MULAI DARI NOL
Namaku MIA (nama disamarkan), aku bukanlah dari
keluarga yang kaya melainkan dari keluarga yang bisa dikategorikan kurang
mampu, sehari-hari keluarga kami bisa dikatakan kekurangan dari pada cukup. Akan
tetapi keluarga kami bukanlah keluarga yang sering mengeluh atau selalu merasa
kurang terus, kami selalu menerima dan mensyukuri semua pemberian dariNya. Aku
anak no.3 dari 9 bersaudara. Bapakku meninggal pada tahun 1995 ketika aku masih
duduk dibangko MA.
Bapak meninggal waktu bekerja di Jakarta
karena sakit titanus. Bermula dari kaki bapakku terkena paku saat kerja
dibengkel motor. Akibat dari itu, selang beberapa hari bapakku terserang
penyakit yaitu titanus, kemudian bapak dilarikan ke Rumah Sakit tanpa ditemani
seorang keluarga satupun. Dan akhirnya pamanku yang tahu kalau bapak lagi
sakit, langsung pergi ke Jakarta untuk mengecek kondisi bapakku, tapi nyawa
bapak tidak bisa diselamatkan sebelum pamanku sampai di Jakarta. Mengetahui akan hal itu pamanku tidak memberitahu keluargaku dahulu
kalau bapak sudah meninggal dengan alasan tertentu. Secara tiba-tiba keluargaku
dikejutkan dengan kehadiran mobil ambulan berhenti di rumahku dari salah satu
Rumah Sakit di Jakarta yaitu RS. Fatmawati. Semua keluargaku sock dan ada yang sampai jatuh pingsan. Kesedihan membanjiri seluruh penghuni rumah karena ditinggalkan
bapak secara tiba-tiba. Dan kesedihan itu berlanjut lagi ketika disuruh
membayar mobil ambulan yang dari Jakarta itu, sebelum dibayar mobil itu tidak mau
pergi, sedang dari keluargaku tidak mempunyai apa-apa untuk menebusnya, dan
akhirnya mencari hutang sana-sini tapi nasib buruk yang didapat, semua
tetanggaku tidak memberi pinjaman kepada keluargaku tanpa sebab. Tapi akhirnya
uang tabunganku yang aku kumpulkan
bertahun-tahun untuk biaya sekolahnya aku serahkan kepada ibuku dan ini adalah jalan terakhir untuk membayar uang ambulan.
Kepergian bapakku meninggalkan
anak-anak yang masih kecil-kecil, dan meninggalkan sejuta kesedihan bagi
keluarga dan tetanggaku, ibu dan nenekku
harus banting tulang sediri untuk bertahan hidup demi keluarga. Keluargaku bisa
dibilang keluarga yang tergolong miskin, Ibu bekerja sebagai penjahit, buruh
tani dan ternak kambing dan nenek bekerja sebagai buruh tani dan serabutan.
Dari situlah pundi-pundi rupiah terkumpulkan. Adik-adikku yang
sadar akan himpitan ekonomi ini memutuskan
untuk mengakhiri sekolahnya, ada yang putus sekolah di MI saja dan ada juga
yang baru kelas 1 Mts putus sekolah, kemudian ada juga yang nekat merantau ke Jakarta walau umur masih belum mumpuni untuk bekerja, kisaran 16
tahunnan. Tinggal
aku dan adikku yang no.7 yaitu Noor Hamim yang melanjutkan sekolah, adikku itu setelah lulus MA kemudian
meneruskan belajar ke pondok pesantren dan sekarang ia berhasil hafidz Qur’an dan setelah mondoknya selesai, adikku
melanjutkan studynya keperguruan tinggi dan Alhamdulillah ia berhasil lulus
kuliah 5 tahun kemudian. Aku juga masih
bertahan untuk melanjutkan sekolah sampai sarjana dan sekarang Alhamdulillah aku menjadi guru tetap. Aku sudah menjadi guru ketika aku masih duduk
dibangko kelas 2 MA, dan aku juga sering mendapat kemenangan atas lomba-lomba
yang aku ikuti.
Sewaktu sekolah dulu aku jarang mendapat uang
saku, aku berfikir sama-sama tidak jajan lebih baik aku buat puasa. Setiap
temen-temenku pada jajan aku cuma bisa lihatin saja, jika ditawari jajan bareng
aku selalu mencari-cari alasan untuk tidak menerima ajakannya. Walaupun aku
anak orang miskin, tapi aku tidak minder sedikitpun aku bangga dengan keluargaku
dan dalam masalah belajar aku menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan tekun.
Aku juga sering membantu ibuku bekerja, seperti ikut menjadi buruh tani, buruh
jahit, mencarikan rumput untuk makan kambing, dll.
Pada tahun 1999-2005 aku, ibu, nenek, serta
kakakku yang no.2, Noor Hayati merintis usaha kecil-kecilan, mulai dari membuat
kripik gado-gado, kripik singkong, jualan kacang gembos, bubur kacang ijo,
krupuk unyil, dll. Aku membeli jajanan-jajanan (seperti kacang gembos, krupuk
unyil, kuping gajah, dll) itu dari kota, biasanya aku membawa sepeda dan aku
boncengkan jajanan-jajanan tersebut dijok belakang. Kemudian makanan-makanan
ini aku titipkan di warung-warung terdekat dan juga dikantin sekolah yang dekat
dari rumahu. Usaha ini berlangsung lumayan lama, hampir 5 tahun lebih, disini
usaha kami berjalan lanjar.
Dan disisi lain aku juga ingin merambah dalam
usaha konveki pakaian. Keinginanku ini bermula ketika aku mengambil dagangan
untuk aku jual kembali. Bercerita sedikit tentang pengalamanku ketika jualan
pakaian dipasar. Suka duka pasti ada, aku sebelumnya tidak pernah melakukan
rutinitas seperti ini. Aku mulai menawarkan pakaian-pakaian itu dari kios satu
ke kios yang lain, pada awal-awalnya
banyak yang tidak membeli dagaganku itu, ketika aku menawarkan ada yang cuma geleng-geleng
kepala, ada yang cuma lihat-liat, ada yang pura-pura sibuk dan tidak tahu.
Rasanya hati ini sedih dan capek, ingin sekali untuk tidak kembali kedunia
dagang tersebut. Tapi aku kuatkan hati ini untuk selalu maju dan jangan sampai
putus asa. Hari-hari selanjutnya aku mulai kenal dengan orang-orang yang
mempunyai kios yang ada dipasar, omsetku berjualan semakin bertambah, dan ada
salah satu bakulku bilang bahwa aku disuruh untuk buat pakaian / mendirikan konveksi
sendiri.
Alhamdulillah
pada tahun yang sama yaitu 1999, aku memulai bisnis konveksi pakaian ini, modal
cuma nekat, uang sedikit, dan kepercayaan dari orang-orang. Usaha ini semakin
hari semakin berkembangan sampai hari ini, dan Alhamdulillah dari usaha ini
sudah cukup menyejahteraan keluarga kami, karena semua saudara-saudarau bekerja
di konveksi ini dan menjadikan sebagai sumber utama penghasilan. Hidup keluarga
kami yang mulanya miskin dan sering dikucilkan masyarakat kini alhamdulillah
satu tahap menjadi maju. Semoga menjadi berkah buat kami semua.
(Kisah Nyata)
No comments:
Post a Comment