaan dan kesan mendalam. Sehingga, hampir-hampir belum sempurna seseorang yang membaca ayat ini sebelum tampak wajah-wajah dan pribadi-pribadi itu seakan-akan dia melihatnya. Begitulah metode Al-Qur’an di dalam melukiskan tentang manusia, hingga hampir terlintas setiap denyut kehidupan.
Itulah orang-orang fakir yang mulia, yang menyembunyikan kebutuhannya seakan-akan mereka sedang menutupi aurat. Karena itu, memberikan sesuatu kepada merekamesti dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dengan sangat halus sehingga tidak menodai keengganannya dan tidak melukai kehormatannya. Maka, ujung ayat ini mengisyaratkan agar sedekah kepada mereka itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan rahasia, karena pelakunya sudah merasa tenang dan percaya akan pengetahuan Allah terhadapnya dan balasan-Nya kepadanya,
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha Mengetahui.”
Hanya Allah sendirilah yang mengetahui segala rahasia, dan kebaikan di sisiNya tidak akan tersia-sia.
Akhirnya, dustur shadaqah ini ditutp dengan nash umum yang meliputi semua tingkatan infak dan semua waktunya, yang secara umum juga meliputi semua orang yang berinfak karena mencari keRidloan Allah.[4]

B.     HAKIKAT FAQR
Kata Faqr, mempunyai bentuk kata kerja faqura, secara etimologis dapat berarti jelek (radiáh), butuh, atau kesusahan (al-hamm), dan menjadi lawan kata dari istaghna (tidak membutuhkan). Sedangkan orangnya disebut faqir (orang yang sangat membutuhkan dan tidak mempunyai sesuatu yang mencukupi kebutuhannya),& mempunyai bentuk fuqara’.[5]
Kata fakir tidak hanya disebutkan di tiga tempat ini dalam AI-Qur'an. Kata ini juga disebutkan di beberapa tempat yang lain, yaitu dalam surat Al-Baqarah: 268, Ali Imran: 181, An-Nisa': 5; 135, Al-Hajj': 28, An-Nur: 32, Muhammad: 38, Al-Hasyr: 8.
Sebagaimana dalam maqamat yang lain, istilah Faqr juga memiliki interpretasi yang berbeda, sesuai dengan pengalaman spiritual masing-masing sufi.
Secara garis besar para ulama mengartikan kata Faqr dalam dua hal, yang pertama tentang kemiskinan dan yang kedua Faqr dimaknai kebutuhan.
Yang pertama tentang kemiskinan, ini berdasarkan QS. Al-Baqarah : 273, At-Taubah : 60, dan  Al-Baqarah : 271.
Dan sebagaimana yang dikemukakan oleh Yahya bin Mu'adh, yang menyatakan bahwa kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain Allah, dan tanda kefakiran adalah tidak adanya harta benda. [6]
Ibnu Khafif menyatakan, “Kemiskinan berarti tidak memiliki harta benda dan meninggalkan tuntunan akan sifat-sifat manusia.” Abu Hafs berkata, “Kemiskinan tidaklah sempurna bagi siapapun sampai dia lebih mengutamakan memberikan memberi daripada menerima. Kemurahan hati bukanlah orang yang punya memberi kepada yang tidak punya, melainkan orang yang tidak punya memberi kepada orang yang punya.”[7]
Kebanyakan para sufi justru memilih untuk hidup miskin, dan tidak memiliki harta benda, karena mereka menganggap bahwa harta benda tidak dapat membuat mereka merasakan kebahagiaan spiritual, justru malah menjauhkannya dari kebahagiaan yang didambakannya itu. Lebih dari itu, bagi mereka semakin banyak harta benda yang dimiliki akan semakin menyulitkan mereka di hari kiamat. Karena mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh apa yang dimilikinya di dunia di hadapan Allah SWT.
Bagi para sufi, antara kenikmatan yang berwujud harta benda serta lainnya dan kemiskinanan serta kesusahan adalah tidak ada bedanya. Karena seluruh apa yang dirasakan dan dimilikinya tidak lain adalah ujian yg diberikan oleh Allah didunia yg fana.
Dari berbagai ungkapan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya nilai kefakiran pada esensinya tidak terletak pada ketiadaan harta benda, namun ada pada kesadaran atau perasaan seseorang (state of mind). Di mana seorang yang faqr meskipun kaya harta namun hatinya tidak tergantung pada kekayaan yang dimilikinya. Harta benda tidak lebih merupakan materi yang diujikan oleh Allah, yang harus dipertanggungjawabkan keberadaannya di hadapan Allah. [8]
Pendapat yang kedua para ulama mengartikan faqr adalah sebagai bentuk butuh terhadap Allah. Ini berdasarkan QS. Al-Fathir : 15
Ketika Ruwaim ditanya tentang makna kefakiran ini, maka dia menjawab, "Meleburkan diri dalam hukum-hukum Allah."
Hakikat kefakiran ialah jika tidak ada sesuatu yang diperuntukkan bagi diri sendiri, tapi segala sesuatu bagi Allah. Jika engkau memperuntukkannya bagi dirimu sendiri, berarti itu merupakan kepemilikan dan kecukupan, yang berarti menajikan kefakiran.
Orang fakir yang hakiki ialah yang senantiasa mempunyai kebutuhan terhadap Allah dalam keadaan bagaimana pun, jika seorang hamba dalam setiap atom zhahir dan batinnya mempersaksikan kebutuhan secara mutlak kepada Allah.
Menurut Asy-Syibly, hakikat kefakiran ialah tidak membutuhkan sesuatu pun selain Allah.
Ini merupakan ungkapan yang paling pas tentang makna-makna kefakiran yang didefinisikan manusia. Dengan kata lain, orang yang fakir merasa bahwa semua adalah milik Allah, tidak ada yang menyisa bagi dirinya, bagiannya dan keinginannya. Jika dia merasa berhak atas segala sesuatu, berarti makna kefakirannya disangsikan.[9]
Sedangkan kata butuh terhadap Allah itu mempunyai 2 arti, yaitu : butuh secara mutlak (ihtiyaj muthlaq) dan butuh yang terbatas (ihtiya muqayyad).
Butuh secara muthlak (ihtiyaj muthlaq) adalah sebagaimana butuhnya seorang hamba kepada Dzat yang mewujudkannya setelah ditetapkannya, baik berupa petunjuk ataupun kekekalan setelah wujud dan lain-lain. Jenis butuh ini adalah butuh kepada Allah Swt. yang wajib hukumnya, sebagaimana tercantum dalam QS. Muhammad [47] : 38. Makna inilah yang disebut faqr muthlaq.
Sedangkan butuh terhadap harta benda, sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama fiqh dalam bab pendistribusian zakat, disebut faqr muqayyad (faqr yang terbatas).[10]
C.     Macam-macam Faqr
1.      Faqr terhadap Hidayah (petunjuk) Allah
Kita belajar apa pun pasti membutuhkan bimbingan dan arahan agar mendapat keberhasilan, begitu juga kita belajar agama (belajar dekat kepada Allah) pasti kita butuh bimbingan dan arahan yaitu melalui para Nabi dan Ulama serta memohon kepada yang kita dekati biar berhasil yaitu berdo.a kepada Allah.
Setelah kita belajar kita akan mendapat sesuatu, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dan terkadang kita sudah mengetahui kebenaran akan tetapi kita tidak bisa mengamalkannya maka dari itu kita harus memohon agar diberi kekuatan dan hidayah (petunjuk) untuk mengikuti kebenaran yang berada dalam Al-Qurán dan Al-Hadits.
2.      Faqr terhadap Rahmat Allah.
Rasululah SAW. Bersabda :
“Seseorang di antara kalian tidak akan bisa masuk surga karena amalnya. Sahabat bertanya, “Apakah engkau juga tidak bisa masuk surga karena amalmu?” Nabi menjawab: “Saya pun tidak bisa, kecuali Allah mencurahkan rahmat-Nya kepadaku.”
Allah tidak memasukkan surga seseorang karena amalnya akan tetapi karena RahmatNya, dalam rangka mendapatkan rahmat-Nya yaitu dengan cara menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya serta selalu berdoá kepada Allah.
3.      Faqr terhadap Ilmu Allah
Allah berfirman dalam QS. Al-Kahfi : 109.
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Ayat diatas menjelaskan bahwa ilmu Allah sangatlah luas, dan ilmu/pengetahuan manusia itu sangat amat sedikit, maka dari itu kita berdoá kepada Allah agar selalu ditambah ilmunya.
Allah berfirman dalam QS. Thaha : 114
“....... dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
4.      Faqr terhadap keberkahan rezeki dari Allah
5.      Faqr terhadap kesehatan dari Allah
6.      Faqr terhadap maghfirah (ampunan) Allah
7.      Faqr terhadap diterimanya taubat
8.      Faqr terhadap dikabulkannya doá
9.      Faqr terhadap keluarga asmara (al-sakinan wa mawaddah wa rahmah)[11]










BAB III

Simpulan
Kata Faqr, mempunyai bentuk kata kerja faqura, secara etimologis dapat berarti jelek (radiáh), butuh, atau kesusahan (al-hamm), Sedangkan orangnya disebut faqir (orang yang sangat membutuhkan dan tidak mempunyai sesuatu yang mencukupi kebutuhannya), dan mempunyai bentuk fuqara’.
Menurut M. Quraish Shihab dalam penafsirannya QS. Al-Fathir : 15. Yaitu Firman-Nya : antum al-fuqara mengandung makna pembatasan, yakni kamu saja yang benar-benar butuh kepada Allah. Pembatasan ini tentu saja tidak harus dipahami sebagai bermakna “selain kamu tidak butuh” karena semua makhluk membutuhkan Allah dalam wujud dan kesinambungan wujud-Nya, sedang Allah tidak membutuhkan apa pun karena wujud-Nya bersumber dari Zat-Nya sendiri.
Sedangkan menurut Ibnu Katsir dalam penafsirannya QS. Al-Baqarah : 273. Yaitu Firman Allah, “Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah,” yakni kaum Muhajirin yang telah mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya serta menetap di Madinah. Mereka tidak memiliki mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan “mereka tidak dapat bepergian di mua bumi” untuk berusaha mencari penghidupan.
Bisa diambil garis besarnya para ulama berbeda pendapat tentang kata faqir, sumbernya sama yaitu al-qur’an dan hadits, namun dalam memahami kalamullah banyak menimbulkan pemahaman yang berbeda tergantung kedisiplinan ilmunya masing-masing. Ada ulama yang mengartikan tentang kemiskinan, sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas, dengan rujukan Al-Qur’an dan Hadits, contoh QS. Al-Baqarah : 273, Qs. At-Taubah : 30, dll. Disini para ulama juga berbeda pendapat mengenai istilah faqir dan miskin, ada yang mempersamakannya dan ada pula membedakannya. Tapi yang bisa dipahami bahwa kedua-duanya adalah orang-orang membutuhkan.Yang kedua makna faqir bisa diartikan sebagai “rasa butuh terhadap Allah” atau bisa juga dipahami “tidak merasa dimiliki dan dimiliki” sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam QS.Al-Fathir:15.
Macam-macam faqir yaitu, Faqr terhadap Hidayah (petunjuk) Allah, Faqr terhadap Rahmat Allah, Faqr terhadap Ilmu Allah, Faqr terhadap keberkahan rezeki dari Allah, Faqr terhadap kesehatan dari Allah, Faqr terhadap maghfirah (ampunan) Allah, Faqr terhadap diterimanya taubat, Faqr terhadap dikabulkannya doá, Faqr terhadap keluarga asmara (al-sakinan wa mawaddah wa rahmah)

PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya uraikan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.


DAFTAR PUSTAKA

Masyhudi, In’amuzzahidin, Menjadi Fakir? Siapa Takut! (Semarang : Pustaka NUUN : 2004) hlm. 5
Muhammad, Hasyim, Dialog anatara Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar offset : 2002), cet. 1
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah) Penjabaran Kongkrit ''Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in", diterjemah oleh Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar : 1999) cet. 2
Muhammad, Ahsin, Risalah Sufi al-Qusyayri, (Bandung : Penerbit Pustaka : 1994) cet. 1
Shihab,  Quraisy, Tafsir Al-Mishbah vol. 11, (Jakarta : Lentera Hati : 2009), cet.2
Katsir, Ibnu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier jilid 6, penerjemah H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy (Surabaya : PT Bina Ilmu : 1990) cet. 1
Ar-Rifa’I, M. Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir I, terjemah. Syibahuddin, (Jakarta : Gema Insani Pers : 1999)
Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil-Qur’an jilid I, terjemah. As’ad Yasin, Abdul Aziz  S.B, dkk, (Jakarta : Gema Insani Pers : 2000) cet.1



[1] M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol. 11, (Jakarta : Lentera Hati : 2009), cet.2, hlm. 41-43
[2] Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier jilid 6, penerjemah H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy (Surabaya : PT Bina Ilmu : 1990) cet. 1, hlm. 380
[3] M. Nasib ar-Rifa’I, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir I, terjemah. Syibahuddin, (Jakarta : Gema Insani Pers : 1999) hlm. 449-450
[4] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an jilid I, terjemah. As’ad YAsin, Abdul Aziz  S.B, dkk, (Jakarta : Gema Insani Pers : 2000) cet.1, hlm. 262-263
[5] In’amuzzahidin Masyhudi, Menjadi Fakir? Siapa Takut!, (Semarang : Pustaka NUUN : 2004) hlm. 5
[6] Hasyim Muhammad, Dialog anatara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar offset : 2002), cet. 1, hlm. 40-41
[7] Ahsin Muhammad, Risalah Sufi al-Qusyayri, (Bandung : Penerbit Pustaka : 1994) cet. 1, hlm.286-293
[8] Op.cit. Hasyim Muhammad, hlm. 39-41
[9] Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah) Penjabaran Kongkrit ''Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in", diterjemah oleh Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar : 1999) cet. 2, hlm.. 378-380
[10] Op.cit, In’amuzzahidin Masyhudi, hlm. 21-25
[11] Ibid, In’amuzzahidin Masyhudi, Hlm.54-76

No comments:

Post a Comment