HAKIKAT MANUSIA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Psikologi Sosial
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Abdullah
Hadziq, MA
Disusun oleh :
LUKMAN HAKIM
(124411026)
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Objek jiwa modern
ialah manusia dan serta kegiatan-kegiatannya dalam hubungan dengan
lingkungannya. Mungkin kita bertanya-tanya apakah hakikat manusia itu? Maka
dapatlah kami jawab dengan sederhana, bahwa manusia merupakan makhluk hidup
tertinggi yang dapat kita jumpai di alam ciptaan Tuhan Yang Mahaesa di dunia
ini. Bahwasannya manusia merupakan makhluk tertinggi di dunia ini sudah dapat
kita temukan dalam uraian Aristoteles yang membeda-bedakan manusia dari hewan
dan tumbuh-tumbuhan secara bertingkat-tingkat. Hanya manusialah yang mempunyai
rasio-kecerdasan dan kemauan, demikianlah Aristoteles.
Tetapi selian itu
terdapat beberapa hal lain yang patut disebutkan pula berkenaan dengan
kegitan-kegiatan yang justru menjadi obyek ilmu jiwa dan ilmu jiwa sosial.
Yakni bahwa kegiatan-kegiatan manusia itu seeperti yang pernah dikatakan antara
lain oleh Kyupers, dapat digolongkan ke
dalam tiga golongan utama secara hakiki. Yaitu kegiatan-kegiatannya yang
bersifat individual, kegiatan-kegiatannya yang bersifat sosial, dan
kegiatan-kegiatannya yang bersifat berketuhanan. Hal ini berhubungan erat
dengan tiga segi utama manusia itu, yakni bahwa manusia secara hakiki sekaligus
merupakan : (1) makhluk individual, (2) makhluk sosial, (3) makhluk
berketuhanan.[1]
Marilah kita tinjau
sebentar masing-masing segi hakiki makhluk manusia itu.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana manusia dikatakan sebagai makhluk individu ?
2. Bagaimana manusia dikatakan sebagai makhluk sosial?
3. Bagaimana manusia dikatakan sebagai makhluk berketuhanan?
4. Bagaimana hubungan manusia dengan lingkungannya?
III. PEMBAHASAN
1. Manusia makhluk individu
Bahwasannya manusia itu merupakan suatu keseluruhan yang
tidak dapat dibagi-bagi, kiranya sudah jelasa bagi kita. Hal ini merupakan arti
pertama dari ucapan “manusia dalah makhluk individual”. Asal kata individual
berarti “tidak dapat dibagi-bagi”. Makhluk individual berarti makhluk yang
tidak dapat dibagi-bagi (in-devidere). Tetapi apabila kita tinjau
pendapat filsuf mengenai jiwa manusia, hal ini belum ditegaskan.
Aristoteles seakan-akan berpendapat bahwa manusia itu
merupakan penjumlahan dari beberapa kemampuan tertentu yang masing-masing
bekerja tersendiri, seperti kemampuan vegetatif : makan, berkembang
biak; kemampuan sensitif : bergerak, mengamat-amati, bernafsu, dan
berperasaan; dan kemampuan intelektif : berkemaunan dan berkecerdasan.
Descartes pun menyatakan bahwa manusia terdiri dari zat
rohaniah ditambah zat material yang masing-masing mempunyai peraturan-peraturan
tersendiriyang malah bertentangan.
Kaum Asosiasionis berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri atas
unsur-unsur pengalaman sederhana, yang lalu disambung yang satu dengan yang
lain secara mekanis oleh dalil-dalil asosiasi, yaitu reflections, sensations,
ideas, dan impressions.
Barulah Wilhelm Wundt dan terutama ahli-ahli psikologi modern
yang menegaskan bahwa jiwa manusia itu merupakan suatu kesatuan jiwa raga yang
berkegiatan sebagai keseluruhan. Mereka menegaskan, misalnya bahwa, apabila
kita mengamati sesuatu, maka kita bukan hanya melihat sesuatu dengan indera
mata kita saja, melainkan juga dengan seluruh minat-perhatian yang kita
curahkan kepada objek yang kita amati itu, dan minat-perhatian yang kita
curahkan kepada objek yang kita amati itu, dan minat-perhatian ini
sangat dipengaruhi oleh niat dan kebutuhan kita pada waktu itu. Selain itu,
dalam mengamati sesuatu terlihat pula pengalaman-pengalaman kita
khususnya dalam hal menafsirkan segala-galanya yang kita amati itu.
Demikianlah, keseluruhan jiwa-raga kita terlibat dalam pengamatan kita itu, dan
tidak hanya mata saja.
Barulah psikologi zaman modern ini yang menegaskan bahwa
kegiatan jiwa manusia dalam kehidupan sehari-harinya itu merupakan kegiatan
keseluruhan jiwa-raganya, dan bukan kegiatan alat-alat tubuh saja atau kemampuan-kemampuan
jiwa satu per satu, terlepas dari yang lain. Kita mengusahakan sesuatu, kita
kecewa tentang sesuatu, atau kita bergirang karena sesuatu dengan seluruh
jiwa-raga kita, tidak hanya dengan mata, telinga, tangan, kemauan, perasaan,
atau pemikiran kita satu per satu tersendiri.
Keduanya, manusia merupakan makhluk individual tidak hanya
dalam arti makhluk keseluruhan jiwa-raga, tetapi juga dalam arti bahwa
tiap-tiap orang itu merupakan pribadi yang khas menurut corak kepribadiannya, termasuk
kecakapan-kecakapannya sendiri. Hal ini nyata sekali dalam rumusan Allport
mengenai kepribadian manusia sebagai berikut : Kepribadian adalah organisasi
dinamis dari sistem-sistem psiko-fisik dalam individu yang turut menentukan
cara-caranya yang unik (khas) dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, maka individu yang satu dibandingkan dengan
individu yang lain akan mengalami perkembangan yang khas di dalam kehidupannya,
juga apabila keadaan dan lingkungan kehidupannya sama.[2]
Secara garis besar , faktor yang menimbulkan perbedaan
individu ada 2 faktor yaitu faktor fisik dan psikis. Faktor fisik meliputi :
bentuk tubuh dan komposisinya; taraf kesehatan fisik pada umumnya; kemampuan
panca inderanya. Sedangkan faktor psikisnya meliputi : intelegensi; bakat;
minat; kepribadian; motivasi; edukasi.[3]
Manusia sebagai makhluk individual yaitu manusia mempunyai
hubungan dengan dirinya sendiri, adanya dorongan untuk mengabdi kepada dirinya
sendiri. Atau dalam tindakan-tindakannya manusia kadang-kadang menjurus kepada
kepentingan pribadi. Namun manusia juga menjurus kepada kepentingan-kepentingan
masyarakat (sosial). Seperti yang dikemukanan Kunkel sebagai seorang tokoh
dalam psikologi individual, bahwa manusia itu mempunyai dorongan untuk mengabdi
kepada dirinya sendiri (Ichaftigkeit) dan dorongan untuk mengabdi kepada
masyarakat (Sachlichkeit) secara bersama-sama, manusia merupakan kesatuan dari
keduanya.
Menurut Kunkel, jika pengabdiannya kepada diri sendiri besar,
maka pengabdiannya kepada masyarakat kecil, demikian sebaliknya. Karena manusia
itu pada hakekatnya merupakan makhluk sosial di samping sifat-sifat yang lain,
maka secara alami manusia itu membutuhkan hubungan dengan orang lain, manusia
secara alami mempunyai dorongan untuk berhubungan
dengan keadaa sekitar.[4]
2. Manusia makhluk sosial
Segi utama lainnya yang perlu diperhatikan ialah bahwa
manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial. Sejak ia dilahirkan ia
membutuhkan pergaulan dengan orang-orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
biologisnya, makanan, minuman, dan lain-lainya.
Pada usia dua bulan, hubungan dengan ibunya sudah mulai
berlangsung secara psikis, dan tidak hanya biologis saja, yaitu dengan menjawab
senyuman ibunya dengan bersenyum pula. Bahkan oleh beberapa penyelidik
psikologi anak telah dibuktikan bahwa, apabila tak ada hubungan psikis antara
ibu dan anak kecil, perkembangan terhambat untuk beberapa tahun lamanya.
Kelak apabila ia sudah mulai bergaul dengan kawan-kawan
sebaya, ia pun tidak lagi hanya menerima kontak sosial itu, tetapi ia juga
dapat memberikan kontak sosial. Ia mulai mengerti bahwa di dalam kelompok
sepermainannya terdapat peraturan-peraturan tertentu, norma-norma sosial yang
hendaknya ia patuhi dengan rela guna dapat melanjutkan hubungannya dengan
kelompok tersebut secara lancar. Ia pun turut membentuk norma-norma pergaulan
tertentu yang sesuai bagi interaksi kelompok.
Ia mulai mengakui bahwa ia mempunyai peranan dalam
kelompoknya yang berdasarkan hubungan timbal-balik dengan anggotanya. Kelompok
itu bukan hanya kesempatan untuk memperoleh sesuatu bagi dirinya, melainkan
juga membutuhkan sumbangannya. Ia belajar mengembangkan kecakapannya untuk
dapat memberikan sumbangannya terhadap kelompok sosialnya. Ia belajar
menyesuaikan dirinya dengan norma-norma yang sudah terbentuk di dalam
kelompoknya, atau ikut serta dalam pembentukan norma-norma baru. Ia belajar
mengebelakangkan keinginan-keinginan individual demi kebutuhan kelompoknya.[5]
Menurut S. Freud, Super-Ego pribadi manusia sudah
mulai dibentuk waktu ia berumur 5-6 tahun., dan perkembangan Super-Ego
tersebut berlangsung terus-menerus selama ia hidup. Super-Ego yang
terdiri atas hati nurani, norma-norma, dan cita-cita pribadi itu tak mungkin
terbentuk dan berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya,
sehingga sudah jelas bahwa tanpa pergaulan sosial itu manusia itu tidak dapat
berkembang sebagai manusia selengkap-lengkapnya.
Justru dalam interaksi sosial itu manusia dapat
merealisasikan kehidupannya secara individual, sebab tanpa timbal-balik dalam
interaksi sosial itu ia tak dapat merealisasikan kemungkinan-kemungkinan dan
potensi-potensinya sebagai individu, yang baru memperoleh perangsangnya dan
asuhannya di dalam kehidupan berkelompok dengan manusia lainnya.
Pada dasarnya pribadi manusia tak sanggup hidup seorang diri
tanpa lingkungan psikis atau rohaniahnya walaupun secara biologis-fifiologis ia
mungkin dapat mempertahankan dirinya pada tingkat kehidupan vegetatif.
Segi sosial manusia itu terutama dipelajari di dalam
psikologi sosial, tetapi yang sulit dimengerti dengan sewajarnya apabila dalam
mempelajarinya kita melalaikan segi individual pribadi manusia.[6]
3. Manusia makhluk berketuhanan
Sebenarnya ini tidak usah dibuktikan kebenaranya. Sebab bagi
tiap-tiap manusia, terutama di Indonesia, yang sudah dewasa dan sadar akan
dirinya, sudah jelas sulit sekali untuk menolak adanya kepercayaan akan Tuhan,
sebagai segi hakiki dalam perikehidupan manusia, dan bahwa segi ini adalah segi
khas bagi manusia pada umumnya.[7]
Bahwasannya Tuhan itu sukar dibuktikan secara empiris
eksperimental bagi mereka yang belum berketuhanan, tidak berarti bahwa Tuhan
itu tidak ada. Dan bagi mereka yang belum sadar akan segi kemanusiaan mereka
sebagai makhluk yang berketuhanan, sukar menerima atau mengakui hakikatnya dari
segi ketiga kemanusiaannya itu.
Tetapi orang ateis yang belum sadar akan hal ini, tanpa
disadarinya sebenarnya sudah berketuhanan pula, tetapi dalam bentuk pertuhanan
benda-benda, orang-orang, atauun gagasan-gagasan tertentu yang bukan Tuhan Yang
Mahaesa. Misalnya suatu bentuk pertuhanan modern ialah pertuhanan kepada aliran
berpikir materialisme, baik dalam anggapan maupun dalam perbuatannya. Dalam
pada itu mereka, dengan sadar atau tidak, sudah menyalahgunakan segi
berketuhanannya, yang sebenarnya tertuju kepada Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta
alam semesta, langit, bumi, dan semuanya yang ada di dalam universum kita ini.
Yakni penyelewengan sehingga yang disembahnya bukan lagi Tuhan Yang Mahaesa,
melainkan ciptaannya sendiri.
Walaupun begitu, secara psikologis dapatlah diakui bahwa segi
manusia sebagai makhluk berketuhanan itu dapat pula dengan sadar atau tidak
dengan sadar ditujukan oleh suatu objek yang bukan merupakan Tuhan Yang
Mahaesa, Pencipta seluruh universum itu, universum yang tak terhingga dan yang
menurut ahli-ahli ilmu alam sekurang-kurangnya berumur 2000 juta tahun lagi.[8]
4. Hubungan manusia dengan lingkungannya
Lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang
didalamnya terdapat interaksi individu dengan individu yang lain. Dan
lingkungan sosial inilah yang menjadi fokus dari psikologi sosial. Lingkungan
sosial dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Lingkungan sosial primer
Yaitu lingkungan
sosial di mana terdapat hubungan yang erat antara individu satu dengan yang
lain, individu satu saling kenal dengan individu yang lain. Pengaruh lingkungan
sosial primer ini akan lebih mendalam bila dibandingkan dengan pengaruh
lingkungan sosial sekunder.
b. Lingkungan sosial sekunder
Yaitu lingkungan
sosial di mana hubungan individu satu dengan yang lain agak longgar, individu
satu kurang mengenal dengan individu yang lain.
Namun demikian pengaruh sosial, baik lingkungan sosial primer
maupun lingkungan sosial sekunder sangat besar terhadap keadaan individu
sebagai anggota masyarakat.
Bagaimana hubungan antara individu dengan lingkungannya,
terutama lingkungan sosial tidak hanya berlangsung searah, dalam arti bahwa
hanya lingkungan saja yang mempunyai pengaruh terhadap individu, tetapi antara
individu dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal-balik, yaitu
lingkungan berpengaruh pada individu, tetapi sebaliknya individu juga mempunyai
pengaruh pada lingkungan. Bagaimana hubungan atau sikap individu terdapat
lingkungan dapat :
a. Individu menolak lingkungan
Yaitu bila
individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya. Dalam keadaan yang demikian
ini, individu dapat memberikan bentuk pada lingkungan sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh individu yang bersangkutan. Misal dalam kehidupan kehidupan
bermasyarakat, kadang-kadang orang tidak sesuai atau tidak cocok dengan
norma-norma yang ada dalam lingkungannya, maka seseorang dapat memberikan
pengaruh atau memberikan bentuk pada lingkungan tersebut. Namun demikian ini
merupakan hal yang tidak mudah, dan salah satu faktor yang akan ikut menentukan
berhasil tidaknya usaha itu adalah status atau posisi individu yang
bersangkutan. Misal seorang anggota masyarakat biasa akan lain sekali
pengaruhnya bila orang yang bersangkutan mempunyai otoritas atau posisi kunci
dalam masyarakat.
b. Indiividu menerima lingkungan
Yaitu bila
keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu. Dengan demikian
individu akan menerima keadaan lingkungan tersebut. Misal keadaan norma-norma
yang ada dalam lingkungan cocok dengan harapan atau keadaan dari individu yang
bersangkutan.
c. Individu bersikap netral atau statuskuo
Yaitu bila
individu tidak cocok dengan keadaan lingkungan, tetapi individu tidak mengambil
langkah-langkah bagaimana sebaiknya. Individu bersikap diam saja, dengan suatu
pendapat biarlah lingkungan dalam keadaan yang demikian, asal individu yang
bersangkutan tidak berbuat demikian. Dipandang dari segi pendidikan
kemasyarakatan sikap yang demikian ini sebenarnya tidak diharapkan, karena
bagaimanapun individu dapat mengambil langkah-langkah bagaimana sebaiknya
sekalipun mungkin hal tersebut tidak dapat memenuhi harapannya.
IV. SIMPULAN
Manusia sebagai
makhluk individual yaitu manusia mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri,
adanya dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri. Atau dalam
tindakan-tindakannya manusia kadang-kadang menjurus kepada kepentingan pribadi.
Secara garis besar
, faktor yang menimbulkan perbedaan individu ada 2 faktor yaitu faktor fisik
dan psikis. Faktor fisik meliputi : bentuk tubuh dan komposisinya; taraf
kesehatan fisik pada umumnya; kemampuan panca inderanya. Sedangkan faktor
psikisnya meliputi : intelegensi; bakat; minat; kepribadian; motivasi; edukasi.
Sedangkan manusia
sebagai makhluk sosial, yaitu adanya hubungan manusia dengan sekitarnya, adanya
dorongan pada manusia untuk mengabdi kepada masyarakat. Segi utama lainnya yang
perlu diperhatikan ialah bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial.
Sejak ia dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang-orang lain untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, makanan, minuman, dan lain-lainya.
Dan manusia sebagai
makhluk berketuhanan atau makhluk religi adanya hubungan manusia dengan Sang
Pencipta, adanya dorongan pada manusia untuk mengabdi kepada Sang Pencipta,
kekuatan yang ada di luar dirinya.
Lingkungan sosial,
yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat interaksi
individu dengan individu yang lain. Lingkungan sosial dapat dibedakan menjadi 2
yaitu : Lingkungan sosial primer (hubungan yang erat antara individu satu
dengan yang lain / saling kenal) dan Lingkungan sosial sekunder (hubungan
individu satu dengan yang lain agak longgar / kurang mengenal).
Hubungan atau sikap
individu terdapat lingkungan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu : individu menolak
lingkungan, individu menerima lingkungan, dan Individu bersikap netral atau statuskuo.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya buat. Makalah
ini sangatlah jauh dari kata sempurna, oleh karenanya, saya mohon masukan
kritik dan saran dari semua pihak untuk memperkaya materi, memperdalam
pemahaman dan juga perbaikan untuk makalah selanjutnya. Terakhir, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan ilmu bagi semua pihak. Terima
kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Anoraga, Pandji dan Sri Suyati, Psikologi Industri dan Sosial,
Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 1995
Gerungan, W.A., Psikologi Sosial,
Bandung : PT. Refika Aditama, 2002, cet. 15
Walgito, Bimo, Psikologi Sosial
(Suatu Pengantar), Yogyakarta : Andi Ofset, 2002, cet. 2
ass..
ReplyDeletehay gan..., nama saya try. salam kenal
makasih udah sharing..
artikelnya sangat bermanfaat.. kalau ada waktu jangan lupa mampir membaca Hakikat Manusia Menurut Islam