HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Wednesday, November 19, 2014

HAKIKAT MANUSIA

HAKIKAT MANUSIA


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:  Psikologi Sosial
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Abdullah Hadziq, MA












Disusun oleh :
LUKMAN HAKIM              (124411026)
 


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I.         PENDAHULUAN
Objek jiwa modern ialah manusia dan serta kegiatan-kegiatannya dalam hubungan dengan lingkungannya. Mungkin kita bertanya-tanya apakah hakikat manusia itu? Maka dapatlah kami jawab dengan sederhana, bahwa manusia merupakan makhluk hidup tertinggi yang dapat kita jumpai di alam ciptaan Tuhan Yang Mahaesa di dunia ini. Bahwasannya manusia merupakan makhluk tertinggi di dunia ini sudah dapat kita temukan dalam uraian Aristoteles yang membeda-bedakan manusia dari hewan dan tumbuh-tumbuhan secara bertingkat-tingkat. Hanya manusialah yang mempunyai rasio-kecerdasan dan kemauan, demikianlah Aristoteles.
Tetapi selian itu terdapat beberapa hal lain yang patut disebutkan pula berkenaan dengan kegitan-kegiatan yang justru menjadi obyek ilmu jiwa dan ilmu jiwa sosial. Yakni bahwa kegiatan-kegiatan manusia itu seeperti yang pernah dikatakan antara lain oleh  Kyupers, dapat digolongkan ke dalam tiga golongan utama secara hakiki. Yaitu kegiatan-kegiatannya yang bersifat individual, kegiatan-kegiatannya yang bersifat sosial, dan kegiatan-kegiatannya yang bersifat berketuhanan. Hal ini berhubungan erat dengan tiga segi utama manusia itu, yakni bahwa manusia secara hakiki sekaligus merupakan : (1) makhluk individual, (2) makhluk sosial, (3) makhluk berketuhanan.[1]
Marilah kita tinjau sebentar masing-masing segi hakiki makhluk manusia itu.

II.      RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana manusia dikatakan sebagai makhluk individu ?
2.      Bagaimana manusia dikatakan sebagai makhluk sosial?
3.      Bagaimana manusia dikatakan sebagai makhluk berketuhanan?
4.      Bagaimana hubungan manusia dengan lingkungannya?

III.   PEMBAHASAN
1.      Manusia makhluk individu
Bahwasannya manusia itu merupakan suatu keseluruhan yang tidak dapat dibagi-bagi, kiranya sudah jelasa bagi kita. Hal ini merupakan arti pertama dari ucapan “manusia dalah makhluk individual”. Asal kata individual berarti “tidak dapat dibagi-bagi”. Makhluk individual berarti makhluk yang tidak dapat dibagi-bagi (in-devidere). Tetapi apabila kita tinjau pendapat filsuf mengenai jiwa manusia, hal ini belum ditegaskan.
Aristoteles seakan-akan berpendapat bahwa manusia itu merupakan penjumlahan dari beberapa kemampuan tertentu yang masing-masing bekerja tersendiri, seperti kemampuan vegetatif : makan, berkembang biak; kemampuan sensitif : bergerak, mengamat-amati, bernafsu, dan berperasaan; dan kemampuan intelektif : berkemaunan dan berkecerdasan.
Descartes pun menyatakan bahwa manusia terdiri dari zat rohaniah ditambah zat material yang masing-masing mempunyai peraturan-peraturan tersendiriyang malah bertentangan.
Kaum Asosiasionis berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri atas unsur-unsur pengalaman sederhana, yang lalu disambung yang satu dengan yang lain secara mekanis oleh dalil-dalil asosiasi, yaitu reflections, sensations, ideas, dan impressions.
Barulah Wilhelm Wundt dan terutama ahli-ahli psikologi modern yang menegaskan bahwa jiwa manusia itu merupakan suatu kesatuan jiwa raga yang berkegiatan sebagai keseluruhan. Mereka menegaskan, misalnya bahwa, apabila kita mengamati sesuatu, maka kita bukan hanya melihat sesuatu dengan indera mata kita saja, melainkan juga dengan seluruh minat-perhatian yang kita curahkan kepada objek yang kita amati itu, dan minat-perhatian yang kita curahkan kepada objek yang kita amati itu, dan minat-perhatian ini sangat dipengaruhi oleh niat dan kebutuhan kita pada waktu itu. Selain itu, dalam mengamati sesuatu terlihat pula pengalaman-pengalaman kita khususnya dalam hal menafsirkan segala-galanya yang kita amati itu. Demikianlah, keseluruhan jiwa-raga kita terlibat dalam pengamatan kita itu, dan tidak hanya mata saja.
Barulah psikologi zaman modern ini yang menegaskan bahwa kegiatan jiwa manusia dalam kehidupan sehari-harinya itu merupakan kegiatan keseluruhan jiwa-raganya, dan bukan kegiatan alat-alat tubuh saja atau kemampuan-kemampuan jiwa satu per satu, terlepas dari yang lain. Kita mengusahakan sesuatu, kita kecewa tentang sesuatu, atau kita bergirang karena sesuatu dengan seluruh jiwa-raga kita, tidak hanya dengan mata, telinga, tangan, kemauan, perasaan, atau pemikiran kita satu per satu tersendiri.
Keduanya, manusia merupakan makhluk individual tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa-raga, tetapi juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu merupakan pribadi yang khas menurut corak kepribadiannya, termasuk kecakapan-kecakapannya sendiri. Hal ini nyata sekali dalam rumusan Allport mengenai kepribadian manusia sebagai berikut : Kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem-sistem psiko-fisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik (khas) dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, maka individu yang satu dibandingkan dengan individu yang lain akan mengalami perkembangan yang khas di dalam kehidupannya, juga apabila keadaan dan lingkungan kehidupannya sama.[2]
Secara garis besar , faktor yang menimbulkan perbedaan individu ada 2 faktor yaitu faktor fisik dan psikis. Faktor fisik meliputi : bentuk tubuh dan komposisinya; taraf kesehatan fisik pada umumnya; kemampuan panca inderanya. Sedangkan faktor psikisnya meliputi : intelegensi; bakat; minat; kepribadian; motivasi; edukasi.[3]
Manusia sebagai makhluk individual yaitu manusia mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri, adanya dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri. Atau dalam tindakan-tindakannya manusia kadang-kadang menjurus kepada kepentingan pribadi. Namun manusia juga menjurus kepada kepentingan-kepentingan masyarakat (sosial). Seperti yang dikemukanan Kunkel sebagai seorang tokoh dalam psikologi individual, bahwa manusia itu mempunyai dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri (Ichaftigkeit) dan dorongan untuk mengabdi kepada masyarakat (Sachlichkeit) secara bersama-sama, manusia merupakan kesatuan dari keduanya.
Menurut Kunkel, jika pengabdiannya kepada diri sendiri besar, maka pengabdiannya kepada masyarakat kecil, demikian sebaliknya. Karena manusia itu pada hakekatnya merupakan makhluk sosial di samping sifat-sifat yang lain, maka secara alami manusia itu membutuhkan hubungan dengan orang lain, manusia secara alami mempunyai  dorongan untuk berhubungan dengan keadaa sekitar.[4]

2.      Manusia makhluk sosial
Segi utama lainnya yang perlu diperhatikan ialah bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial. Sejak ia dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang-orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, makanan, minuman, dan lain-lainya.
Pada usia dua bulan, hubungan dengan ibunya sudah mulai berlangsung secara psikis, dan tidak hanya biologis saja, yaitu dengan menjawab senyuman ibunya dengan bersenyum pula. Bahkan oleh beberapa penyelidik psikologi anak telah dibuktikan bahwa, apabila tak ada hubungan psikis antara ibu dan anak kecil, perkembangan terhambat untuk beberapa tahun lamanya.
Kelak apabila ia sudah mulai bergaul dengan kawan-kawan sebaya, ia pun tidak lagi hanya menerima kontak sosial itu, tetapi ia juga dapat memberikan kontak sosial. Ia mulai mengerti bahwa di dalam kelompok sepermainannya terdapat peraturan-peraturan tertentu, norma-norma sosial yang hendaknya ia patuhi dengan rela guna dapat melanjutkan hubungannya dengan kelompok tersebut secara lancar. Ia pun turut membentuk norma-norma pergaulan tertentu yang sesuai bagi interaksi kelompok.
Ia mulai mengakui bahwa ia mempunyai peranan dalam kelompoknya yang berdasarkan hubungan timbal-balik dengan anggotanya. Kelompok itu bukan hanya kesempatan untuk memperoleh sesuatu bagi dirinya, melainkan juga membutuhkan sumbangannya. Ia belajar mengembangkan kecakapannya untuk dapat memberikan sumbangannya terhadap kelompok sosialnya. Ia belajar menyesuaikan dirinya dengan norma-norma yang sudah terbentuk di dalam kelompoknya, atau ikut serta dalam pembentukan norma-norma baru. Ia belajar mengebelakangkan keinginan-keinginan individual demi kebutuhan kelompoknya.[5]
Menurut S. Freud, Super-Ego pribadi manusia sudah mulai dibentuk waktu ia berumur 5-6 tahun., dan perkembangan Super-Ego tersebut berlangsung terus-menerus selama ia hidup. Super-Ego yang terdiri atas hati nurani, norma-norma, dan cita-cita pribadi itu tak mungkin terbentuk dan berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya, sehingga sudah jelas bahwa tanpa pergaulan sosial itu manusia itu tidak dapat berkembang sebagai manusia selengkap-lengkapnya.
Justru dalam interaksi sosial itu manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual, sebab tanpa timbal-balik dalam interaksi sosial itu ia tak dapat merealisasikan kemungkinan-kemungkinan dan potensi-potensinya sebagai individu, yang baru memperoleh perangsangnya dan asuhannya di dalam kehidupan berkelompok dengan manusia lainnya.
Pada dasarnya pribadi manusia tak sanggup hidup seorang diri tanpa lingkungan psikis atau rohaniahnya walaupun secara biologis-fifiologis ia mungkin dapat mempertahankan dirinya pada tingkat kehidupan vegetatif.
Segi sosial manusia itu terutama dipelajari di dalam psikologi sosial, tetapi yang sulit dimengerti dengan sewajarnya apabila dalam mempelajarinya kita melalaikan segi individual pribadi manusia.[6]

3.      Manusia makhluk berketuhanan
Sebenarnya ini tidak usah dibuktikan kebenaranya. Sebab bagi tiap-tiap manusia, terutama di Indonesia, yang sudah dewasa dan sadar akan dirinya, sudah jelas sulit sekali untuk menolak adanya kepercayaan akan Tuhan, sebagai segi hakiki dalam perikehidupan manusia, dan bahwa segi ini adalah segi khas bagi manusia pada umumnya.[7]
Bahwasannya Tuhan itu sukar dibuktikan secara empiris eksperimental bagi mereka yang belum berketuhanan, tidak berarti bahwa Tuhan itu tidak ada. Dan bagi mereka yang belum sadar akan segi kemanusiaan mereka sebagai makhluk yang berketuhanan, sukar menerima atau mengakui hakikatnya dari segi ketiga kemanusiaannya itu.
Tetapi orang ateis yang belum sadar akan hal ini, tanpa disadarinya sebenarnya sudah berketuhanan pula, tetapi dalam bentuk pertuhanan benda-benda, orang-orang, atauun gagasan-gagasan tertentu yang bukan Tuhan Yang Mahaesa. Misalnya suatu bentuk pertuhanan modern ialah pertuhanan kepada aliran berpikir materialisme, baik dalam anggapan maupun dalam perbuatannya. Dalam pada itu mereka, dengan sadar atau tidak, sudah menyalahgunakan segi berketuhanannya, yang sebenarnya tertuju kepada Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta alam semesta, langit, bumi, dan semuanya yang ada di dalam universum kita ini. Yakni penyelewengan sehingga yang disembahnya bukan lagi Tuhan Yang Mahaesa, melainkan ciptaannya sendiri.
Walaupun begitu, secara psikologis dapatlah diakui bahwa segi manusia sebagai makhluk berketuhanan itu dapat pula dengan sadar atau tidak dengan sadar ditujukan oleh suatu objek yang bukan merupakan Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta seluruh universum itu, universum yang tak terhingga dan yang menurut ahli-ahli ilmu alam sekurang-kurangnya berumur 2000 juta tahun lagi.[8]

4.      Hubungan manusia dengan lingkungannya
Lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat interaksi individu dengan individu yang lain. Dan lingkungan sosial inilah yang menjadi fokus dari psikologi sosial. Lingkungan sosial dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a.       Lingkungan sosial primer
Yaitu lingkungan sosial di mana terdapat hubungan yang erat antara individu satu dengan yang lain, individu satu saling kenal dengan individu yang lain. Pengaruh lingkungan sosial primer ini akan lebih mendalam bila dibandingkan dengan pengaruh lingkungan sosial sekunder. 
b.      Lingkungan sosial sekunder
Yaitu lingkungan sosial di mana hubungan individu satu dengan yang lain agak longgar, individu satu kurang mengenal dengan individu yang lain.
Namun demikian pengaruh sosial, baik lingkungan sosial primer maupun lingkungan sosial sekunder sangat besar terhadap keadaan individu sebagai anggota masyarakat.
Bagaimana hubungan antara individu dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosial tidak hanya berlangsung searah, dalam arti bahwa hanya lingkungan saja yang mempunyai pengaruh terhadap individu, tetapi antara individu dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal-balik, yaitu lingkungan berpengaruh pada individu, tetapi sebaliknya individu juga mempunyai pengaruh pada lingkungan. Bagaimana hubungan atau sikap individu terdapat lingkungan dapat :
a.       Individu menolak lingkungan
Yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya. Dalam keadaan yang demikian ini, individu dapat memberikan bentuk pada lingkungan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh individu yang bersangkutan. Misal dalam kehidupan kehidupan bermasyarakat, kadang-kadang orang tidak sesuai atau tidak cocok dengan norma-norma yang ada dalam lingkungannya, maka seseorang dapat memberikan pengaruh atau memberikan bentuk pada lingkungan tersebut. Namun demikian ini merupakan hal yang tidak mudah, dan salah satu faktor yang akan ikut menentukan berhasil tidaknya usaha itu adalah status atau posisi individu yang bersangkutan. Misal seorang anggota masyarakat biasa akan lain sekali pengaruhnya bila orang yang bersangkutan mempunyai otoritas atau posisi kunci dalam masyarakat.
b.      Indiividu menerima lingkungan
Yaitu bila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu. Dengan demikian individu akan menerima keadaan lingkungan tersebut. Misal keadaan norma-norma yang ada dalam lingkungan cocok dengan harapan atau keadaan dari individu yang bersangkutan.
c.       Individu bersikap netral atau statuskuo
Yaitu bila individu tidak cocok dengan keadaan lingkungan, tetapi individu tidak mengambil langkah-langkah bagaimana sebaiknya. Individu bersikap diam saja, dengan suatu pendapat biarlah lingkungan dalam keadaan yang demikian, asal individu yang bersangkutan tidak berbuat demikian. Dipandang dari segi pendidikan kemasyarakatan sikap yang demikian ini sebenarnya tidak diharapkan, karena bagaimanapun individu dapat mengambil langkah-langkah bagaimana sebaiknya sekalipun mungkin hal tersebut tidak dapat memenuhi harapannya.

IV.   SIMPULAN
Manusia sebagai makhluk individual yaitu manusia mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri, adanya dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri. Atau dalam tindakan-tindakannya manusia kadang-kadang menjurus kepada kepentingan pribadi.
Secara garis besar , faktor yang menimbulkan perbedaan individu ada 2 faktor yaitu faktor fisik dan psikis. Faktor fisik meliputi : bentuk tubuh dan komposisinya; taraf kesehatan fisik pada umumnya; kemampuan panca inderanya. Sedangkan faktor psikisnya meliputi : intelegensi; bakat; minat; kepribadian; motivasi; edukasi.
Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu adanya hubungan manusia dengan sekitarnya, adanya dorongan pada manusia untuk mengabdi kepada masyarakat. Segi utama lainnya yang perlu diperhatikan ialah bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial. Sejak ia dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang-orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, makanan, minuman, dan lain-lainya.
Dan manusia sebagai makhluk berketuhanan atau makhluk religi adanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta, adanya dorongan pada manusia untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, kekuatan yang ada di luar dirinya.
Lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat interaksi individu dengan individu yang lain. Lingkungan sosial dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : Lingkungan sosial primer (hubungan yang erat antara individu satu dengan yang lain / saling kenal) dan Lingkungan sosial sekunder (hubungan individu satu dengan yang lain agak longgar / kurang mengenal).
Hubungan atau sikap individu terdapat lingkungan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu : individu menolak lingkungan, individu menerima lingkungan, dan Individu bersikap netral atau statuskuo.

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya buat. Makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna, oleh karenanya, saya mohon masukan kritik dan saran dari semua pihak untuk memperkaya materi, memperdalam pemahaman dan juga perbaikan untuk makalah selanjutnya. Terakhir, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan ilmu bagi semua pihak. Terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, Pandji dan Sri Suyati, Psikologi Industri dan Sosial, Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 1995
Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, Bandung : PT. Refika Aditama, 2002, cet. 15
Walgito, Bimo, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Andi Ofset, 2002, cet. 2



1 comment:

  1. ass..
    hay gan..., nama saya try. salam kenal
    makasih udah sharing..
    artikelnya sangat bermanfaat.. kalau ada waktu jangan lupa mampir membaca Hakikat Manusia Menurut Islam

    ReplyDelete