HARAM COPY PASTE KESELURUHAN

Catatan yang ada diblog ini saya harap jangan di copy paste semua. karena ini arsip pribadi perkuliahan saya. Jika toh memang membutuhkan referensi tambahan dari blog saya ini, cantumkan juga alamat laman ini.
terima kasih..

Tuesday, November 25, 2014

MACAM KESADARAN DAN TINGKATAN KESADARAN

MACAM KESADARAN DAN TINGKATAN KESADARAN

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Psikologi Transpersonal
Dosen Pengampu : Dr. H. Abdul Muhaya, MA















Disusun Oleh :

LUKMAN HAKIM               (124411026)

FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I.         PENDAHULUAN
Hal yang terpenting dalam persoalan transpersonal psychology adalah pemahasan mengenai kesadaran manusia. Pembahasan ini meliputi apa saja jenis kesadaran manusia dan apa saja tingkatan-tingkatan kesadaran tersebut. Imam Ghozali menjelaskan bahwa self atau hati manusia memiliki kemampuan untuk menjangkau hal-hal yang bersifat fisik maupun hal-hal yang metafisik. Mengenai pengetahuan yang bersifat fisik, semakin intens seseorang mengasah dan melatih pikirannya, maka semakin bagus kemampuan orang itu dalam mengetahui hal-hal yang fisik atau realitas yang berada di dalam alam empiris.
Sedangkan pengetahuan mengenai alam bathin atau metafisis, maka seseorang dapat mencapainya melalui proses suluk, mujahadah, riyadhah, serta pembersihan dan penyucian terhadap hati atau self-nya. Dan lambat laun seseorang akan mendapatkan ‘ilm al-mukasyafah, yaitu sebuah proses dan kondisi dimana manusia dan Allah saling berupaya untuk mendekatkan atau memperkenalkan dirinya masing-masing. Ketika proses itu terjadi maka cahaya ilahiyah akan masuk dalam hati seseorang yang kemudian sifat-sifat kemanusiaan akan sirna. Dalam kondisi seperti itulah maka terjadi kesadaran di luar jangkauan ego atau self beyond ego atau transendensi. Dan seseorang akan mendapatkan pengalaman-pengalaman mistik atau pengalaman batin yang luar biasa dan sangat mengesankan.[1]

II.      RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian State of Consciousness dan Altered State of Consciousness?
2.      Apa saja tingkatan-tingkatan kesadaran itu?

III.   PEMBAHASAN
1.      Pengertian State of Consciousness dan Altered State of Consciousness
Dari segi jenisnya, kesadaran dibagi menjadi dua :
Pertama, State of Consciousness (B-SoC); yaitu kesadaran yang biasa kita alami dalam kondisi normal, seperti saat kita kuliah, berbicara dengan teman dan menonton TV. Dalam kondisi ini kita cenderung waspada dan kritis terhadap fenomena yang disekeliling kita. Filter bawah sadar tertutup sehingga kurang merespon sugesti yang berasal dari luar kita.
Kedua adalah Altered State of Consciousness. Kesadaran ini terjadi diluar kesadaran normal; seperti ketika saat meditasi, dalam kondisi mimpi, trans dan dalam pengalaman mistik.
Lebih lanjut, C. Tart menjelaskan bahwa masing-masing dari jenis kesadaran tersebut memiliki tingkatan-tingkatan; sebagai contoh ketika kita sedang berada dalam kelas maka kita sedang berada pada berbagai kesadaran; seperti kesadaran tentang kursi, papan tulis, guru, murid yang lain dan sebagainya. Masing-masing mengada dalam kesadaran kita secara berbeda; ada yang kurang jelas, jelas dan bahwa sangat jelas. Begitu pula saat kita berada dalam mimpi kita juga berada dalam berbagai kesadaran obyek yang beragam secara beragam pula. Satu orang dengan orang lain berbeda, ada yang sangat jelas dan ada pula yang kurang jelas. Tingkatan kesadaran yang terjadi pada SoC disebut sebagai discrete State of Consciuosness (dSoC), sedangkan tingkatan kesadaran yang terjadi pada AsoC disebut discrete Altered State of Consciousness (dASoC).[2]
Tingkatan kesadaran tersebut berkaitan erat dengan pola gelombang otak.
No.
Tipe gelombang
Kecepatan / laju
Aktivitas
1.
Delta
0.5 – 3.5 Hz / detik
Otak tidak melakukan apa-apa sehingga tidak terjadi kesadaran; seperti orang sedang tidur nyenyak atau koma.
2.
Theta
3.5 – 7 Hz / detik
Secara berkala otak mengirim informasi dari hiperkompus ke penyimpanan permanen di korteks ; seperti orang mimpi dan anak usia 3-6 tahun.
3.
Alfa
8 – 13 Hz / detik
Otak berkerja rileks, kreativitas; seperti yang terjadi  pada saat rileks dan anak usia 7-14 tahun
4.
Beta
13.5 – 30 Hz / detik
Otak sangat terkonsentrasi penuh; seperti saat mengerjakan ujian dan pekerjaan lain yang serius dan membutuhkan konsentrasi penuh.
5.
Gamma
40 Hz / detik
Terjadi pada otak yang sadar baik dalam kondisi terjaga maupun tidur yang disertai mimpi.

 Dari elaborasi diatas diketahui bahwa kesadaran manusia memiliki beragam jenis kesadaran dan masing-masing kesadaran tersebut memiliki tingkatan sehingga hasil dari kesadaranpun beragam pula.
Perpindahan dan transformasi kesadaran merupakan kajian pokok dari psikologi transpersonal, yakni studi mengenai pengalaman-pengalaman yang mendalam, perasaan keterhubungan dengan pusat kesadaran semesta, dan penyatuan dengan alam. Dikalangan bangsa Timur terdapat kepercayaan luar biasa seperti mengetahui masa depan (prakognisi), membaca pikiran orang lain (telepati) dan menggerakkn benda-benda di luar tubuhnya melalui pikiran (telekinesis) bahkan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib berupa roh orang mati atau jin. Tentu saja semua kepercayaan itu diangga tahayyul non-ilmiah di kalangan ilmuan modern. Namun, pada akhir abad keduapuluh muncul sebuah madzhab psikologi transpersonal yang mencoba mengawinkan psikologi modern yang mempelajari pengalaman paranormal orang-orang yang mencari kesatuan dengan realitas yang mutkak seperti para kabalis Yahudi, mistikus Kristen, sufi Islam dan yogi Hindu.[3]

2.      Tingkatan-tingkatan kesadaran
a.       Imam Ghozali
Menurut Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ruh atau self terdiri dari berbagai tingkatan. Tingkatan tersebut beliau terinspirasi dari QS. an-Nur : 35. Imam Ghozali menafsirkan ayat tersebut dengan 5 tingkata yaitu :
Pertama, ruh al-hassas, yaitu ruh atau self yang berfungsi sebagai penerima segala sesuatu dari hasil cerapan panca indra. Ruh ini berasal dari ruh hayawani atau ruh yang sebangsa dengan hewan. Karena adanya kemampuan untuk mengindra semacam inilah maka seekor hewan memiliki sifat-sifat hayawaniyah-nya. Ruh yang semacam ini juga dimiliki oleh manusia yang masih berada dalam tahap usia kanak-kanak.
Kedua, al-ruh al-khayyali atau self yang mempunyai kemampuan untuk berimajinasi, yaitu ruh yang mampu untuk menyimpan, mempersepsi, dan mengimajinasikan apa yang telah diperoleh oleh panca indra ketika imajinasi tersebut dibutuhkan. Kemampuan ini tumbuh dan berkembang secara bertahap sedikit demi sedikit sejalan dengan perkembangan kejiwaan atau self yang dimiliki oleh manusia. Kemampuan ini bisa juga dimiliki oleh hewan. Misalnya seekor anjing dipukul kemudian anjing tersebut merespon (berpersepsi / berimajinatif) tertentu terhadap orang yang memukulnya.
Ketiga, al-ruh al-‘aqli, yaitu kemampuan manusia atau self untuk mengenali makna-makna yang berada di atas makna yang diperoleh melalui penginderaan maupun imajinatif. Kemampuan ini lebih dalam dan tinggi dari daya imajinasi atau daya persepsi. Dan inilah sesungguhnya inti dari manusia. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh binatang ataupun anak kecil.
Keempat, al-ruh al-fikri, yaitu kemampuan diri untuk mengambil ilmu-ilmu yang bersifat rasional murni, kemudian dari situ ditemukan berbagai campuran maupun kreativitas-kreativitas serta inovasi. Dan inilah yang mampu melahirkan ilmu baru yang lebih tinggi. Jadi, sudah ada percampuran atas berbagai informasi yang telah diterima sebelumnya oleh akal, kemudian akal mempunyai kemampuan mengawinkan satu informasi dengan informasi lain sehingga nantinya akan melahirkan sebuah pengetahuan baru.
Kelima, al-ruh al-qudsi al-nabawi, yaitu yang dimiliki oleh para Nabi dan sebagian para Wali. Kemampuan ruh ini adalah bertajalli, yakni mampu menangkap manifestasi dari berbagai hal yang ghaib, ketentuan-ketentuan akhirat, serta berbagai pengetahuan yang ada di langit maupun di bumi. Ruh ini mampu memperoleh atau menyerap pengetahuan yang bersifat ketuhanan (rabbaniyah). Ini sesuai dengan QS. al-Syura : 52.
Tingkatan ini masih berada dalam jangkauan manusia, yakni dibalik akal kita (wara’a al-‘aqli). Dan ini bisa diumpamakan pada seorang seniman yang memiliki sensitivitas seni yang tinggi, baik dalm seni rupa, seni musik, seni tari, dll. Kemampuan itu bukan dari kecerdasan (domain akal) melainkan dengan citarasa dan sensitivitas seni yang tinggi yang merupakan domain sesuatu yang berada di luar jangkauan akal.
Untuk menggapai tingkatan ini, Imam Ghozali menanjurkan untuk meningkatkan dzauq seseorang agar lebih peka. Lebih lanjut imam Ghozali mengatakan : Ilmu berada di atas iman, sedangkan dzauq berada di atas ilmu. Dzauq diperoleh melalui intuisi atau wujdan, sedangkan ilmu diperoleh melalui penganalogian. Iman adalah sekedar menerima sesuatu secara pasrah, dan bahwa prasangka baik merupakan seribu wujdan atau seribu ‘irfan.
Dalam tingkatan inilah seseorang dapat memperoleh pengalaman-pengalaman transendensi atau religius experience atau mystical experience. Manusia mengalami “trans” yang berada dalam kondisi self beyond ego yaitu sebuah pengalaman batin yang sulit dideskrepsikan dengan kata-kata, namun sangat menyakinkan karena seseorang merasakannya secara nyata.[4]
b.      Abu Abdullah Muhammad ibn Hakim Al-Tirmidzi
Beliau membagi dalam 4 tingkatan yaitu :
Pertama, Shadr yaitu lapisan terluar qalb atau bersemayamnya ruh al-Islam. Ilmu ini adalah syari’ah yang diperoleh melalui mendengar nasehat-nasehat guru atau dengan cara membaca. Ilmu ini mudah dilupakan atau mudah hilang. Sebab, nafsnya belum stabil atau bisa disebut al-nafs al-ammarah bi al-su’. Ilmu yang diperoleh belum mendalam karena gangguan dari nafs ini.
Kedua, qalb yaitu nur al-iman bersemayam dan orangnya disebut Mu’min. Ilmu yang diperoleh langsung dari Allah dan ilmu ini disebut sebagai ilmu yang bermanfaat (al-‘ilm al-nafi’) karena pemberiannya bersifat khusus dari Allah atau wahbi. Qalb ini selalu memberikan inspirasi kepada jiwa atau nafs untuk melakukan perbuatan baik yang disebut juga sebagai al-nafs al-mulhimah atau jiwa yang terinspirasi.
Ketiga, fuad yaitu memancarkan nur al-ma’rifah dan orangnya disebut ‘arif. Apa yang diperoleh disebut ru’yah atau visi, yakni penglihatan bathin. Dia memiliki kemampuan untuk melihat sebuah obyek atau realitas yang bersifat bathiniyah dan pada saat ia menyadarinya seolah-olah ada kecondongan untuk mengingkari realitas tersebut. Nafs ini disebut sebagai al-nafs al-lawwamah yaitu nafs yang senantiasa menyalahkan diri sendiri karena dia sudah tahu secara yakin tetapi ada keinginan dalam dirinya untuk membelot.
Keempat, lubb yaitu memancarkan nur al-tauhid dan orangnya disebut al-muwahhid. Ilmu ini semata-mata dari rahmatnya Allah s.w.t. Dalam tingkatan ini jiwa atau nafs yang sudah tenang dan tidak mengganggu lagi, sehingga dia sebut al-nafs al-muth’mainnah.[5]
c.       Mulla Shadra
Menurutnya kesadaran manusia terbagi menjadi 4 yaitu :
Pertama, ihsasi yaiutu kemampuan manusia untuk mengenali obyek melalui panca indra.
Kedua, takhayyuli yaitu kemampuan manusia untuk berimajinasi.
Ketiga, tawahhum yaitu kemampuan seseorang untuk menangkap makna yang buka melalui proses pengindraan, melalui proses akal.
Keempat, ta’aqquli yaitu kemampuan seseorang atau self untuk memperoleh sesuatu dari aspek esensi atau mahiyah-nya sendiri, bukan mengenali sesuatu dari aspek yang lain. Tingkatan ini tampaknya seseorang mampu untuk mengenali obyek bukan dari aspek obyek yang bersifat transitif melainkan lebih kepada realitas yang berada di dalam obyek imanen.[6]

IV.   SIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa seringkali manusia tidak menyadari dengan tingkat kesadarannya yang menjadikannya sebagai manusia biasa-biasa saja tanpa mau berusaha mengaktifkan potensi lain yang berada dalam dirinya.
Kesadaran sendiri terbagi menjadi dua yaitu State of Consciousness (B-SoC); dimana kesadaran yang biasa kita alami dalam kondisi normal, seperti saat kita kuliah, berbicara, menonton tv, dlll. Dan yang kedua adalah Altered State of Consciousness dimana kesadaran ini terjadi diluar kesadaran normal; seperti ketika saat meditasi, dalam kondisi mimpi, trans dan dalam pengalaman mistik.
Ada beberapa tokoh yang membahas tentang tingkat kesadaran manusia atau self, misalnya saja Imam Ghazali, ia menyebutkan ada 5 tingkatan yaitu : ruh al-hassa (bersifat panca indra, hayawaniyah), al-ruh al-khayyali (mempersepsi atau berimajinatif), al-ruh al-‘aqli (memaknai), al-ruh al-fikri (mengambil ilmu), al-ruh al-qudsi al-nabawi (mampu menangkap manifestasi dari berbagai hal yang ghaib).
Lebih lanjut Imam Ghazali menyebutkan jika ingin mendapatkan pengetahuan tentang bathin atau metafisis seseorang harus melakaukan proses suluk, mujahadah, riyadhah, serta pembersihan dan penyucian terhadap hati atau self-nya. Dan lambat laun akan mendapatkan ‘ilm al-mukasyafah. Yang nantinya cahaya ilahiyah masuk dalam hatinya dan membuat sirna sifat-sifat kemanusiannya. Maka terjadilah kesadaran di luar jangkauan ego atau self beyond ego atau transendensi.

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari kami. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.


DAFTAR PUSTAKA

Muhaya, Abdul, Integration of Sufism and Transpersonal Psychology, Semarang : IAIN WALISONGO, 2013
_____________, Konsep Psikologi Transpersonal : Menurut Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Semarang : DIPA-BLU Fakultas Ushuluddin IAIN WALISONGO, 2012

No comments:

Post a Comment