HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Tuesday, November 25, 2014

ALIRAN KEBATINAN DAN AJARANNYA

ALIRAN KEBATINAN DAN AJARANNYA

1.      Daftar nama aliran kebatinan (khususnya Jawa Tengah)
1)      No. 1.007/F.6/F.2/1980           Badan Kebatinan Indonesia
2)      No. 1.144/F.6/F.2/1980           Badan Keluarga Kebatinan Wisnu
3)      No. 1.213/F.3/N.1/1982          Elang Mangku Negara
4)      No. 1.216/F/3/N.1/1982          Hak (Kawruh Hak)
5)      No. 1.021/F.6/F.2/1980           Hidayat Jati Ranggawarsita
6)      No. 1.022/F.6/F.2/1980           Hidup Betul
7)      No. 1.209/F.3/N.1/1982          Himpunan Kebatinan Rukun Wargo
8)      No. 1.193/F.3/N.1/1982          Ilmu Kasampurnan Jati
9)      No. 1.207/F.3/N.1/1982          Jaya Sampurna (Pamungkas Jati Titi Jaya Sampurna)
10)  No. 1.174/F.6/F.2/1980           Kalimasada Rasa Sejati
11)  No. 1.212/F.3/N.1/1980          Ratu Adil
12)  No. 1.105/F.6/F.2/1980           Aliran Kebatinan Perjalanan (DKI Jakarta)
13)  No. 1.066/F.6/F.2/1980           Paguyuban Darma Bakti (Jawa Timur) [1]

2.      Ajaran aliran kebaatinan
Ø  Paguyuban Darma bakti
Paguyuban Darma Bakti adalah suatu organisasi kebatinan yang memang diadakan untuk belajar kebagusan dan kebaktian yang harus dimiliki manusia. Paguyuban ini fokus dalam ajaran etika atau tingkah laku yang baik dan pengabdian manusia dalam kehidupan, dan juga mencari sejatinya hidup atau cara memanfaatkan hidup. Paguyuban ini tidak serta merta langsung menjadi sebuah paguyuban, ada cerita sejarah yang amat panjang hingga menjadi paguyuban yang dinamai Paguyuban Darma Bakti.
Untuk belajar kebagusan dan kebaktian paguyuban ini memiliki ajaran-ajaran yang cukup banyak dan terorganisir, salah satu ajaran yang utama yaitu ajaran sangkan paraning dumadi. Para penganut paguyuban ini juga memiliki banyak tatacara beribadah dan ritual yang mereka amalkan.
Penelitian ini, diambil di Dusun Tambuh, Kota Batu, Jawa Timur. Diambil dengan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulannya secara wawancara, observasi dan dokumentasi. Bukan hanya di Dusun Tambuh, pengumpulan data dilakukan di Surabaya dengan sumber data dari sesepuh dan penganut paguyuban. Perlu kita ketahui, paguyuban ini berisi dari berbagai agama, mulai dari Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Bahkan sekitar 80% yang menjadi warganya adalah orang-orang Islam. Namun satu titik temu mereka berkumpul yakni Tuhan, apapun nama Tuhan dalam agama mereka namun ketika mereka menginjakkan ke dalam paguyuban darma bakti maka satu nama yang mereka kenal yakni Tuhan, bukan Yesus, sang Hyang Widi, Allah ataupun Budha Gautama.
Ajaran sangkan paraning dumadi dalam paguyuban ini tidak bermaksud untuk menguraikan tentang proses kejadian manusia, melainkan uraian yang akan dipergunakan sebagai pangkal untuk menumbuhkan pengertian sekaligus kepercayaan mereka bahwa kelahiranya di dunia ini ada yang melahirkan, sejak keberadaan hingga kelahirannya selalu disertai saudara sekelahiran (kakang kawah adi ari ari), bahwa ia hidup ada yang menghidupi dan bahwa semua kehidupan di dunia ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai ritual yang dilakukan bersama atau perayaan besar yang terjadi di bulan suro, adalah gelar sesaji suro, yang dirayakan dalam tiga kali perayaan dengan waktu berkala yakni pada tanggal 1 suro, 10 suro dan 30 suro.[2]

Ø  Ratu Adil
Ratu Adil bukanlah sosok manusia, tetapi sebuah paham atas kesalahan tafsir soal takdir belaka.  
Tujuan hidup orang Jawa hanya satu, manunggal dengan Gusti. Paham ini telah melahirkan jalan etika yang multi dimensi. Yang mana yang lebih dulu, sulit diterangkan. Sebab bagi manusia Jawa dari manapun dan kemanapun tidak menjadi masalah.
Mau mulai dari awal, tengah, atau bahkan akhir tak perlu dipersoalkan. “Latihlah terus-menerus kalbumu, agar menjadi kreatif melahirkan gagasan yang cerdas dan tajam, jangan tidur dan makan melulu, capailah keperwiraan, paksalah agar badan kasarmu mencegah makan dan tidur.”
Ini bait tembang yang selalu harus diingat, agar setiap apa yang dikerjakan menuju pada laku hambeg adil paramaarta, ber budi bawa leksana, mamasuh malaning bumi-mangasah mingising budi, berlaku adil dan dermawan, siap melaksanakan kewajiban, membersihkan kekotoran dunia, agar dunia menjadi selamat sentausa dengan terus mengasah ketajaman budi.
Untuk bisa melakukan hal di atas itu, ada pemahaman awal yang perlu dijelajah dari tahapan melik-melek-melok. Melik maknanya baru sampai tahap pikiran, dipahami, dimengerti, tafakur. Melek artinya sudah sampai dirasakan dalam kalbu, baik-buruknya, gampang-susahnya, bermakna atau tak bermakna, tadzakkur. Melok berarti sudah menjadi kehendak yang dilanjutkan dengan tindakan nyata, tadzabbur.
Dalam kasanah Jawa lalu terkenal peribahasa “ojo muluk yen durung melok, yang diterjemahkan secara harafiah: jangan menyuapkan nasi kalau nasinya belum ada di piring. Padahal arti sesungguhnya ialah jangan (muluk) terbang tinggi seperti merpati, maksudnya janganlah punya keinginan mencari ilmu terlalu tinggi kalau belum punya dasar yang kuat. Inilah yang kemudian nanti menjelma menjadi cipta, rasa, karsa. Itulah ideologi terpadu yaitu keterpaduan kepala dan dada, akal dan qalbu, cipta dan rasa.
Nilai-nilai yang mendasari itu semua adalah sebuah pemahaman atas pandam, pandom, panduming dumadi. Pandam adalah dilah, dian, cahaya, penuntun ke arah yang terang, yaitu petunjuk hidup yang termanifestasikan dalam bentuk wahyu agama baik yang semiotik maupun yang dalam bentuk lokal religi. Pandom adalah kompas, petunjuk yang sepenuhnya berasal dari alam. Maka orang Jawa harus pandai membaca alam seperti musim dengan perangainya dalam bentuk kala atau mongso, waktu yang membagi-bagi waktu. Dan bagi yang sudah mencapai tingkat purba diri, kesempurnaan ilmu, ia akan mampu membaca tanda-tanda jaman.
Pandum, artinya takdir setiap manusia yang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Dari sikap “nrima ing pandum” itu muncullah beberapa kemungkinan, yaitu sikap pasif, sikap aktif secara langsung, serta aktif secara tidak langsung. Yang aktif langsung menumbuhkan apa yang dikenal sebagai: paham “Kawula-Gusti”. Sedangkan yang aktif tapi tidak langsung melahirkan apa yang dikenal sebagai paham atau ajaran: “Ratu-Adil”.
Sikap “nrima” yang pasif berhubungan dengan kedudukan orangnya sebagai objek penderita atau pelengkap penderita. Sedangkan yang lainnya berhubungan dengan keadaan atau posisi sebagai pelengkap penyerta atau pelengkap pelaku. Dalam kasanah Jawa lalu dikenal peringatan yang berupa Candi Sewu (Rorojonggrang) dan Candi Borobudur. Maknanya janganlah kita membeku seperti seribu patung Rorojonggrang dan terus-menerus menjadi pelengkap penderita, atau terbelenggu oleh egoisme seperti 1000 ksatria yang terkurun dalam candi Borobudur.
            Bagi orang Jawa pada strata paling rendah, terbiasa nrima ing pandum, menerima takdir yang memang sudah disandangnya. Yang bisa mengangkat derajad dan pangkatnya adalah hanya jika telah datang seorang Ratu Adil yang selalu dinantinya.[3]

Ø  Aliran Kebatinan Perjalanan
Ajaran aliran Perjalanan berdasarkan pada wangsit yang diterima oleh Mei Kartawinta. Ia menerima wangsit itu berkali-kali sampai ada sepuluh kali yang disebut Dasa Wasita seperti berikut :
ü  Wangsit pertama : “Janganlah dirimu dihina dan direndahkan oleh siapa pun, sebab dirimu tidak lahir dan tidak besar oleh sendirinya, tetapi dirimu dilahirkan dan dibesarkan penuh dengan cinta kasih ibu dan bapakmu. Bahkan dirimu itu sendirilah yang melaksanakan segala kehendak dan cita-citamu yang seyogyanya kamu berterima kasih kepadanya.”
ü  Wangsit kedua : “Brang siapa menghina dan merendahakan dirimu, sama juga artinya dengan menghina dan merendahkan ibu bapakmu bahkan leluhur bangsamu.”
ü  Wangsit ketiga : “Tiada lagi kekuatan dan kekuasaan yang melebihi kekuatan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, Belas dan Kasih. Sifat belas dan kasih itu pun dapat mengatasi dan menyelesaikan segala pertentangan atau pertengkaran, bahkan dapat memadukan paham dan usaha untuk mencapai tujuan yang lebih maju serta menyempurnakan akhlak dan meluhurkan budi pekerti manusia.”
ü  Wangsit keempat :“Dengan kagum dan takjub kamu menghitung tetesan air yang mengalir yang menuju kesatuan mutlak, yaitu lautan sambil memberikan manfaat kepada kehidupan manusia, binatang, dna pepohonan atau tetumbuhan. Akan tetapi kamu belum pernah mengagumi dan takjub kepada dirimu sendiri yang telah mempertemukan kamu dengan dunia beserta segala isinya. Bahkan kamu belum pernah menghitung kedip matamu. Sungguh betapa nikmatnya apa yang kamu rasakan, padahal semua itu sebagai hikmah dari Tuhan Yang Maha Esa.”
ü  Wangsit kelima : “Kemanapun kamu pergi dan di mana pun kamu berada Tuhan Yang Maha Esa akan selalu bersama denganmu.”
ü  Wangsit keenam : “Perubahan besar alam kehidupan manusia akan menjadi pembalasan terhadap segala penindasan serta mencetuskan atau melahirkan kemerdekaan hidup bangsa.”
ü  Wangsit ketujuh : “Apabila pengetahuan disertai kekuatan raga dan jiwamu digunakan secara salah untuk memuaskan hawa nafsu, akan menimbulkan dendam kesumat, kebencian, pembalasan, dan perlawanan. Sebaliknya apabila pengetahuan dan kekuatan raga dan jiwamu digunakan untuk menolong sesama akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan yang mendalam.”
ü  Wangsit kedelapan : “Cintailah sesama hidupmu tanpa memandang jenis dan rupa, sebab apabila telah meninggalkan jasad, siapa pun akan berada dalam keadaan yang sama. Ia tidak mempunyai daya dan upaya. Justru selama itu, selama kamu masih hidup, berusahalah agar kamu dapat memelihara kelangsungan hidup sesama sesuai dengan kodrat-Nya menurut kehendak Tuhan Yang Maha Esa.”
ü  Wangsit kesembilan : “Batu di tengah sungai, jikalau olehmu digarap menurut kebutuhan, kamu menjadi kaya karenanya. Dalam hal itu yang membuat seseorang kaya raya bukanlah pemberian batu itu, tetapi yang membuat kaya raya adalah hasil kerjamu sendiri.”
ü  Wangsit kesepuluh : “Geraklah untuk kepentingan sesamamu, bantulah yang sakit untuk mengurangi penderitaannya. Kemudian hari akan tercapailah masyarakat kemanusiaan yang menggerakkan kemerdekaan dan kebenaran” (Rozak, 2002:178-185).
Dasa Wasita (kesepuluh wangsit) tersebut di atas, bila diringkas intinya adalah sebagai berikut :
1.      Antara sesama dilarang saling menghina.
2.      Menghina kepada seseorang hakikatnya juga menghina kepada ayah dan ibunya bahkan nenek moyangnya.
3.      Tidak ada yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, kecuali Tuhan Yang Maha Esa, Yang Belas Kasih. Sifat belas dan kasih itu dapat menyempurnakan akhlak dan meluhurkan budi pekerti.
4.      Air yang senantiasa menghidupi tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia, mengandung hikmah agar manusia sebagai individu selalu berbuat baik kepada sesama.
5.      Tuhan Yang Maha Esa selalu berada dekat dengan manusia.
6.      Dinamika hidup dan kehidupan manusia akan membawa kebebasan dari penindasan.
7.      Pemuasan hawa nafsu akan membawa kekacauan dan kehancuran.
8.      Antara sesama harus saling cinta-mencintai agar terpelihara kehidupan bersama.
9.      Kekayaan tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja keras.
10.  Antara sesama harus saling tolong-menolong terutama dalam menegakkan kebenaran.
Bila disimak secara seksama, sepuluh butir Dasa Wasita tersebut di atas, semuanya berisi ajaran moral sebagai pedoman hidup manusia dalam hidup bersama, khususnya anggota atau warga aliran Perjalanan.
Setelah wangsit itu diterima, maka didirikan aliran Perjalanan. Nama perjalanan tampaknya diambil dari gambaran air yang mengalir mulai dari sumbernya melalui sungai sampai akhirnya ke lautan. Sepanjang perjalanan, air telah memberikan unsur yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia. Gambaran perjalanan air ini sebagai ibarat perjalanan kehidupan manusia sebagai individu agar senantiasa berdarma bakti dan berbuat baik kepada sesama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Konsep ini juga dipandang selaras dengan konsep Pancasila yang mengandung makna sosial religius. Karenanya aliran Perjalanan juga dipandang mempunyai peranan dalam kehidupan negara yang berdasarkan Pancasila. Berdasarkan konsep ini pulalah agaknya, aliran ini disebut “Agama Yakin Pancasila” (nama lain dari aliran kebatinan perjalanan).[4]

No comments:

Post a Comment