MACAM KESADARAN DAN TINGKATAN
KESADARAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Psikologi Transpersonal
Dosen Pengampu : Dr. H. Abdul Muhaya, MA
Disusun Oleh :
LUKMAN HAKIM (124411026)
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Hal yang
terpenting dalam persoalan transpersonal psychology adalah
pemahasan mengenai kesadaran manusia. Pembahasan ini meliputi apa saja jenis
kesadaran manusia dan apa saja tingkatan-tingkatan kesadaran tersebut. Imam
Ghozali menjelaskan bahwa self atau hati manusia memiliki kemampuan
untuk menjangkau hal-hal yang bersifat fisik maupun hal-hal yang metafisik.
Mengenai pengetahuan yang bersifat fisik, semakin intens seseorang mengasah dan
melatih pikirannya, maka semakin bagus kemampuan orang itu dalam mengetahui
hal-hal yang fisik atau realitas yang berada di dalam alam empiris.
Sedangkan
pengetahuan mengenai alam bathin atau metafisis, maka seseorang dapat
mencapainya melalui proses suluk, mujahadah, riyadhah,
serta pembersihan dan penyucian terhadap hati atau self-nya. Dan lambat
laun seseorang akan mendapatkan ‘ilm al-mukasyafah, yaitu sebuah proses
dan kondisi dimana manusia dan Allah saling berupaya untuk mendekatkan atau
memperkenalkan dirinya masing-masing. Ketika proses itu terjadi maka cahaya ilahiyah
akan masuk dalam hati seseorang yang kemudian sifat-sifat kemanusiaan akan
sirna. Dalam kondisi seperti itulah maka terjadi kesadaran di luar jangkauan ego
atau self beyond ego atau transendensi. Dan seseorang akan mendapatkan
pengalaman-pengalaman mistik atau pengalaman batin yang luar biasa dan sangat
mengesankan.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian State of Consciousness
dan Altered State of Consciousness?
2.
Apa saja tingkatan-tingkatan kesadaran itu?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian State of Consciousness dan Altered
State of Consciousness
Dari segi jenisnya, kesadaran dibagi menjadi
dua :
Pertama,
State of Consciousness (B-SoC); yaitu kesadaran yang biasa kita alami
dalam kondisi normal, seperti saat kita kuliah, berbicara dengan teman dan
menonton TV. Dalam kondisi ini kita cenderung waspada dan kritis terhadap
fenomena yang disekeliling kita. Filter bawah sadar tertutup sehingga kurang
merespon sugesti yang berasal dari luar kita.
Kedua
adalah Altered State of Consciousness. Kesadaran ini terjadi diluar
kesadaran normal; seperti ketika saat meditasi, dalam kondisi mimpi, trans dan
dalam pengalaman mistik.
Lebih
lanjut, C. Tart menjelaskan bahwa masing-masing dari jenis kesadaran tersebut
memiliki tingkatan-tingkatan; sebagai contoh ketika kita sedang berada dalam
kelas maka kita sedang berada pada berbagai kesadaran; seperti kesadaran
tentang kursi, papan tulis, guru, murid yang lain dan sebagainya. Masing-masing
mengada dalam kesadaran kita secara berbeda; ada yang kurang jelas, jelas dan
bahwa sangat jelas. Begitu pula saat kita berada dalam mimpi kita juga berada
dalam berbagai kesadaran obyek yang beragam secara beragam pula. Satu orang
dengan orang lain berbeda, ada yang sangat jelas dan ada pula yang kurang
jelas. Tingkatan kesadaran yang terjadi pada SoC disebut sebagai discrete
State of Consciuosness (dSoC), sedangkan tingkatan kesadaran yang terjadi
pada AsoC disebut discrete Altered State of Consciousness (dASoC).[2]
Tingkatan
kesadaran tersebut berkaitan erat dengan pola gelombang otak.
No.
|
Tipe
gelombang
|
Kecepatan
/ laju
|
Aktivitas
|
1.
|
Delta
|
0.5 –
3.5 Hz / detik
|
Otak
tidak melakukan apa-apa sehingga tidak terjadi kesadaran; seperti orang
sedang tidur nyenyak atau koma.
|
2.
|
Theta
|
3.5 –
7 Hz / detik
|
Secara
berkala otak mengirim informasi dari hiperkompus ke penyimpanan permanen di korteks
; seperti orang mimpi dan anak usia 3-6 tahun.
|
3.
|
Alfa
|
8 – 13
Hz / detik
|
Otak berkerja
rileks, kreativitas; seperti yang terjadi
pada saat rileks dan anak usia 7-14 tahun
|
4.
|
Beta
|
13.5 –
30 Hz / detik
|
Otak
sangat terkonsentrasi penuh; seperti saat mengerjakan ujian dan pekerjaan
lain yang serius dan membutuhkan konsentrasi penuh.
|
5.
|
Gamma
|
40 Hz
/ detik
|
Terjadi
pada otak yang sadar baik dalam kondisi terjaga maupun tidur yang disertai
mimpi.
|
Dari elaborasi diatas diketahui bahwa
kesadaran manusia memiliki beragam jenis kesadaran dan masing-masing kesadaran
tersebut memiliki tingkatan sehingga hasil dari kesadaranpun beragam pula.
Perpindahan
dan transformasi kesadaran merupakan kajian pokok dari psikologi transpersonal,
yakni studi mengenai pengalaman-pengalaman yang mendalam, perasaan
keterhubungan dengan pusat kesadaran semesta, dan penyatuan dengan alam.
Dikalangan bangsa Timur terdapat kepercayaan luar biasa seperti mengetahui masa
depan (prakognisi), membaca pikiran orang lain (telepati) dan
menggerakkn benda-benda di luar tubuhnya melalui pikiran (telekinesis)
bahkan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib berupa roh orang mati atau
jin. Tentu saja semua kepercayaan itu diangga tahayyul non-ilmiah di
kalangan ilmuan modern. Namun, pada akhir abad keduapuluh muncul sebuah madzhab
psikologi transpersonal yang mencoba mengawinkan psikologi modern yang
mempelajari pengalaman paranormal orang-orang yang mencari kesatuan dengan
realitas yang mutkak seperti para kabalis Yahudi, mistikus Kristen, sufi Islam
dan yogi Hindu.[3]
2.
Tingkatan-tingkatan kesadaran
a.
Imam Ghozali
Menurut
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ruh atau self terdiri dari berbagai
tingkatan. Tingkatan tersebut beliau terinspirasi dari QS. an-Nur : 35. Imam
Ghozali menafsirkan ayat tersebut dengan 5 tingkata yaitu :
Pertama,
ruh al-hassas, yaitu ruh atau self yang berfungsi sebagai
penerima segala sesuatu dari hasil cerapan panca indra. Ruh ini berasal dari ruh
hayawani atau ruh yang sebangsa dengan hewan. Karena adanya kemampuan untuk
mengindra semacam inilah maka seekor hewan memiliki sifat-sifat hayawaniyah-nya.
Ruh yang semacam ini juga dimiliki oleh manusia yang masih berada dalam tahap
usia kanak-kanak.
Kedua, al-ruh
al-khayyali atau self yang mempunyai kemampuan untuk berimajinasi,
yaitu ruh yang mampu untuk menyimpan, mempersepsi, dan mengimajinasikan apa
yang telah diperoleh oleh panca indra ketika imajinasi tersebut dibutuhkan.
Kemampuan ini tumbuh dan berkembang secara bertahap sedikit demi sedikit
sejalan dengan perkembangan kejiwaan atau self yang dimiliki oleh manusia.
Kemampuan ini bisa juga dimiliki oleh hewan. Misalnya seekor anjing dipukul
kemudian anjing tersebut merespon (berpersepsi / berimajinatif) tertentu
terhadap orang yang memukulnya.
Ketiga, al-ruh
al-‘aqli, yaitu kemampuan manusia atau self untuk mengenali makna-makna
yang berada di atas makna yang diperoleh melalui penginderaan maupun imajinatif.
Kemampuan ini lebih dalam dan tinggi dari daya imajinasi atau daya persepsi.
Dan inilah sesungguhnya inti dari manusia. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh
binatang ataupun anak kecil.
Keempat,
al-ruh al-fikri, yaitu kemampuan diri untuk mengambil ilmu-ilmu yang
bersifat rasional murni, kemudian dari situ ditemukan berbagai campuran maupun
kreativitas-kreativitas serta inovasi. Dan inilah yang mampu melahirkan ilmu
baru yang lebih tinggi. Jadi, sudah ada percampuran atas berbagai informasi
yang telah diterima sebelumnya oleh akal, kemudian akal mempunyai kemampuan
mengawinkan satu informasi dengan informasi lain sehingga nantinya akan
melahirkan sebuah pengetahuan baru.
Kelima, al-ruh
al-qudsi al-nabawi, yaitu yang dimiliki oleh para Nabi dan sebagian para
Wali. Kemampuan ruh ini adalah bertajalli, yakni mampu menangkap manifestasi
dari berbagai hal yang ghaib, ketentuan-ketentuan akhirat, serta berbagai
pengetahuan yang ada di langit maupun di bumi. Ruh ini mampu memperoleh atau
menyerap pengetahuan yang bersifat ketuhanan (rabbaniyah). Ini sesuai
dengan QS. al-Syura : 52.
Tingkatan
ini masih berada dalam jangkauan manusia, yakni dibalik akal kita (wara’a al-‘aqli).
Dan ini bisa diumpamakan pada seorang seniman yang memiliki sensitivitas seni
yang tinggi, baik dalm seni rupa, seni musik, seni tari, dll. Kemampuan itu
bukan dari kecerdasan (domain akal) melainkan dengan citarasa dan sensitivitas
seni yang tinggi yang merupakan domain sesuatu yang berada di luar jangkauan
akal.
Untuk
menggapai tingkatan ini, Imam Ghozali menanjurkan untuk meningkatkan dzauq
seseorang agar lebih peka. Lebih lanjut imam Ghozali mengatakan : Ilmu berada
di atas iman, sedangkan dzauq berada di atas ilmu. Dzauq
diperoleh melalui intuisi atau wujdan, sedangkan ilmu diperoleh melalui
penganalogian. Iman adalah sekedar menerima sesuatu secara pasrah, dan bahwa
prasangka baik merupakan seribu wujdan atau seribu ‘irfan.
Dalam
tingkatan inilah seseorang dapat memperoleh pengalaman-pengalaman transendensi
atau religius experience atau mystical experience. Manusia
mengalami “trans” yang berada dalam kondisi self beyond ego yaitu
sebuah pengalaman batin yang sulit dideskrepsikan dengan kata-kata, namun
sangat menyakinkan karena seseorang merasakannya secara nyata.[4]
b.
Abu Abdullah Muhammad ibn Hakim Al-Tirmidzi
Beliau membagi dalam 4 tingkatan yaitu :
Pertama,
Shadr yaitu lapisan terluar qalb atau bersemayamnya ruh
al-Islam. Ilmu ini adalah syari’ah yang diperoleh melalui mendengar
nasehat-nasehat guru atau dengan cara membaca. Ilmu ini mudah dilupakan atau
mudah hilang. Sebab, nafsnya belum stabil atau bisa disebut al-nafs
al-ammarah bi al-su’. Ilmu yang diperoleh belum mendalam karena gangguan
dari nafs ini.
Kedua, qalb
yaitu nur al-iman bersemayam dan orangnya disebut Mu’min. Ilmu
yang diperoleh langsung dari Allah dan ilmu ini disebut sebagai ilmu yang
bermanfaat (al-‘ilm al-nafi’) karena pemberiannya bersifat khusus dari
Allah atau wahbi. Qalb ini selalu memberikan inspirasi kepada
jiwa atau nafs untuk melakukan perbuatan baik yang disebut juga sebagai al-nafs
al-mulhimah atau jiwa yang terinspirasi.
Ketiga, fuad
yaitu memancarkan nur al-ma’rifah dan orangnya disebut ‘arif. Apa
yang diperoleh disebut ru’yah atau visi, yakni penglihatan bathin. Dia
memiliki kemampuan untuk melihat sebuah obyek atau realitas yang bersifat
bathiniyah dan pada saat ia menyadarinya seolah-olah ada kecondongan untuk
mengingkari realitas tersebut. Nafs ini disebut sebagai al-nafs
al-lawwamah yaitu nafs yang senantiasa menyalahkan diri sendiri
karena dia sudah tahu secara yakin tetapi ada keinginan dalam dirinya untuk
membelot.
Keempat,
lubb yaitu memancarkan nur al-tauhid dan orangnya disebut al-muwahhid.
Ilmu ini semata-mata dari rahmatnya Allah s.w.t. Dalam tingkatan ini jiwa atau nafs
yang sudah tenang dan tidak mengganggu lagi, sehingga dia sebut al-nafs
al-muth’mainnah.[5]
c.
Mulla Shadra
Menurutnya kesadaran manusia terbagi menjadi 4
yaitu :
Pertama,
ihsasi yaiutu kemampuan manusia untuk mengenali obyek melalui panca
indra.
Kedua, takhayyuli
yaitu kemampuan manusia untuk berimajinasi.
Ketiga, tawahhum
yaitu kemampuan seseorang untuk menangkap makna yang buka melalui proses
pengindraan, melalui proses akal.
Keempat,
ta’aqquli yaitu kemampuan seseorang atau self untuk memperoleh
sesuatu dari aspek esensi atau mahiyah-nya sendiri, bukan mengenali
sesuatu dari aspek yang lain. Tingkatan ini tampaknya seseorang mampu untuk
mengenali obyek bukan dari aspek obyek yang bersifat transitif melainkan lebih
kepada realitas yang berada di dalam obyek imanen.[6]
IV.
SIMPULAN
Dapat
disimpulkan bahwa seringkali manusia tidak menyadari dengan tingkat
kesadarannya yang menjadikannya sebagai manusia biasa-biasa saja tanpa mau
berusaha mengaktifkan potensi lain yang berada dalam dirinya.
Kesadaran
sendiri terbagi menjadi dua yaitu State of Consciousness (B-SoC); dimana
kesadaran yang biasa kita alami dalam kondisi normal, seperti saat kita kuliah,
berbicara, menonton tv, dlll. Dan yang kedua adalah Altered State of
Consciousness dimana kesadaran ini terjadi diluar kesadaran normal; seperti
ketika saat meditasi, dalam kondisi mimpi, trans dan dalam pengalaman mistik.
Ada
beberapa tokoh yang membahas tentang tingkat kesadaran manusia atau self,
misalnya saja Imam Ghazali, ia menyebutkan ada 5 tingkatan yaitu : ruh
al-hassa (bersifat panca indra, hayawaniyah), al-ruh al-khayyali (mempersepsi
atau berimajinatif), al-ruh al-‘aqli (memaknai), al-ruh al-fikri (mengambil
ilmu), al-ruh al-qudsi al-nabawi (mampu menangkap manifestasi dari
berbagai hal yang ghaib).
Lebih
lanjut Imam Ghazali menyebutkan jika ingin mendapatkan pengetahuan tentang
bathin atau metafisis seseorang harus melakaukan proses suluk, mujahadah,
riyadhah, serta pembersihan dan penyucian terhadap hati atau self-nya.
Dan lambat laun akan mendapatkan ‘ilm al-mukasyafah. Yang nantinya
cahaya ilahiyah masuk dalam hatinya dan membuat sirna sifat-sifat
kemanusiannya. Maka terjadilah kesadaran di luar jangkauan ego atau self
beyond ego atau transendensi.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami uraikan. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah
dan kekurangan adalah bagian dari kami. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhaya,
Abdul, Integration of Sufism and Transpersonal Psychology, Semarang :
IAIN WALISONGO, 2013
_____________,
Konsep Psikologi Transpersonal : Menurut Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali,
Semarang : DIPA-BLU Fakultas Ushuluddin IAIN WALISONGO, 2012
No comments:
Post a Comment